JAKARTA - Kesulitan umum yang ditemui dalam menjerat kejahatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem adalah karena penuntutannya menggunakan dakwaan tunggal.

Hal itu dikemukakan oleh Panitera Muda Pidana Mahkamah Agung (MA) Sudharmawatiningsih dalam acara Temu Wicara yang bertajuk Arah Baru Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang diadakan oleh Indonesian Center For Environmental Law (ICEL) dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) di Jakarta, belum lama ini.

Menurut dia, penggunaan dakwaan tunggal tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya kelemahan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang memasukkan berbagai tindak pidana dengan kualifikasi berbeda ke dalam satu pasal, sehingga jika terdapat pelaku yang melakukan lebih dari satu tindakan, pelaku tersebut tetap hanya dapat dijerat dengan satu pasal.

“Sering juga ditemui kasus yang motifnya melibatkan kejahatan terorganisasi namun sulit untuk didakwakan karena belum diatur, dan meski pada berapa kasus dijerat dengan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan, pada akhirnya jaringan pelaku kejahatan tetap tidak dapat dijerat semua,” ujarnya.

Pihak jaksa pun mengakui adanya kesulitan dalam penanganan perkara konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem, terutama dalam hal mengonstruksikan apa yang dimaksud sebagai “kelalaian” dalam UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan bagaimana mengonstruksikan kejahatan konservasi sebagai kejahatan terorganisasi, karena kejahatan terorganisasi ini lebih dari sekadar penyertaan pidana. “UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak memberikan definisi dan ketentuan yang jelas,” kata anggota Satgas Sumber Daya Alam–Luar Negeri (SDA-LN) Kejaksaan Agung Heru Prasetyo.

Pencucian Uang
Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yazid Nurhuda mengungkapkan strategi lain yang didorong untuk menyiasati keterbatasan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah pendekatan multidoor, misalnya penggunaan UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Namun karena penjelasan pasal TPPU tidak memasukan Penyidik KLHK sebagai penyidik TPPU, pasal ini belum dapat diaplikasikan dan belum ada Jaksa Penuntut Umum yang menerima berkas kasus konservasi dengan pasal TPPU ini.

“Selain itu keterbatasan wewenang Polhut dan PPNS konservasi yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 juga menjadi kendala tersendiri, sehingga sangat dibutuhkan sinergi antara penyidik PPNS KLHK dengan polisi untuk  mengatasi kendala regulasi tersebut,” ujarnya. (G-1)

BACA JUGA: