-
Mengapa Pemerintah Ngotot Menolak Revisi UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya?
Rabu, 27/11/2019 18:48 WIBDakwaan Tunggal Penyebab Sulitnya Menjerat Kejahatan Konservasi
Rabu, 27/11/2019 16:58 WIBPertama Kalinya, Tersangka Kasus Limbah Ilegal Asal Singapura
Kamis, 03/10/2019 19:20 WIBPunya Dana Besar, Pencemar Lingkungan Sokong Penelitian yang Tidak Objektif
Rabu, 28/08/2019 00:02 WIBLindungi Saksi Ahli dari Jerat Mafia Hukum
Jum'at, 14/12/2018 21:34 WIBAwasi Dana Proyek Asia Infrastructure Investment Bank di Indonesia
Selasa, 26/06/2018 16:02 WIBPembangunan Megaproyek PLTA Ancam Kawasan Ekosistem Leuser
Jum'at, 10/11/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pada tanggal 6-17 November 2017 ini akan berlangsung Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) COP-23 yang akan dilaksanakan di Bonn, Jerman. Terkait hal tersebut para penggiat lingkungan di Aceh dan Sumatera kembali menekankan pada pentingnya perlindungan Ekosistem Leuser bagi dunia sebagai salah satu hutan lebat di Asia Tenggara yang memiliki tiga lahan gambut kaya karbon yang paling dibutuhkan oleh bumi ini.
Para aktivis mengatakan, Ekosistem Leuser berjasa bagi manusia, karena Leuser berperan penting sebagai penyimpan karbon dunia dan mencegah dampak perubahan iklim global. Kondisi Ekosistem Leuser yang baik akan berdampak langsung pada udara yang kita hirup dan keseimbangan iklim kita bersama, karena krisis iklim yang kini terjadi pada dunia tidak akan dapat tertanggulangi tanpa memastikan keberadaan hutan seperti Leuser untuk bisa tetap menjaga dan mempertahankan karbon di dalam tanah.
Namun pada kenyataannya, Ekosistem Leuser hingga kini masih terus terancam oleh berbagai pembangunan mega proyek yang dapat merusak dan menghancurkan rumah penyimpanan karbon dunia ini. Melalui siaran pers terlampir para penggiat lingkungan juga ingin mengingatkan pemerintah maupun pembuat kebijakan untuk memperhatikan perlindungan Ekosistem Leuser dan mencegah terjadinya kerusakan di Kawasan Situs Warisan Dunia ini lebih jauh.
Karena itu, aktivis lingkungan meminta pemerintah untuk menghentikan ataupun menolak proyek pembangunan berskala besar yang dapat menghancurkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Pembangunan tersebut dinilai tidak tepat dan dapat berdampak buruk terhadap keanekaragaman hayati serta menimbulkan risiko berbahaya bagi masyarakat.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, yang baru dilantik bulan Juli lalu, pernah menyatakan menolak pembangunan panas bumi oleh perusahaan asal Turki, PT Hitay Energy di Kawasan Kappi, jantung Ekosistem Leuser, dan meminta pembangunan proyek tersebut dipindahkan. “Saya sendiri yang akan membatalkan proyek ini," kata Irwandi dalam suatu wawancara oleh media. Irwandi pun kemudian beralih fokus ke pengembangan proyek panas bumi di Seulawah yang berada di luar KEL.
Pemerhati lokal dan internasional memberikan pujian terhadap keputusan sang gubernur dan meminta Irwandi untuk membatalkan semua rencana pembangunan yang menghancurkan KEL. "Kami berterima kasih atas langkah cepat Pak Gubernur untuk menolak upaya penghancuran Leuser dan memuji kepemimpinannya yang segera menemukan lokasi alternatif lebih dekat dengan perkotaan dan lebih bermanfaat untuk masyarakat dan lingkungan," kata Rudi Putra, pemenang Goldman Environmental Award 2014, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Jumat (10/11.
"Namun perlu diingat bahwa masih ada ancaman-ancaman lain terhadap kelestarian KEL warisan dari pemerintahan yang sebelumnya. Proyek-proyek tersebut akan berdampak dahsyat terhadap kelangsungan hidup masyarakat dan keanekaragaman hayati," lanjutnya.
Salah satunya adalah mega proyek PLTA Tampur yang berisiko menenggelamkan 4,000 ha hutan KEL dengan menampung 600 juta ton air dalam waduk, berlokasi di daerah yang paling sering mengalami gempa besar di Indonesia. "Ratusan ribu masyarakat yang tinggal di hilir sungai di Aceh Tamiang akan sangat terancam, risikonya kabupaten itu bisa tersapu hilang dari peta. Kita tentu masih ingat bagaimana dahsyatnya gempa bumi dan tsunami terjadi di Aceh tahun 2004, tidak terbayangkan apabila bencana seperti ini terjadi lagi," ujar Farwiza Farhan ketua Yayasan Hutan Alam Konservasi Aceh (HakA).
Farwiza juga berharap agar Gubernur Aceh terpilih segera memenuhi janjinya untuk merevisi Qanun Tata Ruang Perda Aceh dan memasukan Fungsi KEL yang sangat penting bagi masyarakat Aceh dan dilindungi oleh peraturan nasional sebagai Kawasan Strategis Nasional untuk fungsi lingkungannya, setelah sebelumnya KEL dihapuskan dari Qanun Aceh tahun 2013. Kerusakan yang terjadi di kawasan KEL akan semakin luas apabila KEL belum mendapatkan status perlindungan yang kuat dalam peraturan tata ruang daerah.
Panut Hadisiswoyo, Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari menjelaskan bahwa pembangunan waduk dan mega proyek PLTA tersebut akan menghancurkan hutan dataran rendah dan memusnahkan habitat satwa langka dunia karena pembangunan jaringan jalan dan jalur transmisi listrik yang diperlukan untuk proyek-proyek tersebut akan menembus kawasan hutan yang masih asli.
"Pembangunan jalan yang menembus hutan alami akan menjadi pendorong utama hilangnya habitat satwa dan menyebabkan terjadinya fragmentasi, kebakaran hutan, perburuan satwa, penebangan liar dan degradasi lingkungan lainnya. Apabila kondisi ancaman ini terus terjadi maka tidak akan menutup kemungkinan bahwa Situs Warisan Dunia ini akan terus mengalami kehancuran," ungkap Panut yang juga menjadi juru bicara masyarakat sipil pada pertemuan Komite Waisan Dunia di Polandia, Juli 2017 lalu.
Pada bulan September 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No. 559/2017 telah menyetujui permohonan pembangunan jalan tembus antara Kabupaten Karo dengan Kabupaten Langkat yang diajukan oleh Gubernur Sumatra Utara. Pembangunan jalan tersebut rencananya akan melalui kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, yang temasuk dalam daftar Warisan Dunia dalam Bahaya UNESCO. (mag)Walhi Jabar Kecam Kegiatan Pembangunan Sarana Wisata di Tahura Juanda
Sabtu, 04/11/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat mengecam keras kegiatan pembangunan sarana wisata di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ir Juanda seluas 590 hektare oleh Balai Pengelolaan Tahura Ir Juanda selaku pengelola kawasan tersebut. Direktur Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan megatakan, kawasan Tahura Juanda merupakan salah satu kawasan hutan di wilayah Kawasan Bandung Utara (KBU) yang memiliki fungsi konservasi/pelestarian, perlindungan bagi kawasan di bawahnya.
"Tahura memiliki fungsi ekologi yang strategis bagi keberlanjutan layanan alam Cekungan Bandung. Fungsi alamiah hutan dan ekosistemnya harus dipertahankan seiring dengan daya dukung lingkungan KBU sudah menurun dan semakin membabi butanya pembangunan sarana komersil-wisata di KBU," ujar Dadan dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (4/11).
Dadan menilai, aktivitas pembangunan atas nama penataan sarana wisata yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Tahura berupa penataan lahan parkir, pembangunan betonasi jogging track Goa Jepang-Maribaya dan pembangunan sarana wisata di Tebing Keraton terlalu dipaksakan, berlebihan, mengabaikan aturan-aturan dan belum dijamin sesuai dengan zonasi/blok pemanfaatan yang direncanakan sebagaimana dalam dokumen rencana pengelolaan Tahura.
Dadan mengatakan, aktivitas pembangunan /penataan ini telah mengabaikan asas dan prinsip kelestarian, keterbukaan, keadilan, partisipasi, kehati-hatian, kebersamaan dan keterpaduan sebagaimana diatur dalam Undang Kehutanan No 41 Tahun 1990, UU KSDAE No.5 tahun 1990 dan Perda No 25 tahun 2008 tentang Pengelolaan Tahura Juanda. Selain itu, aktivitas pembangunan yang sedang berjalan.
Proyek itu juga telah mengabaikan Perda No 2 tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian KBU sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dimana dalam pemanfaatan ruang di KBU harus mendapatkan rekomendasi Gubernur dan sesuai dengan blok pemanfaatan Tahura. "Saat ini, kita juga belum tahu seperti apa rekomendasi yang diberikan oleh Gubernur /BPMPT Jawa Barat," ujarnya.
Bahkan merujuk pada Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang PPLH dan PP 27 tahun 2012, setiap usaha atau kegiatan pembangunan yang wajib Amdal / UKL-UPL wajib memperoleh Izin Lingkungan, apalagi pembangunan sarana wisata berada dalam kawasan hutan yang akan menganggu bentang alam hutan.
Kawasan Tahura juga berada didalam kawasan rawan bencana/patahan lembang. "Ada indikasi kuat, pembangunan wisata yang sedang berjalan tidak disertai izin lingkungan, karena pihak Tahura tidak menunjukan dokumen tersebut kepada warga," tegas Dandang.
Bukan itu saja, pembangunan sarana wisata ini juga telah mengabaikan aturan Undang-Undang No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, hingga saat ini warga belum mendapatkan informasi utuh mengenai rencana pembangunan, dokumen perizinan dan dokumen lingkungan dan dll yang diminta/dimohon oleh warga. informasi proyek pembangunan/penataan pun tidak disampaikan secara rinci kepada warga setempat, pedagang dan pihak-pihak lainnya.
Dari tinjauan lapangan dan laporan warga yang kami terima, selain proses perencanaan pembangunan sarana wisata yang tidak melibatkan partisipasi warga setempat/pelaku usaha warga sekitar kawasan, pembangunan sarana wisata yang sedang berjalan telah memberikan akibat sosial dan ekonomi bagi pedagang, warga setempat serta pelaku usaha lainnya.
Karena itu, Dadan Ramdan meminta Gubernur, Kepala Balai Pengelolaan Tahura menghentikan pembangunan sarana wisata yang mengganggu fungsi kawasan, melibatkan partisipasi dan memberdayakan warga setempat dalam pengelolaan Tahura. "Pihak terkait juga harus mengakomodir segala komplain dan tuntutan warga yang dirugikan oleh kegiatan pembangunan yang sedang berjalan," pungkasnya. (mag)Konservasi dan Kesehatan Manusia Serta Satwa
Rabu, 25/10/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh menjadi tuan rumah pertemuan para ahli, praktisi dan akademisi terkait satwa liar dari berbagai negara di acara International Wildlife Symposium (IWS) yang diselenggarakan untuk keempat kalinya di Sumatera. Tema Simposium ini adalah "Promoting One Health through Wildlife Conservation for People’s Prosperity".
Simposium satwa liar internasional ini merupakan kerjasama Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah, WWF Indonesia dan Badan Pangan Dunia (FAO), berlangsung dari 23-25 Oktober 2017. Diikuti 120 peserta dari berbagai latar belakang ilmu terkait konservasi, satwa liar dan kesehatan.
Tema ini diangkat untuk membahas ancaman penyakit pada satwa liar. Upaya konservasi satwa selama ini hanya berfokus pada penyelamatan habitat dan perlindungan dari perburuan. Namun tidak banyak yang menyadari penyakit bisa berkontribusi pada kepunahan satwa itu sendiri.
Direktur Konservasi WWF-Indonesia Arnold Sitompul mengatakan, WWF Indonesia memberikan perhatian pada konservasi satwa liar tidak hanya dengan mendorong penyelamatan habitat, perlindungan spesies melalui pencegahan perburuan dan perdagangan ilegal, penanganan konflik antara manusia dan satwa, dan yang terakhir mulai monitor terkait isu kesehatan satwa melalui penelitian ilmiah.
"Dengan fokus ketiga isu ini maka WWF melakukan program konservasi secara terintegrasi dengan konsep one health yang mencakup kesehatan ekosistem, kesehatan satwa liar yang pada akhirnya memberi manfaat untuk kesejahteraan manusia," kata Arnold, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (25/10).
Dia mengatakan, satwa-satwa terancam punah di Indonesia seperti harimau sumatera saat ini terancam dengan penyakit dari canine distemper virus, gajah terancam dengan virus herpes, sementara badak jawa juga terancam hidupnya oleh parasit darah. Sementara manusia juga mengalami ancaman dari kemungkinan terjadinya spillover penyakit dari satwa liar seperti flu burung dan beberapa penyakit lainnya.
Karena itu, tema "One Health" diangkat untuk mengingatkan bahwa konservasi satwa dan habitatnya dapat menjamin kestabilan ekosistem dan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit dari satwa liar serta meningkatkan kesehatan ekosistem serta kesejahteraan manusia. "Hutan yang sehat, termasuk satwa yang lestari, merupakan benteng pelindung untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan manusia," ujar Arnold.
Konsep one health yang didukung oleh FAO/OIE (organisasi kesehatan hewan dunia) sangat tepat dikembangkan dan dibutuhkan di Indonesia saat ini. Pasalnya, Indonesia merupakan daerah potensial dalam penyebaran jenis penyakit infeksi baru dan penyebarannya tidak terlepas dari dampak dampak kebiasaan dan perilaku manusia yang berinteraksi dengan hewan. Interaksi pun tersebut menjadi medium penularan. Dengan konsep "One Health", isu kesehatan ekosistem, kesehatan satwa dan kesehatan manusia sama pentingnya.
Rektor Unsyiah, Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng mengatakan, simposium ini sangat penting bagi Unsyiah karena dapat mendorong peningkatan peran universitas serta kapasitas kami pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang kedokteran hewan. "Terlebih kita memiliki Fakultas Kedokteran Hewan yang tertua di Pulau Sumatera," ujarnya.
"Konsep one health ini perlu kita luaskan, jadi tidak hanya berfokus pada penularan penyakit dari satwa ke manusia tapi juga ke faktor pendukungnya, yaitu ekosistem yang relatif baik dan hutan yang utuh untuk mendukung pengembangan program-program pembangunan menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera," tambahnya.
Simposium ini dihadiri sekitar 120 presenter dihadiri oleh para ahli ekologi, praktisi konservasi, peneliti, pengajar, mahasiswa, pengelola kawasan konservasi dan satwa, serta pengambil kebijakan. Ada enam pemakalah kunci yaitu Christopher Stremme dari Unsyiah, Dr. Barney Long- Director of Species Conservation, Global Wildlife Conservation (USA), Khalid Pasha,- WWF Tigers Alive, Dr. Peter Black,- Deputy Regional Manager, Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD), FAO RAP, Thailand, Dr. Fakhruddin Mangunjaya serta Guru Besar Biologi UI dan Pakar Konservasi ternama, Prof. Dr. Jatna Supriatna.
Acara inti dari rangkaian acara simposium adalah sesi presentasi langsung secara paralel dan poster menampilkan empat sub-tema terkait one-health yaitu Wildlife Ecology, Health and Medicine, Conservation Innovation, dan Social Economy.
Simposium juga menawarkan empat sesi workshop yaitu “Human-Wildlife Conflict” akan difasilitasi oleh Ahimsa Campos Arceiz, professor dan ahli satwa liar dari University Nottingham Malaysia Campus; “Conservation Tookit: It’s All Started from You” yang akan difasilitasi oleh konservasionis muda dari SCB-Indonesia; “Bird Handling” oleh Dr. Wilson Novarino, ornitolog dan pengajar serta peneliti senior dari Universitas Andalas; dan workshop “One Health” yang diselenggarakan oleh FAO-Indonesia dan Kementerian Pertanian dan organisasi non teritorial persatuan dokter hewan Indonesia. (mag)Penegakan Hukum Lingkungan Lemah
Jum'at, 20/10/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi VII Harry Poernomo mengatakan, penegakan hukum di sektor lingkungan masih lemah. Walaupun sudah banyak tindakan yang dilakukan, tetapi berdasarkan data-data yang ada ternyata masih banyak progres yang tidak terlaksana dengan baik.
"Artinya penegakan hukum ini termasuk langkah pengawasannya, tidak berjalan secara efektif. Terbukti dengan masih adanya kejadian mengenai kerusakan lingkungan ini," ujar Harry Poernomo dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII dengan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Dirjen Penegakan Hukum KLHK, dan Dirjen Minerba KESDM, Kamis (19/10).
Harry juga mempertanyakan hal-hal apa yang sesungguhnya menjadi kendala utama dalam penegakan hukum tersebut, baik terkait dengan kegiatan tambang maupun pengawasan hutan lindung. "Masih banyak kita temui contoh-contoh pelanggaran yang dilakukan seperti kegiatan industri tambang, perambahan hutan, kerusakan lingkungan hutan dan lain sebagainya. Jadi sebenarnya masalah apa yang menjadi kendala. Saya melihat penegakan hukum mulai dari pengawasan mengenai lingkungan ini, masih perlu ditingkatkan. Kinerjanya masih jauh dari harapan," tegasnya.
Harry mengatakan, sudah berjalan tiga tahun Kementerian Lingkungan menyatu dengan Kementerian Kehutanan, apa keuntungan yang diperoleh dengan penyatuan dua Kementerian ini. "Apakah justru dengan penyatuan dua Kementerian ini terdapat kendala-kendala operasional, karena mungkin didalamnya justru terlibat konflik kepentingan," ujarnya.
Harry mengaku, secara pribadi setuju Kementerian Lingkungan Hidup berdiri sendiri, sehingga betul-betul menjadi pemegang otoritas pengawasan dan sekaligus penegakan hukum secara mandiri. "Saya juga tidak tahu alasannya mengapa kabinet sekarang menyatukan Kementerian Lingkungan dengan Kehutanan, kenapa tidak dengan ESDM misalnya, yang mungkin derajat resikonya terhadap lingkungan jauh lebih tinggi," pungkasnya. (mag)RUU Sumber Daya Alam: Air Dikuasai Penuh Negara
Jum'at, 29/09/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Wakil Ketua Komisi V DPR RI Sigit Sosiantomo menegaskan, negara harus mampu memenuhi hak rakyat atas air. Untuk itu dalam RUU Sumber Daya Alam yang sedang dibahas DPR, negara harus mampu mengatur penguasaan penuh atas air.
"Bagaimana negara mutlak berkuasa atas air yang ada dan kemudian bisa didistribusikan kepada setiap orang. Hak warga atas air itu yang paling penting," jelas Sigit dalam RDP Komisi V dengan beberapa stakeholders, diantaranya Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia (PAAI), Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan Himpunan Ahli Teknik Hidraulik (HATHI) di Gedung DPR RI, Senayan, Kamis (28/9), seperti dikutip dpr.go.id.
Dalam diskusi tersebut, mengemuka adanya pembentukan badan atau otorita air yang akan mengatur pengelolaan SDA secara terpadu. Diakui Sigit, pengelolaan air saat ini multikompleks karena ditangani berbagai kementerian. Misalnya, air permukaan ditangani Kementerian PUPR, air bawah tanah oleh Kementerian ESDM, air baku dan embung dan pencemarannya masuk ke ranah Kementerian LHK.
Belum lagi, pihak swasta yang memiliki konsesi pengelolaan sumber mata air, sehingga perlu ada rekalkulasi terhadap kepemilikan quota air. "Ini akan kita atur kembali, sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 33, kita ingin memastikan bahwa negara berkuasa mutlak dalam air, apakah air permukaan, apalagi air tanah yang disedot untuk komersialisasi," sambungnya.
Politisi PKS ini juga menambahkan, keterlibatan swasta akan diatur sedemikian rupa yang memungkinkan swasta bekerjasama dengan BUMN atau BUMD untuk menghasilkan air layak minum. Dimana akses air minum aman nasional per tahun 2016 baru mencapai 71.14 persen.
"Di lain sisi, kita tidak boleh melihat peranan swasta itu momok, karena sebagian swasta masuk di PDAM sehingga air bisa dinikmati sampai ke end user Rp 7/liter. Karena itu ini akan jadi konsen kami, sehingga pasal-pasalnya akan semakin jelas, bagaimana peran swasta, peran sektor ketiga untuk menjamin setiap warga, masyarakat dan seluruh penduduk Indonesia bisa mengakses air bersih dengan mudah dan layak," tutupnyaSementara itu sebelumnya, Pakar Lingkungan Hidup Prof. Emil Salim mengatakan, tata kelola air harus berasaskan kebersamaan dan kemerataan secara berkelanjutan. Emil Salim mengungkapkan manajemen dan pengelolaan air yang buruk menyebabkan air yang layak konsumsi menjadi langka. Bahkan, ia memprediksi 20–30 tahun mendatang kelangkaan air tawar bisa saja terjadi.
"Faktanya di bulan September ini kita mengalami kekeringan, kekeringan air tidak lagi menjadi teori. Kekurangan air terasa hampir diseluruh daerah. Jadi, prakarsa dari DPR untuk mengangkat air menjadi suatu UU pantas dihargai, sebagai hal yang mengaku adanya prioritas dalam hal pengelolaan air," ucapnya.
Selain itu, Emil menuturkan harus ada sebuah keseimbangan dalam penggunaan air karena jika tidak maka dampak perubahan iklim akan semakin dirasakan. Ia mengusulkan agar mata air/ SDA dikuasai oleh negara, bukan perorangan, kelompok masyarakat ataupun badan usaha.
Emil juga mengusulkan dibentuknya suatu Badan Otorita Sumber Daya Air sebagai koordinator. Mengingat, saat ini air diatur oleh tiap-tiap kementerian terkait. "Yang belum adalah menjamin koordinasi efektivitas sampai ke lapangan, untuk itu ingin diusulkan RUU ini adanya pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan, sehingga air terpenuhi walaupun di musim kemarau," tandas Menteri Lingkungan Hidup era Soeharto iniMasukan Emil Salim inipun diapresiasi oleh DPR. "Ini masukan yang luar biasa, yang selama ini belum pernah terpikirkan. Apa yang menyangkut masalah pengelolaan dan manajemen air di Indonesia patut menjadi perhatian. Karena, beberapa kementerian selama ini bekerja sendiri-sendiri sesuai bidangnya tanpa memperhatikan pengelolaan air yang berkelanjutan," kata Wakil Ketua Komisi V DPR RI Muhidin Mohamad Said.
Ia mengatakan, segala bentuk masukan yang dihimpun Komisi V melalui RDP dan RDPU akan menjadi referensi dalam penyusunan RUU SDA, khususnya usulan untuk pengelolaan sumber daya air. Sama halnya dengan bumi dan kekayaan alam lainnya, air harus betul dikuasai negara untuk sebesar-sebesarnya kesejahteraan rakyat.
"Masukan hari ini bisa menjadi bahan kami dalam rnagka penyusunan RUU ini secara sempurna. Sehingga bisa memenuhi harapan kita, bukan harapan pada hari ini saja tetapi masa-masa akan datang," sambung politisi Golkar ini. (mag)DPR: Indonesia Darurat Merkuri
Rabu, 27/09/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi VII DPR RI Mukhtar Tompo mengatakan, saat ini Indonesia adalah negara darurat merkuri. Karenanya, Indonesia harus segera mengurangi penggunaan merkuri pada kegiatan industri, termasuk pada pertambangan emas skala kecil.
"Kondisi Indonesia sangatlah krisis, karena kerusakan akibat merkuri tidak hanya sesaat sebagaimana yang terlihat, namun masuk ke dalam peredaran darah dan merusak syaraf. Selain itu, merkuri merusak lingkungan dan kehidupan manusia," papar Mukhtar Tompo dalam keterangan persnya, Selasa (26/9).
Mochtar sendiri saat ini tengah menghadiri Konferensi Minimata perdana atau Conference of the Parties (COP-1) yang berlangsung pada 24–29 September 2017 di Jenewa, Swiss. Sejumlah perwakilan hadir dalam konferensi ini, untuk mempertegas dukungan pemerintah Indonesia terhadap Konvensi Minamata, antara lain. Hadir pula dalam konferensi tersebut Wakil Ketua Komisi VII DPR Hadi Mulyadi, Anggota Komisi VII DPR Agus Sulistiyono dan Kurtubi bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Enerdi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kemenko Kemaritiman dan Kementerian Ekonomi.
Menurut Mochtar, bahaya merkuri sangat penting untuk diantisipasi. Mengingat, beberapa tahun terakhir, pertambangan emas skala kecil yang menggunakan merkuri semakin marak di Indonesia, seperti di Solok (Sumatera Barat), Pongkor (Jawa Barat), Sekotong (NTB), Katingan (Kalimantan Tengah), Pulau buru Maluku Utara, Palu, Mamuju dan daerah potensi emas lainnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, lingkungan yang sudah terkontaminasi Merkuri susah dinetralkan lagi, bahkan hingga puluhan tahun kemudian. Di udara, pencemaran merkuri dapat merusak saluran pernapasan, merkuri 60–80 persen masuk diserap tubuh melalui udara. Artinya, udara yang tercemar merkuri lebih berbahaya dibandingkan makanan atau minuman yang terkontaminasi merkuri.
"Upaya penertiban sudah berjalan tetapi belum efektif, contohnyai penutupan Tambang Batu Cinnabar, bahan produksi merkuri di Gunung Tembaga, Pulau Seram, Maluku. Namun, setelah tak dijaga aparat warga kembali menambang. Karenanya, diibutuhkan langkah serentak dan seirama oleh semua pihak, pemerintah daerah harus berada di garda terdepan," tegas politisi Hanura ini.
Diakuinya, bahaya merkuri belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat. Masih banyak dokter yang menggunakan Merkuri untuk membersihkan dan menambal gigi dan tak sedikit produk industri yang menggunakan material yang menggunakan bahan merkuri. Belum lagi, limbah industri mengandung banyak merkuri yang belum diolah dan menjadi bahan beracun berbahaya yang dapat merusak ekosistem laut dan meracuni manusia yang memakan kerang dan ikan.
"Kasus dan langkah pemerintah di Poboya Palu harus jadi contoh dalam menyelamatkan Indonesia dari genosida dampak merkuri dan sianida. Jika di Kota Palu Sulawesi Tengah, 400.000 penduduk yang dihantui ancaman merkuri dan sianida yang terpapar melalui air dan udara, bagaimana dengan warga di sekitar area pertambangan Freeport," tandas politisi asal dapil Sulawesi Selatan I ini. (mag)WWF: Indonesia Darurat Badak
Sabtu, 23/09/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Hari Badak Internasional yang jatuh tanggal 22 September lalu mengingatkan kita akan kondisi darurat badak Indonesia. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan Jawa (Rhinoceros sondaicus) saat ini tengah menghadapi situasi darurat, karena tekanan habitat yang cukup masif di Sumatera, bencana alam letusan Gn. Anak Krakatau, penyakit yang ditularkan ternak dan invasif tanaman langkap adalah tekanan untuk Badak Jawa di Ujung Kulon.
Pemerintah Indonesia perlu bereaksi cepat agar badak tidak bernasib sama seperti Harimau Jawa, punah. Darurat Badak Sumatera terjadi karena habitatnya makin habis, dari delapan kantong habitat badak, saat ini hanya tersisa di tiga kawasan konservasi dan lindung: Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Kawasan Ekosistem Leuser.
Ironisnya, status kawasan tidak menjamin kehidupan badak bebas dari ancaman. Survei dan monitoring secara kontinyu dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren penurunan populasi. Jumlah mereka diperkirakan kurang dari 100 individu sejak lima tahun terakhir.
"Kita berlomba dengan waktu untuk menyelamatkan badak Indonesia, agar nasibnya tidak sama dengan Harimau Jawa," ujar Direktur Konservasi WWF-Indonesia Arnold Sitompul, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (23/9) ."Perlindungan habitat saja dan membiarkan mereka berkembang biak secara alami tidak cukup untuk menyelamatkan kelangsungan hidup Badak, perlu segera memindahkan badak ke tempat yang aman dan melakukan pembiakan semi alami yang lebih aktif dan manajemen kawasan yang lebih baik," lanjut Arnold.
Darurat Badak juga terjadi pada Badak Jawa. Populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) sebaliknya relatif over populasi. Walaupun begitu, nasibnya juga tidak kalah kritis. Mereka hidup di kawasan semenanjung Ujung Kulon juga merupakan zona rawan tsunami karena letusan gunung Anak Krakatau dan pergeseran lempeng benua. "Jika ini terjadi, habis seluruh populasi Badak Jawa," ujar Arnold.Hasil sensus yang dilakukan terhadap ternak masyarakat yang ada di sekitar kawasan TNUK menunjukkan bahwa 90% kerbau masyarakat positif mengidap bakteri tripanosoma. Aktivitas ternak yang tidak dikandangkan dan dilepasliarkan hingga masuk ke dalam kawasan TNUK dikhawatirkan bisa menyebarkan bakteri tersebut kepada Badak Jawa dan bukan tidak mungkin bisa menyebabkan kematian.
Untuk menghindari punahnya populasi karena bencana alam, memecah populasi Badak Jawa dengan cara membangun populasi kedua merupakan langkah strategis yang dibutuhkan untuk konservasi jangka panjang spesies ini. "Rumah Baru" badak ini bukan hanya sekadar mengurangi kepadatan populasi dan memberi ruang untuk Badak Jawa berkembang secara sehat, tapi merupakan langkah antisipatif untuk mencegah Badak Jawa dari kepunahan.
Tantangan lain dalam konservasi Badak Jawa di Ujung Kulon adalah hadirnya pohon langkap, tanaman invasif yang memberikan gangguan terhadap pertumbuhan pakan badak. Pengendalian pohon langkap perlu dilakukan secara terus menerus agar tersedia ruang tumbuh yang kondusif untuk ratusan jenis pohon pakan bagi Badak Jawa.
"Badak ini adalah kebanggaan bangsa Indonesia. Jenisnya hanya satu-satunya di dunia, tapi kenyataannya, mereka adalah satwa langka yang berstatus kritis," tegas Arnold.Jika Indonesia gagal menyelamatkan Badak Sumatera dan Badak Jawa dari kepunahan, maka dunia akan kehilangan dua species. Diperlukan keseriusan semua pihak untuk penyelamatannya.
"Adalah tugas kita semua, untuk turut menjaganya. Nasib badak ada di tangan anda! Anda bisa membuatnya terus hidup atau punah. Diperlukan kebijakan pemerintah Indonesia untuk segera memindahkan badak, pembuatan habitat semi alami yang dapat mendukung perkembangbiakan badak dan memperkuat pengamanan kawasan," pungkas Arnold. (mag)
Surat Terbuka JATAM untuk Presiden Joko Widodo: Selamatkan 400.000 Jiwa Penduduk Palu Dari Bahaya Merkuri dan Sianida
Sabtu, 23/09/2017 07:00 WIBJakarta, 22 September 2017
Teruntuk Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo.
Bapak Presiden kami yang terhormat.
Kami mendapatkan kabar bahwa Bapak Presiden Joko Widodo beserta rombongan akan datang kembali ke Kota Palu, Sulawesi Tengah, untuk menghadiri agenda Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional 2017. Kami menghitung ini adalah kali keempat Bapak Presiden datang mengunjungi kota berjuluk Bumi Tadulako ini.
Kami menyampaikan surat terbuka ini dengan maksud memberikan informasi kepada Bapak Presiden, terkait ancaman krisis lingkungan yang semakin parah di Kota Palu. Apakah Bapak Presiden Joko Widodo sudah mengetahui bahwa Kota Palu berada dalam ancaman keracunan Merkuri dan Sianida dari aktifitas pertambangan emas di Poboya? Tambang emas illegal yang berada di Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah.
Ya, Bapak Presiden. Hingga saat ini 400.000 jiwa penduduk Kota Palu dan sekitarnya dihantui ancaman peracunan Merkuri dan Sianida, baik dari udara dan air akibat pertambangan emas tersebut. Ancaman pencemaran air bukan omong kosong. Penelitian Dinas Kesehatan Kota Palu pada 2014 menunjukkan, 7 dari 10 sampel sumur Baku Mutu Air Bersih di Kota Palu memiliki kadar Merkuri 0,005 atau lima kali lipat di atas standar normal.
Pak Presiden, Poboya adalah kawasan dataran tinggi dengan bentang alam berbukit dan menjadi tempat tangkapan air selama ini. PDAM Kota Palu mengambil dan mengolah air tak jauh dari sana untuk memenuhi kebutuhan air penduduk. Pipa-pipa air PDAM tersebut bersandingan dengan mesin-mesin tromol Merkuri dan kolam Sianida untuk mengolah emas yang tak bisa dipastikan keamanan kandungannya.
Payahnya operasi penambangan malah berada di TAHURA (Taman Hutan Raya) yang merupakan kawasan konservasi. Hukum nampaknya ompong tak menggigit disana, Pak Presiden. Kawasan konservasi mestinya bebas dari segala aktivitas eksploitatif. Namun sebaliknya, aktivitas pertambangan justru dibiarkan beroperasi disana.
Menyelesaikan persoalan di Poboya mestilah dengan amatan yang holistik, Pak Presiden. Pertambangan bukan ekonomi orisinil bagi masyarakat Poboya, karena praktik penambangan baru masuk menyerbu diam-diam pada 2008. Begitu juga kehadiran izin tambang Kontrak Karya PT Citra Palu Mineral (CPM), pun dihadirkan pada 1997. Dahulu ekonomi masyarakat adalah ekonomi pertanian, mereka menanam palawija dan sebagian lagi dari beternak.
Pak Presiden yang terhormat, maraknya pertambangan emas di Poboya juga tidak lepas dari permasalahn peredaran Merkuri dan Sianida yang semakin masif serta tidak adanya penegakan hukum dari pihak yang berwajib. Bahkan Perusahaan Daerah (PERUSDA) Kota Palu menjadi salah satu pemasok resmi Merkuri dan Sianida. Kuat dugaan bahwa PERUSDA Kota Palu juga mengedarkan merkuri dan sianida tersebut kepada empat perusahaan pertambangan yang beroperasi secara illegal di Poboya. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Panca Logam Utama; PT Madas; PT Sungai Mahakam; dan PT Indo Kimia Asia Sukses.
Empat perusahaan ini lah yang melakukan pengolahan emas dengan menggunakan metode perendaman di kolam-kolam sianida dalam skala besar dan leluasa tanpa adanya tindakan hukum dari pihak kepolisian.
Tak terbilang betapa besar kerugian Negara dari kehancuran lingkungan dan pencurian emas secara ilegal dari poboya. Sebagaimana pemberitaan kumparan.org, pemimpin perusahaan mengatakan telah dapat izin dari kepala adat untuk menambang. Sungguh Negara tidak hadir di Poboya baik untuk menyelamatlan kekayaan alam milik Negara maupun untuk menjamin keselamatan 400.000 jiwa penduduk Kota Palu yang setiap saat terancam dari peracunan merkuri dan sianida.
Permasalahan yang muncul tidak hanya berhenti pada peredaran Merkuri dan Sianida yang melibatkan perusahaan daerah. Di sisi lain PT CPM selaku pemilik konsesi Kontrak Karya di wilayah Poboya juga melakukan pembiaran. Bahkan diduga kuat bahwa PT CPM sengaja membiarkan praktik penambangan ilegal di wilayah konsesinya karena menerima setoran dari empat perusahaan tambang illegal tersebut.
Sehingga kita patut mempertanyakan komitmen PT CPM yang menyatakan akan melakukan reklamasi dan rehabilitasi di wilayah Poboya. Bagi kami komitmen PT CPM hanyalah bentuk pencitraan semata, mengingat mereka selama ini melakukan pembiaran dan mengizinkan pertambangan emas illegal di atas konsesinya serta diduga kuat menerima setoran dari empat perusahaan tambang illegal.
Bapak Presiden yang baik. Lagi-lagi kembali rakyat yang menjadi korban. Setelah menjadi korban utama akibat terpapar racun Merkuri dan Sianida, kini warga Poboya justru mendapat stigma dan labelisasi sebagai perusak lingkungan karena sumber pencemaran selalu dialamatkan kepada wilayah mereka.
Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, Pak Presiden, butuh lebih dari sekadar kemauan untuk mengatasi masalah di Poboya. Mengembalikan kedaulatan ekonomi warga Poboya harus dimulai dengan meninggalkan ekonomi pertambangan. Mengatasi kerusakan yang diakibatkan pertambangan emas yang sudah berlangsung selama sepuluh tahun, tidak akan bisa dilakukan jika ekonomi tambang masih dikedepankan.
Penegakan hukum dan penghentian tambang pun tak boleh dilakukan dengan tebang pilih. Memulihkan Poboya berarti juga harus menyetop seluruh aktifitas pertambangan, baik ilegal maupun yang legal. Termasuk mencabut izin pertambangan PT CPM. Karena ada 5.000 hektare dari luas wilayah penyangga air, termasuk Poboya, diberikan untuk konsesi pertambangan Kontrak Karya PT CPM.
Kontestasi dan ´orkestra´ penghancuran Poboya harus segera dihentikan
Pak Presiden, timbunan masalah di Poboya salah satunya disulut oleh sikap pemerintah-pemerintah sebelumnya yang sejak dulu tak pernah konsisten; tidak mau membuka dialog dengan masyarakat adat. Setelah penetapan TAHURA Palu pada 1995, Pemerintah malah menerbitkan izin tambang bagi PT CPM. Setelah itu disusul lagi dengan dukung-mendukung, memfasilitasi dan melakukan pembiaran dengan cara kucing-kucingan atas pertambangan emas ilegal. Sudah saatnya pemerintah konsisten dan tegas, membuka ruang dialog dengan semua pihak dan mencari jalan keluar terbaik demi ruang hidup dan keselamatan Rakyat.
Bapak presiden, tindakan menyepelekan Merkuri dan Sianida serupa dengan mengundang tragedi. Jangan lupakan Tragedi Minamata di kota Minamata, Jepang, pada 1958. Ketika itu ratusan orang mati setelah diserang kelumpuhan, dan ribuan balita tumbuh cacat. Atau seperti yang terjadi serupa di Indonesia, di Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa Tenggara yang akhirnya warga harus bedol desa karena Teluk Buyat sudah gagal dipulihkan akibat tercemar tailing dari pertambangan emas milik Newmont Minahasa Raya.
Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah menandatangani Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata mengenai Merkuri) pada 10 Oktober 2013 di Kumamoto, Jepang. Konvensi itu bertujuan melindungi kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup dari emisi, pelepasan merkuri, serta senyawa merkuri yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada 13 September 2017, Indonesia secara resmi telah meratifikasi Konvensi Minamata dan disahkan menjadi undang-undang. Inilah momen yang tepat bagi Pemerintah untuk pertama kalinya menerapkan UU Ratifikasi Minamata di Poboya demi melindungi keselamatan rakyat dari bahaya racun Merkuri, sebagaimana amanat dalam UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia.
Kita semua tentu tidak mau rakyat kita dan generasi baru di Palu tumbuh dalam kondisi cacat, lumpuh dan mati di usia dini, anak-anak mengalami penurunan kecerdasan dan kemampuan otak akibat terus-menerus terpapar racun Merkuri dan Sianida. Seperti yang selalu Bapak Presiden sampaikan, Janji Nawacita adalah menghadirkan Negara ditengah-tengah Rakyat, untuk memastikan keselamatan Rakyat, keberlanjutan alam dan lingkungan hidup.
Indonesia kini dalam kondisi darurat tambang dan merkuri, Pak Presiden. Penambangan,b aik legal maupun ilegal, telah menjadi bom waktu bagi Rakyat Indonesia. Sudah 34 persen wilayah Indonesia dikapling untuk tambang, salah satunya pertambangan emas. JATAM mencatat 628 izin usaha pertambangan emas yang diobral sejak dulu oleh Pemerintah. Begitu juga tumbuhnya tambang-tambang emas ilegal yang tersebar di 850 titik di seluruh Indonesia.
Celakanya lagi, kini di Pulau Seram, Maluku, sudah marak penambangan batu Cinnabar, bahan baku pokok dalam pembuatan Merkuri. Kini kita menjadi produsen racun yang akan kita gunakan sendiri dan akan terpapar pada diri kita sendiri. Kita harus segera menghentikannya dimulai dari Poboya dan dilanjutkan ke tambang-tambang lainnya. Agar tambang-tambang ini tak menjadi bom waktu dan meledak, meluluh-lantakkan kita semua.
Bapak Presiden, perkenankanlah kami meminta bapak untuk meninjau langsung ke Poboya di Palu, Sulawesi Tengah, mengambil tindakan dan menyatakan darurat Merkuri dan Sianida di Poboya. Pak Presiden, penyelesaian menyeluruh harus segera dilakukan, mumpung sedang berkunjung kesana.
Bapak Presiden yang terhormat. Kami meminta kepada Anda, selaku pimpinan tertinggi dalam Pemerintahan, untuk memerintahkan Kapolri menindak tegas pelaku penambangan emas maupun pihak-pihak yang memberikan fasilitas penggunaan Merkuri dan Sianida di Poboya. Selain itu, perintahkan juga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kapolri untuk menyelidiki dugaan keterlibatan PT CPM dalam praktik penambangan emas illegal di Poboya, serta meminta Menteri ESDM untuk mencabut izinnya.
Selamat berkunjung ke Palu Pak Presiden, mari kita gotong royong bekerja melawan daya rusak pertambangan demi tanah air dan bangsa tercinta dikunjungan kerja Bapak Presiden kali ini. Solusi menyeluruh kita sekarang ditunggu dan sedang berlomba dengan waktu.
Hormat kami
Merah Johansyah Ismail
Koordinator Nasional JATAMSurvei WWF-Nielsen: Produsen Mampu Sediakan Produk Ekolabel dan Pasar Siap Membeli
Selasa, 19/09/2017 12:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Hasil survei WWF-Indonesia dan Nielsen Survey tahun 2017 menunjukkan, sebanyak 63% konsumen Indonesia bersedia mengkonsumsi produk ramah lingkungan dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan peningkatan kesadaran konsumen yang signifikan terhadap konsumsi produk ramah lingkungan dan mengindikasikan kesiapan pasar domestik menyerap produk-produk yang diproduksi secara berkelanjutan.
Survei persepsi konsumen dilakukan WWF dan Nielsen terhadap 916 responden di Jakarta, Medan, Surabaya, Denpasar, dan Makassar yang mewakili konsumen kelas menengah ke atas berusia 15-45 tahun. Survei dilakukan di bulan Juni hingga Juli 2017.
Lebih lanjut, hasil survei menunjukkan alasan terbanyak yang melatarbelakangi persepsi konsumen ini adalah efek pemanasan global yang langsung dirasakan, rasa tanggung jawab atas dampak lingkungan yang dihasilkan dari aktivitas konsumsi sehari-hari (61%) serta perasaan bahagia karena telah berkontribusi pada upaya pelestarian lingkungan (52%). Terkait kampanye konsumen ´Beli Yang Baik´ yang diinisiasi WWF-Indonesia pada bulan Juni 2015, sebanyak 34% responden mengetahui adanya kampanye tersebut dan 72% di antaranya mengaku dapat memahami pesan kampanye tersebut dengan mudah.
Director Consumer Insights Nielsen Survey Hety Riatono mengatakan, hasil survei persepsi menunjukkan pemahaman dan kesadaran konsumen Indonesia yang membaik mengenai konsumsi produk ramah lingkungan. Namun, hal ini belum terakomodir oleh ritel sebagai penyedia produk di pasar yang belum memprioritaskan penjualan produk-produk ramah lingkungan di toko-tokonya."Hal ini mungkin disebabkan oleh masih rendahnya pemahaman ritel tentang praktik bisnis berkelanjutan serta persepsi ritel mengenai resiko penjualan produk ramah lingkungan," ungkap Hety, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Selasa (19/9).
Bersamaan dengan dikeluarkannya hasil survei ini, di sektor produksi dua mitra dampingan WWF-Indonesia asal Kalimantan berhasil memperoleh sertifikasi produksi berkelanjutan atau ekolabel untuk masing-masing komoditas yang diproduksinya. Kedua mira dampingan itu adalah Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) yang mendapatkan sertifikasi FSC (Forest Stewardship Council) untuk komoditas rotan dan PT Mustika Minanusa Aurora (PT.MMA) yang memperoleh sertifikasi ASC (Aquaculture Stewardship Council) untuk komoditas udang windu budidaya.
Secara alami, tumbuhan rotan mampu mencegah terjadinya deforestasi akibat ketergantungannya terhadap ekosistem hutan yang sehat. Implementasi standar sertifikasi FSC FM/CoC (Forest Management/Chain of Custody) oleh P2RK diyakini dapat meningkatkan nilai produk rotan alami sehingga dapat makin mencegah kecenderungan masyarakat Katingan mengkonversi hutan alam sumber rotan mereka menjadi tanaman pertanian lain. Dengan skema FSC FM/CoC maka isu ketelusuran asal usul bahan baku rotan di wilayah anggota P2RK menjadi lebih terjamin karena diverifikasi oleh pihak independen.
Perolehan sertifikasi FSC oleh P2RK merupakan yang pertama untuk komoditas rotan di Indonesia. Area lahan P2RK yang tersertifikasi mencapai luas 690,58 hektare dengan jumlah petani 209 orang yang berasal dari 6 kecamatan dan 21 desa di Kabupaten Katingan.Adapun perkiraan produksi komersial tahunan dari komoditas rotan yang disertakan dalam lingkup sertifikat berkisar 1.002,75 ton/tahun meliputi sembilan jenis rotan. Perolehan sertifikasi FSC diharapkan dapat meningkatkan nilai tawar petani rotan sehingga mencegah terjadinya alih fungsi lahan yang mengarah ke deforestasi.
"Rotan adalah tumpuan harapan kami untuk mengembalikan kelestarian hutan di Katingan sekaligus memperbaiki perekonomian rakyat setempat. P2RK mengharapkan perolehan sertifikasi FSC mampu meningkatkan nilai ekonomi rotan sekaligus mengundang lebih banyak permintaan dari pasar di dalam maupun luar negeri," jelas Oscar Sukah, Ketua P2RK.
Di sektor perikanan, PT MMA adalah perusahaan pertama di Indonesia yang berhasil mendapatkan sertifikasi ASC untuk komoditas udang windu budi daya. PT MMA menerapkan sistem budi daya tradisional tanpa aerasi dan tanpa penggunaan pakan.Dengan sistem ini PT MMA mengutamakan konservasi ekosistem hutan bakau sebagai faktor penunjang utama produksi komoditasnya. Setiap tahunnya PT.MMA mampu memproduksi sebanyak 20 ton produk udang windu per tahun dan hingga saat ini perusahaan telah berkontribusi melestarikan area hutan bakau di wilayah Tarakan dan Bulungan, Kalimantan Utara hingga seluas 30 hektare.
Perolehan sertifikasi ASC menunjukkan kemampuan PT MMA dan para mitra petambaknya untuk melakukan praktik konservasi, yaitu melindungi habitat mangrove dan menekan ancaman terhadap keanekaragaman hayati sekaligus mempertahankan kualitas produk dengan menjaga kualitas air dan meminimalisir penyebaran penyakit pada budi daya udang. Terobosan ini juga membuktikan bahwa praktik budi daya tradisional mampu menembus dan bersaing dengan industri budi daya yang intensif dalam memenuhi standar sertifikasi berkelanjutan yang diakui pasar global.
"Praktik budi daya yang dijalankan PT MMA telah menerapkan seluruh prinsip budi daya laut yang bertanggung jawab dan telah dibuktikan melalui perolehan sertifikasi ASC. Oleh karena itu, WWF mendorong adanya dukungan pasar untuk memperluas implementasi praktik budi daya serupa oleh pelaku usaha lainnya," ujar Abdullah Habibi, FIP & AIP Manager WWF-Indonesia.
Bertumbuhnya kesadaran konsumen Indonesia untuk mengkonsumsi produk ramah lingkungan dan bertambahnya jumlah produsen yang mampu menghasilkan produk bersertifikasi ekolabel menandai kemajuan dan kesiapan industri dan pasar Indonesia untuk menerapkan praktik produksi dan konsumsi yang memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Di sektor produksi, usaha skala industri maupun skala masyarakat Indonesia telah membuktikan kemampuannya memenuhi persyaratan industri dan pengelolaan yang terbaik yang di dunia."Melalui upaya kampanye publik dan advokasi kepada pemerintah dan pihak swasta, WWF-Indonesia akan meluaskan implementasi konsumsi dan produksi berkelanjutan di komoditas-komoditas lainnya demi mewujudkan misi konservasi, yaitu keseimbangan alam dengan kehidupan manusia," pungkas Habibi. (mag)