JAKARTA - Pemerintah secara resmi menolak pembahasan perubahan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi SDA) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.

“Pemerintah telah resmi menyampaikan pada DPR untuk tidak memasukkan revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 sebagai prioritas, termasuk tidak dalam longlist,” kata Tenaga Ahli Komisi IV DPR Robin Bahari dalam acara Temu Wicara yang bertajuk Arah Baru Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang diadakan oleh Indonesian Center For Environmental Law (ICEL) dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) di Jakarta, belum lama ini.

Berbeda dengan sikap pemerintah, Badan Legislasi (Baleg) DPR justru menginginkan supaya revisi UU Konservasi SDA masuk Prolegnas. Hal itu mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat DPR pada 26 November 2019 yang dihadiri oleh 25 dari 80 anggota Baleg DPR, dan sebagai perwakilan Kelompok Kerja (Pokja) Konservasi, hadir ICEL, World Conservation Society-Indonesia Program (WCS), serta Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI).

“Memang kita selama ini agak terlambat, karena telah habis sebagian besar apa yang menjadi keanekaragaman hayati kita. Karena terlambatnya undang-undang, keanekaragaman hayati hampir terancam punah,” kata anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI Perjuangan I Ketut Karyasa.

“Menjadi tugas kita sebagai DPR, di Baleg khususnya, untuk memasukkan ini ke dalam Prolegnas Prioritas. Karena ancaman itu riil,” kata anggota Baleg DPR lainnya, Christina Aryani, dari Fraksi Golkar.

“Fraksi Partai Nasdem mendukung RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas karena ada kebutuhan terkait perkembangan zaman yang harus mampu diakomodir perubahan UU, sekaligus menjawab tantangan global yang makin kompleks antara manusia dengan sesama makhluk lainnya,” kata anggota Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Taufik Basari.

Direktur Eksekutif ICEL Henri Subagiyo berpendapat beberapa kelemahan UU Konservasi SDA memang dapat diatasi dengan sinergitas antarpenegak hukum, peraturan pelaksana dan pendayagunaan undang-undang lain terkait (UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik).

“Namun, terdapat beberapa hal yang tetap perlu perbaikan pada level undang-undang seperti perbaikan rumusan delik pidana, kewenangan dan teknik penyidikan tertentu, sanksi yang berorientasi pemulihan, serta pertanggungjawaban badan hukum,” kata dia.

BACA: Dakwaan Tunggal Penyebab Sulitnya Menjerat Kejahatan Konservasi

Sementara itu Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universias Indonesia Emil Salim mengemukakan urgensi untuk mengidentifikasi kepentingan-kepentingan yang terlibat.

“Yang menjadi masalah adalah penyanderaan calon tokoh politik, sehingga hilang kebijakan pembangunan yang mengutamakan  sustainability jangka panjang, terdesak oleh kepentingan pengelolaan jangka pendek yang bersifat eksploitatif dan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek penyandera,” kata Emil. (G-1)

BACA JUGA: