JAKARTA - Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung (MA) Supandi menyatakan kasus lingkungan biasanya terjadi antara pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dan pihak yang memiliki akses terbatas. Kendala umum yang ditemui dalam penyelesaian kasus lingkungan itu adalah kesulitan pembuktian.

“Berbekal asupan dana yang besar dan mengejar keuntungan jangka pendek semata, tentu para pelaku pencemar lingkungan akan mudah untuk melakukan pendanaan penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu yang tidak bekerja secara objektif dan mengedepankan fakta-fakta yang ada di lapangan secara nyata,” ujar Supandi dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) dan Indonesian Center for Environment Law (ICEL) sebagai pembuka Konferensi Hukum Lingkungan bertajuk Menyongsong Sepuluh Tahun Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Refleksi Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia pada 26-27 Agustus 2019 di Kampus FHUI Depok, Jawa Barat.

Walaupun penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia memiliki banyak kendala, Diskusi Para Ahli yang terdiri dari Ketua Himpunan Pengajar Hukum Lingkungan Indonesia Prof. Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H., Koordinator Satgas 115 Kementerian Kelautan dan Perikanan RI Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LLL.M., Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Harsanto Nursadi, S.H., M.Si., dan Direktur Eksekutif ICEL Henri Subagiyo, S.H., M.H., bersependapat bahwa UU PPLH hingga saat ini telah cukup baik dalam merespons berbagai kasus lingkungan hidup serta perkembangannya.

“UU 32/2009 merupakan undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terbaik dengan konsep pengawasan yang terintegrasi, penegakan hukum yang sangat kental, sudah mengantisipasi otonomi daerah, dan sangat progresif dengan mengatur juga green legislation dan green budget,” kata Mas Achmad Santosa dalam keterangan tertulis yang diterima oleh Gresnews.com dari Humas Media ICEL, Selasa (27/8). (G-1)

BACA JUGA: