JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelaksanaan konferensi perubahan iklim internasional ke-21 di Paris Perancis pada Desember mendatang sudah siap digelar. Dari data di Kementerian Luar Negeri diketahui, saat ini sudah ada 47 negara yang berkomitmen untuk ambil bagian dalam pertemuan yang diinisasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Framework on the Convention of Climate Change (UNFCC) itu.

Jumlah itu, memang masih sedikit dibandingkan jumlah keseluruhan anggota UNFCCC yang terdiri dari 166 negara. Mereka siap menyatakan komitmennya untuk pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) demi menghindari terjadinya kenaikan suhu rata-rata dunia di atas 2 derajat Celcius di 2100 jika tidak ada langkah yang diambil untuk mengurangi emisi saat ini yang bakal membawa bencana.

Indonesia sendiri sudah sejak jauh-jauh hari, tepatnya pada pertemuan para pihak (Conference of the Partie-COP) Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) ke-19 di Warsawa Polandia tahun 2013 lalu, tetap mempertahankan komitmennya untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen dari kondisi jika tidak melakukan tindakan apa-apa (business as usual) pada tahun 2020. Komitmen ini sendiri sudah dipancangakan Presiden SBY dalam COP ke15 di Copenhagen tahun 2009 silam.

Tepatnya, komitmen itu adalah, Indonesia akan menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen dengan upaya sendiri dari kondisi business as usual pada 2020 dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional. Keseriusan pemerintah mempertahankan ambisinya ini sudah tertuang dalam kerangka Intended Nationally Determined Contribution (INDC) atau Keinginan Kontribusi Nasional. Di situ tercatat, Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang turut menyepakati pengurangan emisi GRK hingga tahun 2020 sebesar 26 persen.

Utusan Khusus Presiden RI untuk Perubahan Iklim Rachmat Witoelar mengatakan, Indonesia telah sepakat menyusun bahan naskah perjanjian mengenai kesepakatan pengurangan emisi GRK sebesar 26 persen. Hal itu disepakati Rahmat sebagai perwakilan Indonesia yang hadir dalam tahap persiapan konsultasi informal Conference of Parties (COP) ke-21 di Paris, Perancis, Senin pekan lalu.

"Sudah disiapkan naskah perjanjian penurunan emisi nasional sebesar 26 persen. Minggu lalu, Indonesia bersama beberapa negara anggota lain telah menyampaikan komitmennya masing-masing," kata Rachmat saat dihubungi gresnews.com, di Jakarta, Senin (27/7).

Dalam pertemuan pendahuluan di Paris itu, hadir lebih dari 40 pejabat setingkat Menteri/Wakil beserta wakil dari Uni Eropa, PBB, dan Sekretariat UNFCCC. Pada kesempatan itu pula Indonesia bersama negara-negara lain menyuarakan dukungan atas penyelenggaraan pembahasan perubahan iklim dan langkah-langkah strategis guna menjamin tercapainya kesepakatan dalam COP ke-21 akhir tahun mendatang.

Seperti dilansir Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)dalam laporan "Arah Growth Green Indonesia" (2010), diperkirakan emisi GRK Indonesia apda tahun 2005 mencapai 2,1 Giga ton (Gt). Jika Indonesia tetap berkomitmen memangkas emisi hingga 26 persen pada tahun 2020, Indonesia jelas harus bekerja keras mengurangi angka emisi itu kurang lebih sebanyak 0,67 Gt.

Toh, Rachmat Witoelar tetap percaya diri dengan komitmen Indonesia ini. "Sebagai warga dunia yang bertanggung jawab, kita harus menurunkan emisi," katanya. 

KELEWAT AMBISIUS - Rencana pemerintah untuk mempertahankan komitmen mengurangi emisi sebesar 26 persen pada 2020 ini dinilai kelewat ambisius. Pasalnya, beberapa negara maju yang di 2009 lalu sama-sama menegaskan komitmennya untuk mengurangi emisi GRK dalam kisaran angka sebesar itu, mulai merevisi ambisinya masing-masing.

Dalam COP ke-19 di Warsawa, Polandia, pemerintah Jepang secara resmi mengumumkan perubahan komitmen penurunan GRK dari 25 persen dengan basis emisi di tahun 1990 menjadi hanya 3,5 persen dari basis emisi tahun 2005. Langkah ini ditempuh Jepang setelah ditutupnya reaktor nuklir Fukushima akibat gempa.

Dengan ditutupnya reaktor nuklir yang berkontribusi pada 26 persen pasokan listrik di negara matahari terbit itu, maka pemerintah Jepang harus mengalihkan sumber energi listriknya pada sumber-sumber lain seperti gas dan batubara yang mempertinggi tingkat emisi negara itu.

Penurunan komitmen juga dilakukan Australia yang target pengurangan emisinya hanya sekitar 5% pada 2020. Bahkan Australia juga menghapus beberapa kebijakan perubahan iklim mereka seperti Climate Change Authority, Clean Energy Finance Company, dan Domestic Carbon Pricing Scheme.

Lantas bagaimana bisa Indonesia tetap mempertahankan ambisinya? Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Beleid itu sendiri mengamanatkan disusunnya dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional. Beleid itu juga mengamanatkan disusunnya Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK).

Sama seperti RAN-GRK, RAD-GRK adalah dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan daerah.

Dalam Perpres Nomor 61/2011 ini disebutkan, bahwa kegiatan RAN-GRK meliputi bidang Pertanian, Kehutanan dan lahan Gambut, Energi dan Transportasi, Industri, Pengelolaan limbah, dan kegiatan pendukung lainnya. RAN-GRK ini akan menjadi acuan bagi masyarakat dan pelaku usaha dalam melakukan perencanaan dan pelaksanaan penurunan emisi.

Kegiatan inti dari RAN-GRK ini sendiri adalah meliput target penurunan emisi 26%-41% yaitu meliputi bidang pertanian sebesar 0,008 Gigaton Co2e (karbondioksida ekuivalen-26%) dan 0,011 Gigaton Co2e (41%). Kedua, bidang Kehutanan dan Lahan Gambut sebesar 0,672 Gigaton Co2e (26%) dan 1,039 Gigaton Co2e (41%).

Ketiga, bidang Energi dan Transportasi sebesar 0,038 Gigaton Co2e (26%) dan 0,056 Gigaton Co2e (41%). Keempat, bidang Industri sebesar 0,001 Gigaton Co2e (26%) dan 0,005 Gigaton Co2e (41%). Keenam bidang Pengelolaan Limbah sebesar 0,048 Gigaton Co2e (26%) dan 0,078 Gigaton Co2e (41%).

Rachmat Witoelar sendiri selaku Ketua DNPI mengklaim target pengurangan emisi karbon sebesar 26 persen ini baru tercapai 8 persen. Angka sebesar itu bisa dicapai setelah pemerintah dapat menekan laju penurunan deforestasi yang dinilai sebagai penyumbang terbesar emisi karbon.

Dari data DNPI, porsi pengurangan emisi karbon yang sebesar 26%, sebagian besar memang merupakan tanggung jawab Kementerian Kehutanan. Hampir 20% penghematan emisi karbon lebih banyak berada di sektor kehutanan. Sementara, sisanya 6% dibagi-bagi kepada kementerian/lembaga lain. 

TANTANGAN REDUKSI EMISI - Pemerintah memang boleh saja yakin mampu memenuhi target ambisiusnya sekaligus mengklaim telah melakukan penurunan emisi sebesar 8 persen. Hanya saja, angka ini juga belakangan dikritisi banyak kalangan. Pasalnya, angka itu disebut-sebut Rachmat sejak tahun lalu.

Apabila angka itu tetap sama hingga kini, bisa diartikan sebenarnya tidak ada kemajuan berarti yang dicapai oleh pemerintah dalam upaya pengurangan emisi. Lagipula, Rachmat Witoelar juga tidak menjelaskan secara rinci asal angka penghematan emisi ini.

Terkait pengurangan laju deforestasi misalnya, Forest Watch Indonesia (FWI) memiliki catatan kritis terkait "keberhasilan" ini. Dalam catatan FWI laju deforestasi di Indonesia dalam tiga periode mengalami penurunan yakni dua juta hektare pertahun dalam kurun waktu 1980-1990-an.

Kemudian turun lagi menjadi sekitar 1,5 juta hektare pertahun selama 2000-2009 dan sekitar 1,1 juta hektare pada periode 2009-2013. Melihat angka ini, memang terlihat ada tren penurunan angka deforestasi yang signifikan. Masalahnya, yang tidak dilihat pemerintah adalah, angka ini turun juga disebabkan oleh kawasan hutannya yang juga semakin berkurang.

Menurut FWI penurunan laju deforestasi ini bukan murni prestasi pemerintah melainkan lantaran luasan hutannya yang memang semakin menyusut. Alhasil, angka deforestasi sebesar 1,1 juta hektare di periode 2009-2013 tetaplah angka yang mengerikan. Angka itu sama dengan hilangnya luas hutan sebesar tiga kali lapangan sepakbola tiap menit.

Sebagai negara berkembang, Indonesia memang masih dihadapkan pada kompleksitas masalah kerusakan lingkungan. Laju deforestasi dan pembakaran hutan disinyalir sebagai ancaman nyata dari kejahatan di sektor lingkungan hidup.

Bedasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(KLHK), kerusakan Indonesia masih dalam titik kritis. Dewasa ini telah terjadi laju deforestasi yang disebabkan kebakaran hutan, alih fungsi dan illegal logging masih tinggi.

Menurut Juru bicara KLHK, Eka Widodo, tingkat deforestasi yang terjadi setiap tahun diprediksi mencapai 450.000 hektare. "Angkanya terjadi secara fluktuatif," kata Eka.

Senada dengan Eka, Rahmat Witoelar sendiri mengakui, kendala Indonesia mengurangi emisi memang terletak pada masalah kejahatan di sektor kehutanan. Indonesia masih dibayangi praktik pengundulan hutan atau alih fungsi lahan.

Rahmat mencontohkan praktik pembakaran hutan banyak terjadi di Riau dan Kalimantan Tengah. Tidak hanya itu, pemicu tingkat kerusakan lingkungan, kata dia, turut disumbang tingkat pelanggaran illegal logging (pembalakan liar).

"Masalah utama yang dihadapi adalah praktik memperluas lahan dengan cara menebang hutan untuk dikonversi menjadi area pertanian, batu bara dan migas," tutur Rahmat.

Belum lagi soal penggunaan bahan bakar tidak ramah lingkungan yang masih sangat marak dipakai di Indonesia. Untuk itu, Rachmat menilai perlu ada pengurangan subsidi bahan bakar agar mengurangi pencemaran dan polusi. Padahal di sisi lain, pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan juga masih tersendat dengan mahalnya teknologi dan minimnya kebijakan.

Indonesia misalnya masih mengandalkan energi kotor batubara dalam rencana pengembangan PLTU sebesar 35.000 watt. Salah satunya akan dibangun di Batang, yang hingga saat ini masih menuai penolakan dari masyarakat setempat karena akan menghancurkan ratusan hektare lahan persawahan subur dan wilayah konservasi laut.

Selanjutnya, tantangan lain yang dihadapi, lanjut Rachmat, terkait pembuatan kota-kota baru yang merusak kehidupan vegetasi. Cara atau metode pembukaan lahan baru ditenggarai dapat mengancama vegetasi (tumbuhan) sebagai penyaga ekosistem dan lingkungan. "Misalnya, pembukaan jalan tol secara masif akan membuka lahan untuk mobilitas emisi," pungkasnya. 

PEMERINTAH HARUS REALISTIS - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai angka pengurangan emisi 26% memang akan sulit dicapai. Aapalagi selama lima tahun berjalan (2010-2015) kemarin, dalam hitungannya pemerintah hanya bisa mencapai target 5 persen pengurangan emisi dari target 26% yang rencananya akan dicapai pada tahun 2020.

Persoalan itu ditambah dengan ketidakjelasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 terkait sektor lingkungan hidup. Dimana, strategi RPJMN belum diamanatkan secara serius oleh pemerintah melalui Badan Pembangunan Nasional (Bapenas).

"Capaian pengurangan emisi 26% di tahun 2020 merupakan target yang cukup ambisius karena climate change dalam RPJMN agak sumir apalagi pendekatan pembangunan sekarang tampaknya lebih pro pada kemudahan berinvestasi," kata Fabby kepada gresnews.com di Menteng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Menurut Fabby, RPJM 2010-2015 lalu dapat menjadi bahan refleksi dan evaluasi bagi pemerintahan saat ini. Fabby menekankan adanya perbaikan dan kejelasan visi yang pro lingkungan hidup dalam agenda RPJMN di masa mendatang.

Fabby mengatakan, di masa kepemimpinan pemerintahan baru di bawah Joko Widodo-Jusuf Kalla, Indonesia perlu segera memperkuat agenda pro lingkungan hidup. Alasanya, karena Indonesia merupakan negara yang cukup rentan dalam menghadapi dampak perubahan iklim (climate change). 

 

BACA JUGA: