JAKARTA, GRESNEWS.COM – Program pemerintah untuk menyediakan tempat dan kehidupan yang layak bagi masyarakat dengan transmigrasi ternyata tak sepenuhnya berjalan dengan baik. Sebab masih ditemukan sejumlah transmigran yang meninggalkan lokasi transmigrasi dengan menjual lahan dan rumahnya. Masalah lainnya ditemukannya kasus sengketa lahan transmigran dengan penduduk setempat.

Untuk itu pemerintah harus memastikan transmigran tidak hidup di wilayah yang bersengketa dengan pihak lain. Persoalan jual beli sertifikat tanah juga harus diantisipasi. Terutama dengan pembangunan infrastruktur bagi daerah transmigran agar para transmigran tidak meninggalkan daerah transmigrasi. Lantaran tak betah mendiami daerah transmigrasi karena kurangnya fasilitas pendukung.

Program transmigrasi hingga saat ini masih menjadi salah satu program  pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Bahkan pemerintah melalui Kementerian Transmigrasi dan Daerah Tertinggal baru saja melepas 114 transmigran atau 30 kepala keluarga dari Jawa Timur dan Jawa Barat (21/8). Para transmigran ini akan diberangkatkan ke pemukiman transmigrasi di Poso Sulawesi Tengah.

Namun dibalik  pemberangkatan para transmigran itu.  Ada persoalan laten yang terus menghantui program ini. Diantaranya, mulai kaburnya para transmigran dari daerah  penempatan. Persoalan sertifikat tanah yang dijual belikan dan sertifikat belum terdistribusikan, serta sengketa lahan dengan masyarakat setempat.    

Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang, hingga Agustus 2015 masih terdapat 13 juta petani transmigran yang tidak memiliki sertifikat tanah. Padahal sertifikasi tanah menjadi satu-satunya modal pegangan bagi transmigran untuk mengembangkan wilayah transmigrasi dan menetap.

Baru pada Mei 2015, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Menteri Agraria dan Tata Ruang, serta Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup menyusun perjanjian kerjasama untuk mengatasi persoalan sengketa tanah transmigrasi. Pasalnya hingga kini masih ada tumpang tindih peruntukan lahan pada 40 lokasi transmigrasi di 31 kabupaten. Juga masih ada tunggakan penyelesaian penerbitan sertifikat hak milik untuk 340.940 bidang tanah.

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi PPP Arwani Thomafi mengatakan transmigrasi merupakan solusi konkrit bagi masyarakat. Sehingga kawasan tersebut tidak hanya sekadar ditempati tapi juga bisa berkembang.

"Tentu dengan orientasi produksi di bidang pertanian," ujar Arwani saat dihubungi gresnews.com, Senin (26/8).

Ia menambahkan dengan perspektif pengembangan tentu jangan sampai ada transmigran yang  ditempatkan di satu lahan bermasalah. Sebab persoalan lahan bagi para transmigran merupakan hal pokok pertama. Sehingga kalau para transmigran ini diharapkan mampu mengembangkan produksi pertanian maka harus ada jaminan mereka bebas dari persoalan konflik lahan.

Sementara Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menuturkan terdapat dua kerjasama lintas kementerian yang terkait transmigrasi yaitu agraria dan kehutanan. Terkait persoalan agraria, banyak kawasan transmigrasi yang sudah dibangun, jadi desa definitif dan bagus tapi ternyata transmigrannya belum diberikan sertifikat oleh kementerian agraria.

"Sebabnya karena pelepasan kawasan kehutanan pada era lalu belum selesai. Saya kira itu harus dipercepat. Dalam kasus ini ternyata pemerintah lalai untuk memberikan bukti kepemilikan pada mereka. Kira-kira jumlahnya ada sekitar 400 ribuan hektar, ini harus dipercepat," ujar Iwan saat dihubungi gresnews.com dalam kesempatan terpisah, Senin (26/8).

Iwan menjelaskan transmigrasi merupakan peruntukan lahan daerah yang disiapkan bagi peserta transmigrasi. Untuk menjadi kawasan transmigrasi harus ada izin dari pemerintah daerah bersangkutan. Lalu jika kawasan yang ingin dijadikan kawasan transmigrasi adalah kawasan hutan maka Kementerian Kehutanan yang memberikan izin untuk melepas kawasan hutan menjadi kawasan transmigrasi.

Lalu Kementerian Transmigrasi dan Daerah Tertinggal yang akan menetapkan peserta transmigran dan menyiapkan pemukimannya bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Nantinya tiap transmigran akan mendapatkan tanah seluas 2 hektar dan seperempat hektar untuk digarap dan dijadikan tempat tinggal.

SALAH TARGET PENGEMBANGAN - Iwan menilai sebenarnya pemerintah salah merencanakan target utama dalam program transmigrasi. Kini pemerintah melalui Kementerian Agraria, Kementerian Transmigrasi dan Daerah Tertinggal, dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup malah membuat percepatan peruntukan kawasan hutan untuk dijadikan areal transmigrasi. Padahal seharusnya mereka mengutamakan untuk ‘mengeluarkan’ desa-desa yang selama ini berada dalam kawasan hutan.

"Padahal desa-desa itu adalah desa-desa definitif dan sudah lama ada, bahkan kalau klaim masyarakat adat bilang desa-desa tersebut adalah desa-desa yang telah ada sebelum republik ini ada," jelas Iwan.

Menurut Iwan, desa-desa yang berada di kawasan hutan tersebut harus dilepaskan dari kawasan hutan dan mencatat aset-aset hutan mereka sebagai hutan desa dan hutan adat. Sehingga bukan malah menyiapkan area bagi kepentingan transmigrasi. Apalagi desa-desa definitif yang sudah lebih dulu ada itu mayoritas adalah desa tertinggal.

Maksud Iwan melepaskan desa-desa tersebut dari kawasan hutan lantaran desa definitif yang telah ada selama ini diklaim Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup berada dalam kawasan hutan negara. Sehingga status desa adat yang berada dalam kawasan hutan, harus dilepaskan dan masyarakat adat sekitar hutan dan daerah tertinggal semakin memiliki legalitas kuat untuk mengembangkan kebun dan hutan yang biasa mereka pakai.

JUAL SERTIFIKAT TINGGALKAN TRANSMIGRASI - Arwani menuturkan, persoalan yang muncul dalam isu legalisasi tanah tidak hanya persoalan sengketa lahan. Tetapi juga persoalan jual beli sertifikat tanah transmigrasi di bawah tangan. Hal ini  harus dicermati dan diantisipasi oleh pemerintah. Ia meyakini pemerintah memiliki standar prosedur,  mulai dari sebelum pemberangkatan transmigran hingga mereka berada di lokasi transmigrasi.

"Prosedur pembinaan itu harus betul-betul dijaga dan diimplementasikan sehingga tidak ada pengalihan status kepemilikan lahan pada pihak lain," jelas Arwani.

Menurutnya, program transmigrasi adalah salah satu opsi yang masih menjadi pilihan bagi Indonesia untuk mengembangkan daerah. Ia berpendapat transmigrasi harus terus dilaksanakan dengan peningkatan kualitas. Di sisi lain pemerintah juga tetap harus melakukan pembangunan infrastruktur di daerah transmigrasi tersebut. Sehingga pengembangan daerah dengan transmigrasi dan pembangunan infrastruktur harus dilakukan bersamaan.

Iwan menjelaskan transmigrasi sesungguhnya merupakan program yang sangat mahal tapi lebih banyak gagalnya. Sebab dari program tersebut timbul banyak persoalan. Salah satunya, persoalan jual beli sertifikat tanah transmigrasi dari transmigran awal ke individu maupun perusahaan.

"Konsekuensinya sertifikat tanah transmigrasi dijual ke orang lain atau perusahaan karena tidak betah. Ada banyak contoh soal ini dan pelanggaran ini sulit dilacak karena dijual di bawah tangan," jelas Iwan.

Iwan menyatakan penyebab para transmigran tidak betah misalnya fasilitas pokok banyak tidak tersedia di daerah transmigrasi seperti sekolah dasar. Lalu persoalan pekerjaan kerap bermasalah juga. Misalnya pemerintah menjanjikan transmigran lokasi yang bisa ditanami padi. Ternyata mereka malah ditempatkan di lahan gambut. Sementara transmigran ini tidak memiliki kemampuan menanam apapun di tanah gambut.

Persoalan-persoalan mendasar yang tak terjawab oleh para transmigran ini yang menjadi penyebab mereka tak kuat hidup di wilayah transmigrasi dan memilih menjual sertifikat tanahnya dalam jangka waktu yang tidak sesuai dengan yang diatur Undang-Undang (UU). Biasanya opsi menjual sertifikat tanah transmigrasi ini menjadi opsi terakhir para transmigran yang telah melewati berbagai upaya untuk bertahan hidup di wilayah transmigrasi.

Atas persoalan tersebut, pemerintah harus benar-benar menyiapkan diri dan menjadikan wilayah transmigrasi benar-benar lahan transmigrasi. Di satu sisi pemerintah harus memastikan peserta transmigrasi benar-benar lulus seleksi.

Peserta transmigrasi juga harus memiliki itikad dan keterampilan khusus untuk membangun wilayah baru. Tapi akar dari itu semua seharusnya pemerintah bukan hanya melakukan transmigrasi, tapi juga memikirkan cara di luar transmigrasi untuk membangun daerah tertinggal.

"Misalnya memastikan pelepasan desa-desa definitif atau desa yang sudah ada sejak lama di kawasan hutan. Lalu pemerintah juga harus menyiapkan basis infrastruktur yang lengkap untuk kepindahan transmigran," tutur Iwan.

Iwan mencontohkan banyak pembantu rumah tangga yang dikirim ke Malaysia dan Hongkong dari Lampung. Mereka yang dikirim itu adalah anak-anak transmigran di Lampung. Hal ini menjadi bukti kepindahan para transmigran ini sebenarnya hanya memindahkan kemiskinan ke daerah lain.

BACA JUGA: