JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemberian Tunjangan Hari Raya atau THR sejatinya merupakan kewajiban bagi setiap perusahaan untuk para pekerjanya seperti yang diamanatkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Berdasarkan PER.04/MEN/1994 itu, setiap orang yang mempekerjakan orang lain dengan imbalan upah wajib membayar THR, entah itu berbentuk perusahaan, perorangan, yayasan atau perkumpulan.  

Menilik sejarahnya, "tradisi" pemberian THR ini sendiri disebutkan pertama kali dilakukan pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari partai Masyumi. Kabinet yang dilantik Presiden Soekarno pada April 1951 ini, dalam salah satu program kerjanya memuat program tentang peningkatan kesejahteraan pamong pradja alias pegawai negeri sipil.

Salah satu bentuknya adalah pemberian THR kepada pegawai di akhir bulan Ramadan. Ketika itu besarannya adalah Rp125 hingga Rp200. Pemberian THR kepada pegawai negeri ini ternyata mengundang protes buruh swasta yang pada 13 Februari 1952 melakukan aksi mogok menuntut THR dari pemerintah. Sayangnya ketika itu, pemerintah menolak permintaan buruh dan bahkan aksi buruh dibubarkan tentara.

Baru sejak era Orde Baru pegawai swasta juga bisa menerima THR setelah diberlakukannya Permen 04 tahun 1994. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri sendiri sudah menegaskan, THR harus dibayarkan seminggu sebelum lebaran. "Regulasinya tetap begitu, seminggu sebelumnya harus dibayarkan," kata Hanif Dhakiri beberapa waktu lalu.

Toh, meski sudah diimbau sebegitu rupa, tetap saja ada pihak-pihak yang masih melanggar ketentuan tersebut. Ironisnya ketentuan itu dilanggar oleh lembaga pemerintah yang justru tugasnya adalah memastikan kesejahteraan pekerja yaitu pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Berdasarkan informasi yang diterima gresnews.com dari Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat, sejumlah 115 orang pekerja BPJS Ketenagakerjaan sampai H+4 setelah lebaran belum juga menerima gaji dan THR.

"Direksi BPJS Ketenagakerjaan tidak juga membayarkan gaji sejak bulan Mei 2015 dan THR yang seharusnya diterima pekerja," kata Sumirat dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (22/7).

Selain itu, kata Sumirat, Direksi BPJS Ketenagakerjaan juga tidak menggubris surat dari Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan RI, tertanggal 9 Juli 2015 perihal permasalahan upah 115 orang Pekerja BPJS Ketenagakerjaan.

Dalam surat tersebut tertulis dengan tegas bahwa berdasarkan Pasal 155 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan No.13 Thn 2003, selama belum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka Direksi BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja.

AKAR MASALAH THR BPJS KETENAGAKERJAAN - Sumirat mengatakan, masalah ketenagakerjaan ini bermula saat Direksi BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2013 tidak mengindahkan dua buah Nota Pemeriksaan yang dikeluarkan oleh Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nota itu menyatakan, BPJS Ketenagakerjaan telah melanggar UU Ketenagakerjaan karena mempekerjakan pekerja alih daya di pekerjaan inti perusahaan serta menyatakan bahwa status hubungan kerja pekerja alih daya dimaksud beralih demi hukum menjadi pekerja BPJS Ketenagakerjaan.

Alih-alih mendapatkan surat keputusan pengangkatan sebagai pekerja tetap, 153 pekerja pada saat itu, justru langsung dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan tidak lulus tes. "Hal ini sangat mengada-ada, karena tes yang disyaratkan tersebut dilakukan 1 tahun sebelum adanya Nota Pemeriksaan yang menyatakan status pekerja beralih demi hukum dimaksud," urai Sumirat.

Direksi BPJS Ketenagakerjaan juga tidak menggubris Nota Pemeriksaan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan. Tahun 2015 ini, menjelang beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan secara penuh pada 1 Juli 2015, Direksi BPJS Ketenagakerjaan kembali dinilai melakukan pelanggaran dengan secara sengaja tidak membayar upah 108 (seratus delapan) orang pekerjanya, terhitung sejak bulan Mei 2015.

Direksi BPJS Ketenagakerjaan, kata Sumirat, juga tidak membayarkan hak-hak normatif pekerja berupa manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Kesehatan. "Tindakan tidak terpuji dan melanggar UU Ketenagakerjaan ini dilakukan oleh Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk mengintimidasi pekerja anggota SPJSI-ASPEK Indonesia, agar bersedia menerima pesangon yang ditawarkan dan diputus hubungan kerjanya tanpa adanya kesalahan dari pekerja, serta tanpa melalui putusan pengadilan," tegas Sumirat.

Mirah Sumirat pun mengingatkan Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk amanah dalam mengelola dana amanah pekerja yang ada di BPJS Ketenagakerjaan. "Jangan bertindak semau gue dan mentang mentang merasa berkuasa. Direksi juga harus tunduk pada segala peraturan perundangan yang berlaku. Jangan abaikan hak-hak pekerjanya! Direksi juga jangan merasa benar sendiri," kata Sumirat.

Sumirat mengaku, beberapa pekerja tetap yang tidak setuju dengan kebijakan Direksi BPJS Ketenagakerjaan ini telah memberikan beberapa copy dokumen salah satunya adalah copy surat yang ditandatangani oleh Harri Kuswanda, Kepala Urusan Hubungan Industrial selaku PPS Kepala Divisi SDM, yang ditujukan kepada Kepala-kepala Kantor BPJS Ketenagakerjaan, tertanggal 20 Mei 2015. Dalam surat tersebut tertulis jelas tentang keputusan Direksi untuk tidak membayar upah kepada 108 (seratus delapan) orang pekerjanya, terhitung sejak bulan Mei 2015, termasuk tidak membayarkan hak-hak normatif pekerja (JHT, JKK, JKM dan Jaminan Kesehatan).

Kepada ASPEK Indonesia, kata Sumirat, pekerja tetap tersebut mengatakan akan mendukung perjuangan SPJSI-ASPEK Indonesia dengan cara yang tidak menonjol, karena mereka khawatir akan diintimidasi oleh Direksi. Atas dasar itulah, Sumirat juga meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja seluruh Dewan Pengawas dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan.

"Kinerja Direksi BPJS Ketenagakerjaan jangan hanya diukur dari seberapa besar hasil investasi yang bisa dikelola. Tapi juga harus diukur dari seberapa amanah mereka mengelola dana yang berasal dari pekerja dan seberapa besar manfaat yang bisa dirasakan oleh pekerja," ujarnya.

Untuk dapat menilai kinerja harus dimulai dengan transparansi pengelolaan dana amanah dimaksud serta seberapa besar komitmen menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk UU Ketenagakerjaan. Mengabaikan Nota Pemeriksaan dari Kementerian Ketenagakerjaan dan tidak membayar gaji serta THR pekerjanya adalah bentuk kesewenang-wenangan yang tidak dapat ditolerir.

"Presiden oko Widodo sebaiknya segera mencopot Direktur Utama dan Direktur Umum SDM BPJS Ketenagakerjaan, sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam pelanggaran UU Ketenagakerjaan ini," ujarnya.

SANKSI LEMAH PELANGGARAN THR MARAK - Lebaran tahun ini memang disinyalir banyak terjadi pelanggaran ketentuan pembayaran THR terutama kepada para buruh atau pekerja lepas. Di Jawa Timur misalnya, dari sejumlah posko pengaduan THR yang dibuka, diapatkan data bahwa sejumlah 7746 orang buruh tidak menerima THR. Tercatat setidaknya ada 46 perusahaan di delapan Kabupaten dan Kota di Jawa Timur yang tidak membayarkan THR kepada pekerja atau buruhnya.

Alasan umum yang diutarakan pihak perusahaan untuk tidak membayarkan THR ini adalah masalah kemampuan ekonomi perusahaan dan status pekerja yang kebanyakan adalah pekerja kontrak ataupun pekerja alih daya (outsourcing).

Nasib buruk para pekerja alih daya ini juga terjadi di PT PLN area Surakarta yang bekerja sebagai pencatat meteran listrik. THR mereka tak dibayarkan pihak perusahaan sehingga mereka mengancam akan menduduki kantor PLN Surakarta beberapa waktu lalu.

Mereka menyayangkan pihak PLN tidak melakukan pengawasan terhadap perusahan rekanan yang mempekerjakan mereka sehingga THR hingga saat ini belum sampai ke tangan pencatat meteran tersebut.

Maraknya pelanggaran ketentuan pembayaran THR ini menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, terjadi karena lemahnya sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang melanggar yaitu hanya berupa teguran. Said mendesak agar Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri lebih tegas dan tidak sekadar mengimbau atau berwacana saja terhadap pengusaha yang tidak membayar THR kepada pekerjanya.

"Menaker harus tegas dengan cara memberi sanksi administrasi dalam bentuk pencabutan izin usaha serta meningkatkan status hukum permenaker menjadi perpres yang memuat pasal sanksi perdata denda bagi pengusaha yang tidak membayarkan THR sehingga adaefek jeranya," kata Said dalam siaran persnya beberapa waktu lalu.

Lemahnya sanksi, kata Said membuat banyak perusahaan nekat melanggar ketentuan pembayaran THR khususnya kepada tenaga kerja kontrak atau tenaga outsourcing. Bahkan, menurut dia, saat ini ada ada jutaan buruh kontrak dan outsourcing diputus kontraknya sebelum H-14 sehingga pengusaha tidak perlu membayar THR dan sehabis lebaran nanti kontraknya diperpanjang lagi.

"Dalam hal ini seharusnya THR tetap dibayarkan, bahkan ada juga ratusan ribu karyawan diberikan THR di bawah 1 bulan upah," ujarnya.

Pembayaran THR ini, kata dia, sangat penting, terutama untuk mendongkrak terjadinya konsumsi barang sehingga pertumbuhan ekonomi bisa terkerek. Menurut Said, jika diasumsikan rata-rata upah buruh di Indonesia Rp2,3 juta, jika dikalikan jumlah 44 juta buruh formal, maka akan ada dana THR sebesar Rp80 triliun.

Angka ini, jika ditambah sekitar Rp50 triliun uang TKI yang dikirim kepada keluarganya, maka akan terjadi belanja konsumsi dari buruh sebesar Rp130 triliun. "Ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia," urai Said.

KEMNAKER KLAIM PELANGGARAN SEDIKIT - Pelanggaran ketentuan pemberian THR tahun ini memang diperkirakan banyak terjadi. Uniknya, berdasarkan laporan sementara Posko Pusat  Pemantauan Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan 2015 yang berada di kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) beberapa waktu lalu, hanya sedikit saja jumlah pelanggaran THR yang terjadi.

Posko THR Kemnaker menyatakan telah menerima dan menangani 309 pengaduan masyarakat yang melibatkan 308 perusahaan di seluruh Indonesia. Jumlah 309 pengaduan yang melibatkan 308 perusahaan itu terdiri dari pemantauan ke daerah sebanyak 68 pengaduan, pengaduan langsung ke Posko Pusat 54, pengaduan melalui imel 169 dan pengaduan melalui twitter Menteri Ketenagakerjaan @hanifdhakiri sebanyak 18 pengaduan.

Namun dari jumlah 309 pengaduan yang masuk tersebut, menurut Posko THR Kemnaker, yang murni benar-benar terkait dengan pembayaran THR adalah 38 pengaduan yang melibatkan 38 perusahaan. Rinciannya adalah THR yang dibayarkan tidak 1 (satu) bulan gaji ada 4 perusahaan, THR tidak dibayarkan sama sekali ada 26 perusahaan dan THR dibayarkan tidak sesuai dengan ketentuan 8 perusahaan.

"Setiap laporan terkait pengaduan THR dari masuk langsung ditangani oleh  para petugas posko dan Dinas Tenaga Kerja. Bahkan sebanyak 102 kasus pengaduan telah berhasil diselesaikan. Pokoknya kita upayakan semua permasalahan agar dapat diselesaikan  dengan segera," kata Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri dalam keterangan pers Biro Humas Kemnaker di Jakarta pada Kamis (16/7) lalu.

Berdasarkan Laporan Posko THR, secara umum permasalahan pelaksanaan pembayaran THR terdapat pada perusahaan di wilayah  tersebar di berbagai Provinsi diantaranya Sumatera Utara, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.

Pengaduan terkait pembayaran THR itu meliputi  perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan, jasa, pertanian, otomotif, garment, makanan dan minuman, pertambangan dan sektor transportasi.

Menaker Hanif mengatakan setiap pelaporan yang masuk ke posko pengaduan THR di Kemnaker dan di dinas-dinas Tenaga Kerja langsung ditindaklanjuti dengan melibatkan pengawas ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah. Kerjasama dan koordinasi pun dilakukan secara terus menerus dengan dinas-dinas Tenaga Kerja di seluruh Indonesia untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang masuk ke posko pemantauan THR ini.

"Semua permasalahan yang diadukan oleh pekerja langsung kita cek dan verifikasi datanya. Setelah itu langsung difasilitasi dan dikoordinasikan dengan Dinas Tenaga Kerja setempat untuk diselesaikan dengan segera," kata Hanif.

Berdasarkan laporan sementara posko pemantauan THR telah tercatat 38  pengaduan yang terkait langsung dengan pembayaran THR  dari berbagai daerah. Sedangkan sebagian besar pengaduan lainnya yang masuk ke Posko THR  terkait pengaduan permasalahan ketenagakerjaan secara umum yaitu antara lain seperti soal besaran gaji, gaji tidak dibayar, pesangon, status pekerjaan, pembayaran jaminan sosial dan   masalah PHK.

Selain mengerahkan pengawas ketenagakerjaan ke berbagai daerah, kata Hanif dalam upaya untuk menyelesaikan setiap pengaduan THR,  pihak perusahaan yang dilaporkan bakal dipanggil oleh Kemnaker maupun Dinas-dinas Tenaga Kerja setempat lalu kemudian diadakan pertemuan dan mediasi antara pekerja dan pengusaha untuk menyelesaikan pembayaran THR.

Upaya lainnya yang telah dilakukan Posko THR Keagamaan Kementerian Ketenagakerjaan RI, antara lain membuat surat kepada Dinas Ketenagakerjaan sebanyak 7 (tujuh) surat antara lain ke Dinas Ketenagakerjaan Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Jawa Tengah dan Kab. Bekasi, dengan jumlah pengaduan sebanyak 18 (delapan belas) pengaduan sehingga penanganannya bisa dipercepat.

Sedangkan terhadap email yang masuk, telah ditanggapi melalui email sebanyak 44 (empat puluh empat) pengaduan dan sisanya masih dalam proses tindaklanjut oleh Tim Posko. Adapun langkah yang dilakukan yaitu dengan memberikan tanggapan terkait aturan normatif mengenai THR serta mendorong untuk menyelesaikannya melalui Dinas Ketenagakerjaan setempat.

"Data dan laporan yang masuk ke posko masih bersifat sementara.Kita terus melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pembayaran THR di pusat dan daerah, terutama aspek ketepatan waktu dan besaran nilai THR yang dibayarkan. Pemerintah pusat dan daerah akan terus menyelesaikan setiap kasus dan pengaduan THR secara optimal," kata Hanif.

BACA JUGA: