JAKARTA, GRESNEWS.COM - Insiden macetnya peluncuran rudal buatan China jenis C705 saat diluncurkan KRI Clurit 641 dalam Latihan Gabungan Militer XXIV/2016 di Perairan Banongan, Situbondo, Jawa Timur terus dikritik sejumlah pihak. Peluncuran roket yang sempat macet di hadapan Presiden Jokowi itu dipertanyakan mekanisme pembelian dan perjanjiannya. Kasus tersebut juga memicu desakan agar pemerintah mengkaji ulang seluruh perjanjian jual beli alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dimiliki TNI.

Menanggapi kasus tersebut anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo  mengatakan perlu ada evaluasi kembali perjanjian pembelian rudal buatan China. Menurutnya bila ditemukan bahwa rudal tersebut memang sudah rusak saat diterima pemerintah Indonesia. Maka pemerintah ke depan lebih baik membatalkan kerja sama dalam hal pembelian rudal ke negara tersebut.

"Lebih baik dialihkan ke negara yang memiliki Alusista utama lebih baik," ujar Bobby, Jumat (16/9).

Kejadian macetnya rudal C705 tersebut menurutnya sangat memalukan, sebab kejadian itu disaksikan langsung oleh Presiden Jokowi. Gagal meluncurnya rudal tersebut juga akan menjadikan militer kita terlihat lemah di mata negara lain. Padahal rudal C705 tersebut rencananya akan digunakan untuk menjaga kedaulatan negara di laut China Selatan yang saat ini sedang rawan konflik sengketa.

"Kerja sama transfer teknologi rudal tersebut juga harus dikaji ulang," tambahnya

Diketahui kontrak kerja sama rudal C 705 itu sendiri sudah menginjak kontrak ke tiga. Kontrak ke dua antara Indonesia dan China ditandatangani pada tahun 2013. Adapun kontrak ke tiga rudal C 705 ditandatangani pada akhir tahun 2014. Sebagai tindak lanjut dari kontrak tersebut, telah dikirim sejumlah rudal C-705 untuk dilakukan tes uji penembakan oleh Indonesia pada tahun 2015. Setelah uji coba tersebut, persetujuan kredit langsung disetujui.

Setelah menandatangani kontrak, Indonesia segera  menyiapkan segala kebutuhan untuk uji rudal C-705 tersebut. China akan menyiapkan program bagi prajurit TNI AL untuk melakukan training di China, setelah Indonesia menyetujui uji rudal yang dilakukan oleh pabrik yang bersangkutan. Beredar isu bahwa alasan Indonesia ngotot melakukan kerja sama rudal dengan China terkait dengan pembelian Sukhoi Rusia beberapa tahun lalu. Indonesia disinyalir menginginkan teknologi rudal Rusia yang hanya diberikan oleh Rusia kepada China.

Namun pandangan berbeda diungkapkan anggota Komisi I lainnya, TB Hasanudin. Ia  menilai dalam sebuah latihan gabungan militer adalah sebuah kewajaran jika ada satu rudal yang gagal meluncur sehingga tidak perlu dibesar-besarkan. Terkait dengan kekecewaan presiden terhadap rudal buatan China tersebut, ia mengatakan bahwa semua pihak juga kecewa saat mengetahui rudal tersebut terlambat meluncur.

"Tak perlu ditanggapi serius kekecewaan presiden karena gagal satu rudal itu biasa," ujarnya singkat, Jumat, (16/9).

CEK PERJANJIAN - Sementara itu pengamat militer Muradi, mengatakan selama ini Indonesia dianggap sebagai negara pemakai alat militer. Tetapi hal tersebut hendaknya jangan sampai menjadikan Indonesia sebagai pasar untuk membuang produk-produk militer negara lain.

Pemerintah harus segera meninjau ulang seluruh perjanjian militer dengan negara lain, sehingga tidak perlu lagi ada kejadian yang membahayakan para prajurit TNI di lapangan seperti jatuhnya pesawat latih dari Korea Selatan beberapa waktu yang lalu.

Terkait masalah Rudal C705 dari China, ia meminta Pemerintah harus mengecek kembali perjanjiannya dengan China. Apakah China melakukan Full Coverage terhadap seluruh rudal yang dijual. Idealnya dalam perjanjian Alutsista negara-negara lain, negara penjual akan memberikan garansi dalam rentang yang disepakati.

"Maksimalnya 15 tahun, kalau dalam rentang waktu tersebut alatnya gagal maka kita bisa komplain," ujar Muradi kepada gresnews.com, Minggu (18/9).

Oleh karena itu menurut Muradi, penting mengecek bagaimana perjanjian dengan China. Andaikata pemerintah menganggap rudal tersebut baik maka bisa meminta ganti dengan rudal yang baru kepada China. Sedangkan jika hasil pengecekan ulang seluruh perjanjian dan hasilnya buruk, Pemerintah dapat melakukan Complaining Goverment to Goverment dan menyampaikan ke banyak negara, bahwa produk China adalah produk gagal yang berbahaya. Hal itu tentu dapat menekan pihak China karena bisa mematikan pasar senjata mereka.

"Kalau kata saya ya kembalikan saja ke China, karena produk militer China itu tidak layak pakai," ujar Muradi.

Ia menambahkan kerja sama dengan China dalam hal militer adalah kerja sama yang tidak smart. Sebab telah diketahui secara umum bahwa produk China dianggap memiliki kualitas di bawah rata-rata sehingga sangat riskan menjadikan produk militer China sebagai Alutsista TNI. Pemerintah lebih baik menjalin kerja sama dengan negara yang produknya sudah teruji dan cocok untuk kepentingan nasional.

Ia mencontohkan pemerintah bisa melakukan kerja sama militer dengan Turki, Rusia atau pun jejaring Amerika Serikat. menurutnya kerja sama dengan Turki lebih menguntungkan karena Turki sudah bisa memproduksi seluruh kebutuhan militernya sendiri sehingga Indonesia dapat belajar melalui pertukaran teknologi. Jangan sampai karena beli produk kualitas rendah dengan harga murah tapi membahayakan prajurit Indonesia di lapangan.

"Produk Cina itu tak lebih baik dari yang lain dan tidak sesuai dengan jargon serta visi dan misi pemerintahan sekarang dalam hal militer," ujarnya.

Muradi juga memprotes keras pernyataan Hasannudin yang menilai gagalnya peluncuran satu rudal dianggap sebuah kewajaran. Menurutnya, kegagalan satu rudal dalam dunia militer tidak boleh terjadi. Apabila simulasi militer yang ada harus meledak, maka kejadian di lapangan pun harus meledak. Sebab hal ini menyangkut keselamatan prajurit yang ada di lapangan.

"Tak boleh dianggap biasa itu, Kalau 1000 kita beli dan tidak meledak satu itu wajar. tapi kalau rudal paling kita beli puluhan dan seharusnya sudah lewat tes yang sudah lulus klarifikasi," tandasnya.

BACA JUGA: