JAKARTA, GRESNEWS.COM - Walaupun penolakan demi penolakan terhadap revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) terus disuarakan masyarakat, namun agaknya revisi yang dikhawatirkan berujung pada pelemahan lembaga antirusuah ini terus berlanjut. Bahkan, menurut perhitungan, RUU ini kemungkinan besar akan lolos disahkan menjadi UU.

Berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, kekuasaan untuk membentuk undang-undang memang berada pada DPR. Namun, pada Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 diatur setiap RUU haruslah dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Berdasarkan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011, UU Nomor 27 Tahun 2009 dan Tata Tertib DPR, proses pembentukan undang-undang akan berjalan dari inisiasi, baik oleh DPR atau Presiden. Dalam hal ini RUU KPK diklaim DPR diajukan oleh pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. RUU kemudian disusun dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun, serta dibuat pula dalam jangka waktu tahunan yang berisi RUU yang telah diurutkan prioritas pembahasannya.

Dalam kasus ini upaya RUU KPK untuk masuk ke program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015 pada Juni lalu, diputuskan melalui rapat Badan Legislasi DPR bersama Yasonna.

Saat rapat paripurna pun Ketua Baleg Sarehwiyono menyatakan Baleg menyetujui usulan pemerintah untuk merevisi UU KPK dan memasukkannya dalam Prolegnas Prioritas 2015 menggantikan revisi UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah. Sebenarnya, revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah 2014-2019 dan memiliki urutan nomor 63.

Namun, lantaran didesak Menkumham dengan alibi revisi UU KPK tergolong genting maka DPR akhirnya menyetujui revisi tersebut masuk Prolegnas Prioritas 2015. Pada rapat paripurna pun, semua anggota DPR tak ada yang menolak keputusan ini.

"Baleg meminta pemerintah untuk menarik kembali usulan RUU tersebut karena penambahan atau penggantian RUU prioritas harus dilaporkan dalam rapat paripurna DPR RI," kata Sareh beberapa waktu lalu di Gedung DPR RI, Senayan.

Saat ini RUU KPK sendiri telah berjalan dalam tahap pembicaraan di Baleg sembari menunggu pandangan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) masing-masing. Nantinya draft tersebut akan dibagikan pimpinan DPR dalam rapat paripurna kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna. Kemudian, dalam rapat paripurna berikutnya, memutuskan RUU tersebut berupa persetujuan, persetujuan dengan perubahan, atau penolakan.

Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan, yakni pada tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Selanjutnya, pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna dimana akan meminta pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna.

Tahap terakhir, pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Jika tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat maka keputusan diambil dengan suara terbanyak. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan Presiden diserahkan kepada Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia

Jika RUU tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama maka RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.


HITUNGAN LOLOS -
Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan, dalam hal rapat paripurna yang mendengarkan pandangan fraksi inilah kemungkinan besar RUU KPK akan lolos. Pasalnya, persentase jumlah kursi fraksi anggota DPR yang mendukung revisi lebih banyak dari yang menolak.

Hitungannya, PDIP 109 suara, Golkar 91 suara, Nasdem 35 suara, PKB 47 suara, Hanura 16 suara, dan PPP 39 suara. Jika ditotal mencapai 337 suara. Sementara fraksi yang menolak terdiri dari Gerindra 73 suara, PAN 49 suara, PKS 40 suara, dan PD 61 suara, sehingga total mencapai 223 suara.

"Apalagi jujur, kita tak bisa menebak bagaimana sikap Jokowi, ia seolah keras tak menyetujui tapi semua tahu ia begitu tunduk perintah backing-annya " kata Ray kepada gresnews.com, Sabtu (10/10).

Jika nanti hal yang ditakutkan ini benar terjadi maka bertambah jelaslah bahwa partai koalisi pendukung pemerintahlah yang sengaja mendorong lolosnya RUU KPK.

Namun, Ray memprediksi ketika RUU KPK ini kemudian diundangkan maka presiden hanya membuat basis pendukungnya semakin menjauh. Tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap presiden semakin besar.

"Dalam jangka panjang akan membuat situasi politik gaduh. Padahal presiden sudah titip agar fokus pada pembangunan bukan membuat gaduh politik," ujarnya.

Misalnya saja, berpijak pada hasil survei Indo Barometer pada tanggal 14-22 September 2015 di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Dengan 1.200 responden dan margin of error +/- 3 % menyebutkan KPK, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepresidenan memperoleh kepercayaan tertinggi di mata publik dalam kurun satu tahun Pemerintahan Jokowi-JK.

Tingkat kepercayaan publik terhadap KPK mencapai 82 persen, TNI 81 persen, dan Kepresidenan RI 78,6 persen. "Ketiganya saling berhubungan, pemulihan dan pertumbuhan ekonomi membutuhkan kepastian keamanan dan hukum," ujar Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari.

Publik menilai reformasi kelembagaan paling besar telah dilalui lembaga Kepresidenan dan TNI, dimana reformasi TNI telah berlalu dari Dwi-Fungsi ABRI ke tentara profesional. Sedang Kepresidenan tidak lagi absolut seperti di masa Orde Baru, dan KPK sebagai motor pemberantasan korupsi di negara ini.


BERDAMPAK PADA EKONOMI -
Kembali Ray menjelaskan, tidak heran, dengan tingkat kepercayaan tinggi yang diraih tiga lembaga ini, lantaran TNI sangat konsisten dan sukses dengan reformasi yang dilakukan. Demikian juga KPK menjadi lembaga antirasuah yang paling sukses di mata publik.

"Hasil survei ini mengafirmasi publik sangat mengharapkan KPK tetap ada. Karena itu, rencana DPR dan pemerintah merevisi UU untuk melemahkan KPK tidak tepat," katanya.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) ini mengatakan tingkat kepercayaan publik kepada Presiden Jokowi yang masih tinggi menjadi bukti publik sangat berharap Presiden bisa menuntaskan semua persoalan bangsa dan negara ini. Ini dapat dijadikan modal bagi presiden untuk terus berbuat yang terbaik bagi bangsa.

Namun sebaliknya, jika benar Jokowi dalam hal ini kembali disetir maka hal buruk akan terjadi menggoyang kekuasaannya. Kemungkinan bahkan kembali menyasar dan memperburuk sektor ekonomi. "Pelemahan KPK akan membuat rakyat marah, kinerja presiden akan kembali tak maksimal. Jokowi akan menjauhkan basis kekuatan terbesarnya, rakyat," tutupnya.

Sedangkan ketika dikonfirmasi, Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo menyatakan peta pembahasan RUU KPK masih menunggu rapat Baleg selanjutnya pada Senin (12/19) nanti. Dalam pembahasan ulang ini akan didengarkan pandangan dari seluruh anggota Baleg mengenai persetujuan RUU KPK ini.

"Kami belum tahu ke mana arahnya karena belum bertemu. Jika nanti pandangannya dirasa baik tentu akan dilanjutkan," ujarnya kepada gresnews.com, Sabtu (10/10).

Pada rapat Baleg sebelumnya, diketahui RUU KPK dimintakan penyempurnaan dalam penyusunannya. "Kita belum tahu dinamikanya dan tak bisa berandai-andai. Baleg tak ada hak untuk menolak, yang punya hak itu paripurna," ujarnya.

BACA JUGA: