JAKARTA, GRESNEWS.COM - Biaya penyelenggaraan Pemilu 2014 dinilai oleh berbagai pihak masih sangat tinggi. Dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014, Komisi II DPR-RI menyetujui anggaran Pemilu untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp 15,41 triliun dan untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebesar Rp 3,26 triliun.

Peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan, sebenarnya anggaran penyelenggaraan Pemilu 2014 sudah dibahas sejak tahun 2013. Ketika itu untuk KPU dialokasikan anggaran sebesar Rp 7,3 triliun yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2013 dan untuk Bawaslu sekitar Rp 856 miliar.

Dengan tambahan biaya ini maka biaya Pemilu 2014 pun semakin membengkak. "Total biaya penyelenggaraan Pemilu untuk KPU sekitar Rp 22 triliun dan Bawaslu sekitar Rp 5 triliun. Besaran alokasi tersebut tidak jauh berbeda dengan Pemilu tahun 2009 yang jumlahnya sekitar Rp 23 triliun," ujarnya kepada Gresnews.com, Jumat (24/1).

Selain itu, menurut Roy yang juga bergabung dalam Koalisi Untuk Akuntabilitas Keuangan (KUAK) Negara, itu khusus untuk pengamanan penyelenggaraan Pemilu Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) akan mendapatkan anggaran senilai Rp 3,5 triliun dari APBN 2014. Sedangkan untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekitar Rp 100 miliar rupiah. Selain itu, di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga ada anggaran dari APBN 2014, dengan tema program meningkatkan partisipasi pemilih pemula dalam Pemilu 2014 sebesar Rp 50 miliar.

Angka-angka ini kata Roy selain menunjukkan Pemilu 2014 bakal memboroskan anggaran negara, juga rawan terhadap penyelewengan dana Pemilu alias dikorupsi. "Bahkan untuk pemilu 2014 ini nampaknya akan sama dengan periode 2009 atau 2004 dimana justru komisioner KPU tersangkut kasus korupsi. Buktinya tahun lalu, KPU dan Bawaslu justru membeli mobil murah untuk para komisionernya," ujar Roy.

Menurut Roy, berdasarkan riset Indonesia Budget Center (IBC) untuk Pemilu tahun 2004 dan 2009 beberapa titik rawan pengelolaan anggaran adalah terkait dengan urusan logistik. Yang paling rawan adalah untuk pengadaan kotak suara, lelang kertas suara, sistem distribusi logistik dan lelang tinta. Belajar dari pengalaman itu, titik-titik pengadaan logistik tersebut menurut Roy juga potensial bocor pada pemilu kali ini.

Indikasinya menurut Roy sudah terlihat. Untuk lelang kotak suara misalnya ternyata dengan anggaran yang hampir sama tahun 2009 lalu, kualitas kotak suara tahun 2014 menurun yaitu berupa kotak kardus bukan alumunium. Selain itu surat suara juga rawan permainan dalam standar kelayakan kertas suara. "Karena masing-masing daerah berbeda dalam hal pengadaannya," ujarnya.

Tak hanya di KPU, pengelolaan anggaran di Bawaslu, menurut Roy, juga rawan korupsi dan kongkalikong dengan parpol. Untuk anggaran Pemilu 2014 ini dengan alasan dana yang minim untuk pengawasan, Bawaslu tiba-tiba akan menerima anggaran senilai Rp 1,5 triliun untuk biaya saksi partai politik. Dana ini akan diambil dari dana optimalisasi APBN 2014. "Jika ini terjadi maka perampokan uang negara oleh partai politik melalui Bawaslu akan terjadi," ujar Roy.

Titik rawan lainnya adalah anggaran pengamanan di Polri. Sesungguhnya anggaran Rp 3,5 triliun untuk biaya pengamanan Polri terhadap pemilu adalah alokasi yang sangat besar. Dengan minimnya transparansi dan akuntabilitas di Polri, dikhawatirkan dana tersebut rawan untuk diselewengkan. Buktinya, korupsi dana pengamanan pilkada dan pemilu sering terjadi di tubuh Polri. Contohnya kata Roy, mantan Kapolda Jabar, Komjen Pol. Susno Duadji pernah dipenjara terkait dugaan korupsi dana pengamanan Pemilihan Gubernur Jabar 2008-2013.

Sepertinya halnya anggaran pengamanan Polri, anggaran pengamanan untuk TNI juga rawan korupsi. TNI kata Roy juga sama tertutupnya dengan Polri dalam masalah anggaran. "Karena itu lokasi sekitar Rp 100 miliar untuk TNI di Pemilu 2014 juga rawan diselewengkan," ujarnya.

Untuk dana di kementerian, selain pemborosan dan rawan bocor, menurut Roy juga terjadi double anggaran dan pemborosan dana sosialisasi Pemilu. Buktinya di Kementerian Kominfo ada anggaran sebesar Rp 50 miliar untuk sosialisasi pemilih pemula. "Padahal alokasi tersebut sudah ada dan terpusat di KPU. Namun beberapa Kementerian, salah satunya Kominfo justru juga menganggarkan untuk alokasi sosialisasi. Hal ini merupakan pemborosan," kata Roy.

Agar kebocoran dana pemilu tidak terjadi Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti merekomendasikan beberapa hal. Pertama, harus ada pengawasan untuk menciptakan transaparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran Pemilu di beberapa Lembaga seperti KPU, Bawaslu, Polri, TNI dan kementerian oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua, khusus untuk pengadaan kotak suara, kertas suara, serta distribusi logistik di KPU yang rawan korupsi perlu diperbaiki dan diawasi KPK.

Ketiga, khusus untuk dana Rp 1,5 triliun di Bawaslu untuk dana saksi parpol harus dibatalkan pencairannya oleh DPR dan Kementerian Keuangan. Keempat, Kemenkeu tidak mencairkan anggaran sosialisasi di beberapa Kementerian. "Terakhir menuntut adanya penghematan dalam pengelolaan anggaran Pemilu," kata Ray Rangkuti.

BACA JUGA: