JAKARTA - Secara prosedural, penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) sejak era reformasi telah mengalami banyak kemajuan. Namun, secara kualitas demokrasi, belum mencapai hasil yang baik. Sejauh ini persoalannya adalah pemilu legislatif (pileg) yang berlangsung demokratis sejak 1999 hanya dirancang untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kota semata.

Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menyatakan pileg tersebut tidak atau belum dirancang untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan hasil pemilu. "Jika disepakati bahwa bangunan sistem pemerintahan yang diamanatkan oleh konstitusi hasil amendemen adalah sistem presidensial maka format pileg belum dirancang untuk kebutuhan efektivitas sistem presidensial," kata Syamsuddin dalam diskusi yang dihadiri Gresnews.com di Jakarta, Kamis (5/12).

Akibatnya, Syamsuddin menjelaskan, meskipun pemilu semakin demokratis dan bahkan dilakukan dengan pemilihan langsung, namun hasil pemilu tidak menjanjikan terbentuknya pemerintahan yang efektif dan sinergis, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Para pejabat publik yang dihasilkan oleh pemilu nasional dan pemilu kepala daerah (pilkada) memiliki akuntabilitas yang relatif rendah. Apa lagi, kata dia, masih marak terjadi kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan dana publik (APBN/APBD). Jadi, kendati secara prosedural meningkat pesat, tetapi secara substansi kualitas pemilu dalam menghasilkan pemerintahan yang sepenuhnya bekerja untuk rakyat masih jauh dari harapan.

Permasalahan lain dari format pemilu saat ini adalah fakta bahwa sejak 1999 hingga 2014, pileg selalu mendahului pemilu presiden (pilpres), padahal pada saat yang sama bangsa kita sepakat untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Pileg yang mendahului pilpres dalam skema presidensial jelas merupakan suatu anomali atau penyimpangan, mengingat di dalam sistem presidensial, lembaga legislatif terpisah dari eksekutif.

Di sisi lain, penyimpangan ini pada akhirnya berisiko pada implementasi sistem presidensial itu sendiri. Salah satu risiko itu adalah berlangsungnya proses pencalonan presiden yang “didikte” oleh hasil pileg. Seperti diketahui, hanya parpol atau gabungan parpol yang memperoleh sekurang-kurangnya 25% suara atau 20% kursi DPR yang dapat mengajukan pencalonan dalam pilpres.

Pilpres dan segenap prosesnya dilaksanakan untuk memilih presiden dan wakilnya tanpa dikaitkan dengan kebutuhan akan optimalisasi kinerja sistem pemerintahan presidensial. Singkatnya, ujar dia, tujuan governability atau terbentuknya pemerintah yang dapat memerintah secara efektif, cenderung terabaikan dalam skema pemilu saat ini.

Pileg dalam konteks penguatan sistem presidensial adalah pileg yang secara konsisten berorientasi pada penyederhanaan sistem kepartaian, dari sistem multipartai ekstrem menjadi sistem multipartai moderat. Dengan sistem multipartai moderat diharapkan “gangguan” partai di parlemen terhadap presiden relatif berkurang dan potensi politik transaksional diminimalkan.

Pilpres dalam konteks penguatan sistem presidensial adalah pilpres yang tidak dipengaruhi oleh konstelasi politik dan/atau hasil pileg, sehingga presiden terpilih benar-benar bisa menjadi “presiden yang presidensial”, tidak seperti presiden hasil Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019 yang tak lebih dari “presiden yang parlementer”. (G-2)

 

BACA JUGA: