JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung diminta bergerak cepat menyidik dugaan korupsi pengadaan kapal anchor handling tug supply (AHTS) atau kapal untuk mendukung kegiatan lepas pantai di PT Pertamina Trans Kontinental pada 2012-2014. Bukti-bukti adanya aroma korupsi dalam kasus ini cukup kuat.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyerahkan sejumlah dokumen hasil investigasi terkait  pengadaan kapal AHTS senilai US$ 28,4 juta. Dalam investigasinya ICW menemukan beberapa kejanggalan pada pengadaan pembelian kapal tersebut, salah satu yakni adanya keterlambatan penyerahan kapal senilai US$ 5 ribu.

Pengadaan dilakukan oleh PT Vries Marine Shipyard (VMS) di Guangzhou Tiongkok.‎ Dalam kontrak pengadaan PT PTK dan PT VMS tanggal 2 Febuari 2012. "Namun kapal pertama (Trans Andalas) seharusnya diserahkan di Batam 25 Mei 2012 dan ‎kapal kedua (Trans Celebes) diserahkan 25 Juni 2012, namun ternyata kedua kapal diserahkan terlambat dari jadwal tersebut, yaki diserahkan 10 Agustus 2012 dan 8 Oktober 2012," kata Koordinator Divisi Investigasi ICW, Febri Hendri di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (8/2).

Dia menjelaskan PT VMS beralasan bahwa keterlambatan disebabkan karena faktor cuaca dan hari libur nasional di China, namun ICW tak percaya begitu saja. ICW pun melakukan penelusuran soal faktor cuaca dan ditemukan memang terjadi 23 kejadian angin taufan (Typhoon) di daratan China, namun kejadian tersebut baru mulai pada bulan Juli sampai September 2012.

"ICW menghitung keterlambatan penyerahan kedua kapal berdasarkan tanggal kontrak mencapai 175 hari, dengan demikian terdapat denda US$ 875 ribu yang tidak ditagih oleh PT PTK pada PT VMS," kata Febri.

Denda keterlambatan kemudian dikompensasi pada penambahan peralatan kapal senilai Rp 322 juta dan US$ 2.200 saja. Nilai kompensasi ini tidak diatur dalam kontrak karena tidak ada amandemen sesuai masalah ini. Dengan demikian PT PTK dan PT VMS membuat aturan yang tidak diatur dalam kontrak sekaligus melanggar isi kontrak.

"Direksi PT PTK memundurkan tanggal amandemen kontrak, amandemen kontrak tertanggal 3 Oktober 2012 sebelum penyerahan kapal kedua tapi sebenarnya kontrak tersebut ditandatangani pada bulan November 2012," tegas Febri.

Kasus korupsi pengadaan kapal ini resmi naik ke penyidikan setelah menemukan bukti-bukti awal dugaan pidana.

"Sudah penyidikan, saya rasa karena kita (penyidik) sudah menerima bahan-bahannya, ada dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) ada dari BPK, sedang koordinasi. Jadi semua kita lakukan dengan terukur tidak ada mencari-cari,” ujar Jaksa Agung HM Prasetyo, akhir pekab lalu.

Kejagung juga telah mamangil eks Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Ahmad Bambang. Prasetyo menuturkan, pemeriksaan Bambang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT Pertamina Trans Continental. Namun beberapa kali mangkir.
MODUS - Dalam kasus ini ICW menduga ada kongkalikong direksi PT PTK dan PT VMS. PT PTK meminta PT VMS untuk memproduksi dua unit kapal AHTS, pada 2012. Berdasarkan kontrak, pengadaan kapal senilai US$28,4 juta untuk dua unit.

Kapal diproduksi di Guangzhou, China. Pengadaan ini bertujuan untuk investasi PT PTK pada PT Total EP Indonesia.

Namun proses penunjukan PT VMS syarat kolusi. Pasalnya PT VMS tidak memiliki kemampuan. Apalagi PT VMS baru didirikan beberapa bulan sebelum mendapatkan kontrak dari PT PTK. Total dana yang dimiliki oleh PT VMS pun hanya Rp 1 miliar.

"Kejagung patut menelusuri lebih jauh mengingat perusahaan dengan kemampuan terbatas bisa mendapat kontrak yang cukup besar," kata Febri.

Setelah adanya kontrak itu, PT PTK memberikan lagi uang muka tambahan US$ 3,5 juta tanpa mengikuti prosedur yang diatur dalam kontrak. Sehingga, hal tersebut menyalahi perjanjian yang ada antara kedua belah pihak. "Kami melihat PT VMS bisa mendikte PT PTK," kata dia.

Febri mengatakan, pihaknya, memiliki sekitar 50 dokumen sebagai bukti adanya penyimpangan dalam pengadaan kapal AHTS. Termasuk surat kontrak.  ICW kemudian menelusuri isi dokumen tersebut hingga ke China, tempat produksi kapal.

Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, sedari awal proses pengadaan kapal sudah bermasalah. Pemegang tender, sesuai laporan itu disebut tak kredibel dan dianggap kurang berpengalaman.

Dalam perkara pengadaan dua kapal yakni kapal AHTS Transko Andalas dan Transko Celebes misalnya, broker yang digunakan oleh anak usaha PT Pertamina (Persero) tersebut dianggap tak kredibel, pemenang tender yakni PT VMB pun baru dibentuk pada 2011.

Tak hanya itu, audit tersebut menjelaskan, selain masalah kredibilitas pemegang tender, nilai proyek pengadaan kapal AHTS Transko Andalas dan Celebes yang mencapai US$28 juta dianggap terlalu mahal. Padahal menurut audit itu, harga per unit kapal hanya sekitar US$7 juta. Sehingga untuk dua kapal jumlah anggaran seharusnya senilai US$14 juta.

Hal serupa juga terjadi dalam pengadaan dua kapal lainnya yakni kapal AHTS Balihe dan Moloko, yang nilai proyeknya juga mengalami kemahalan senilai US$14 juta.

Adapun, dalam hal itu, BPK menengarai, potensi kemahalan yang berimplikasi pada dugaan kerugian negara tersebut disebabkan, oleh perhitungan yang tidak berjenjang dan sumber harga yang digunakan sebagai parameter tak jelas.

Selain masalah pengadaan tender, potensi kerugian negara lainnya juga disebabkan oleh kerusakan dan ketiadaan kapal pengganti. Akibatnya, anak usaha perusahaan pelat merah itu mengalami kerugian senilai US$277,221.

Adapun jika dirunut, disamping proyek pengadaan kapal, potensi kerugian lain di PT Pertamina Trans Kontinental di antaranya kurang optimalnya PMS dan penentuan spesifikasi barang yang mengakitbatkan hilangnya pendapatan charter senilai US$1,5 juta dan timbulnya biaya bunker senilai Rp3,3 miliar. Ketidakoptimalan kapal juga menyebabkan perusahaan pelat merah itu kehilangan pendapatan US$228.135.

Sementara itu keterlambatan delivery harbour tug dan geumgang shipyard membuat perusahaan itu membayar tambahan biaya kapal pengganti senilai Rp4,8 miliar. Adapun berbagai bentuk kerugian-kerugian tersebut, sesuai laporan itu telah disetujui oleh pimpinan Pertamina Trans Kontinental.

BACA JUGA: