JAKARTA - Presiden Joko Widodo sempat menekankan urgensi pembangunan kilang yang terhenti selama 30 tahun. Pemerintah pun tak henti berburu investor untuk bangun pengolahan minyak namun hingga kini tak juga terealisir.

Ada tangan mafia yang sangat kuat bercokol di semua sendi masyarakat perminyakan hingga selalu berupaya menggagalkan pembangunan kilang ini.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menyebutkan bahwa Komisaris PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah menyebutkan bahwa Presiden Jokowi sudah teriak-teriak selama lima tahun tentang kilang minyak yang tak terbangun.

Hal itu dikatakan Ahok saat menjadi salah satu narasumber pada acara bertajuk Bertemu Indonesia, Minggu (16/8/2020), yang digagas Narasi TV dan dipandu oleh Najwa Sihab.

"Untung Jokowi terpilih lagi, sehingga kita bisa gas lagi, (kata Ahok) namun dia tidak memahami siapa sosok yang membuat pembangunan kilang terhambat, ketika hal itu ditanyakan lebih lanjut oleh Najwa," kata Yusri kepada Gresnews.com, Jumat (21/8/2020).

Ia menjelaskan memang bila melihat fakta yang ditemukan, setelah Saudi Aramco mundur dari proyek kilang Cilacap, Rosneft juga mundur dari kilang Tuban dan terakhir Overseas Oil and Gas (OOG) mundur dari kilang Bontang, diluar dugaan ternyata masih banyak investor yang serius mau membangun kilang dengan mengajak Pertamina sebagai offtaker-nya.

Kejutan dan kabar baik muncul ketika konsorsium PT Dex Indonesia pada 13 Agustus 2020 telah menandatangani MOU dgn CEO PT Kilang Pertamina Indonesia Ignatius Telulembang di kantor Staf Kepresidenan yang disaksikan langsung oleh Moeldoko. "Tegas dikatakan pemerintah mendukung pembangunan kilang minyak di kawasan ekonomi khusus Tj Api Api Sumatera selatan," ujar Yusri.

Meskipun MOU sudah ditanda tangani, lanjut Yusri, belakangan muncul rumor bahwa CEO PT KPI mendapat teguran dari salah satu direksi.
"Kalau benar info tersebut, sikap ini memang aneh," ungkapnya.

Lebih lanjut Yusri mengungkapkan, di ruang publik selama ini banyak pejabat migas menyatakan pembangunan kilang minyak itu tak menarik dari sisi ekonominya.

Selain karena padat modal bisa mencapai US$15 miliar untuk membangun kilang, margin sangat tipis, IRR sangat rendah dibawah 8, sehingga tak menarik bagi investor investor. "Apalagi katanya Pertamina tak punya uang sendiri untuk membangunnya," ujarnya.

Namun, menurutnya ternyata ada juga investor lain yang tak kalah seriusnya mau investasi kilang minyak dan petrokimia Cilacap dan GRR atau Grass Root Refinery Bontang dengan konsep BOOT (Build Own Operate and Transfer), yaitu konsorsium Sanur Hasta Energy Pte, Ltd dengan Kohlberg Krevis Roberts (KKR) dan Shell Global Solution.

Ia berpendapat kalau melihat kapasitas KKR dan Shell Global Solution yang punya nama tingkat dunia dan sudah membuktikan telah berinvestasi di banyak negara, harusnya rencana investasi kilang minyak disikapi dengan serius oleh Direksi Pertamina dengan memberikan karpet merah.

Apalagi, kata Yusri, di saat pandemi COVID-19 masih merebak, tawaran ini bak mendapat durian runtuh, karena kalau rencana investasi ini bisa terealisasi, selain bisa menyerap banyak tenaga kerja, akan menjadi triger perekonomian nasional.

Khususnya pada sekitar lokasi kilang dan berpotensi meningkatkan penerimaan negara dan bisa mengurangi impor BBM, serta bisa menekan defisit transaksi berjalan setiap tahunnya.

Namun anehnya, kata Yusri, keseriusan investor ini infonya tak mendapat respon yang cepat dari direksi Pertamina, malah terkesan cuek, padahal menurut Peraturan Presiden nomor 146 tahun 2015 dan dipertegas dengan PERPRES nomor 18 tahun 2020 soal pembangunan kilang dan pengembangan kilang ini bagian dari proyek prioritas strategis nasional RJMP Nasional tahun 2020-2024 dengan anggaran Rp 637 triliun dan Pertamina mendapat penugasan, artinya pembangunan kilang bisa juga menggunakan dana APBN atau korporasi.

Ia menjelaskan karena tidak ada keseriusan dari pihak Direksi Pertamina dalam menindak lajuti rencana serius investasi dari investor, maka pada tanggal 15 dan 22 Juni 2020 pihak konsorsium menyurati kembali Direktur Utama PT Pertamina atas tidak adanya respon yang serius terhadap rencana investasi tersebut.

Surat itu ditembuskan juga ke Menko Marinves dan Komisaris Utama Pertamina Ahok Basuki Purnama, padahal pihak konsorsium sejak 16 Desember 2019 telah membuat surat keseriusan akan investasi kepada Dirut Pertamina tentang keseriusan mereka membangun kilang di Bontang dan Cilacap.

Yusri lantas menegaskan, berdasarkan fakta-fakta yang ada, ternyata apa yang diucapkan Ahok sebagai komisaris utama dan direksi Pertamina di ruang publik berbeda jauh dengan kenyataan kecepatan respon dan sikap Direksi Pertamina terhadap calon investor.

"Tentu sikap tidak profesional direksi Pertamina ini menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di sektor migas di tanah air, meskipun gembar-gembor direksi di media perlunya langkah nyata untuk menjaga ketahanan energi nasional, bisa dibaca publik sebagai omong kosong," ungkapnya.

Padahal, lanjut Yusri, pembangunan kilang itu sudah sejak lama sangat dibutuhkan oleh Pertamina, karena kapasitas produksi 6 kilang Pertamina hanya bisa maksimal 950.000 barel perhari dari kapasitas terpasang kilang 1.075 juta barel per hari.

Sementara konsumsi BBM nasional dalam kondisi normal sekitar 1,5 juta barel perhari, sehingga kekurangannya BBM dipasok dari kilang Singapore sekitar 600.000 barel perhari dan minyak mentah 300.000 barel perhari.

"Sehingga aneh dan bodoh kalau niat investor ini disikapi dengan ogah-ogahan oleh Direksi Pertamina, karena investor yang mau bangun kilang dengan investasi murni 100% duit sendiri, tanpa menggunakan sepeserpun uang negara dan uang Pertamina, kecuali sebatas uang konsumsi rapat-rapat di kantor Pertamina dan peninjauan lapangan, bahkan Pertamina bisa dapat goodwill share 10%, dan 30 tahun kemudian Pertamina bisa dapat kilang gratis, jika ada risiko rugi, maka semuanya risiko ditanggung investor," kata Yusri.

"Maka jadi terjawab sudah mengapa Pertamina bisa terlempar dari 500 perusahaan dunia versi majalah Fortune, mungkin begitu buruk kinerja direksinya," lanjut Yusri.

Selain itu, kata Yusri, semakin nyata negara telah kalah terhadap mafia impor BBM yang memang terbukti selalu menggagalkan upaya pembangunan kilang minyak di Indonesia, agar mereka bisa menikmati komisi dari impor BBM.

Sebelumnya Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Enegi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Purbaya Yudhi Sadewa, memberikan pernyataan soal terbengkalainya pembangunan kilang minyak Pertamina.

"Pembangunan kilang terhambat. Kita anginnya kencang, karena berhadapan dengan mafia minyak ini," katanya melalui video conference via Zoom, Selasa (9/6/2020).

Menurutnya keberadaan mafia migas dalam mega proyek pembangunan kilang Pertamina di Batam terasa begitu nyata.

Misalnya, saat perusahaan migas ternama Cinopec asal China hendak berinvestasi untuk proyek Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) di Batam tiba-tiba tersandung masalah hukum.

Akibatnya, proyek tersebut tak ada kemajuan hingga tujuh tahun. "Artinya kita berhadapan dengan mafia minyak," katanya.

Di sisi lain, Purbaya juga mengendus keberadaan mafia dalam berbagai mega proyek antara Pertamina dengan sejumlah perusahaan raksasa migas yang berujung pada kegagalan.

Antara lain terputusnya kerjasama dengan perusahaan raksasa migas Aramco pada proyek kilang Cilacap. Bahkan Pertamina disebutkannya sempat berkonflik dengan Overseas Oil and Gas (OOG) di proyek kilang Bontang.

Untuk itu, pihaknya berjanji melakukan investigasi untuk membuktikan keterlibatan mafia dalam batalnya sejumlah kontrak kerjasama pembangunan kilang minyak Pertamina di berbagai daerah.

"Saya terlibat langsung dalam mengawal pembangunan kilang minyak di Balongan. Dan saya terus menekan mereka untuk tidak membatalkan investasinya," tegas dia. (G-2)

BACA JUGA: