JAKARTA - Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menjabat sebagai Komisaris Utama sejak 22 November 2019 mengumbar buruknya tata kelola di PT Pertamina (Persero). Ahok membeberkan sejumlah masalah di tubuh Pertamina. Mulai dari gaji besar pejabat nonjob Pertamina, utang perusahaan yang membengkak, hingga masalah penunjukan direksi dan komisaris.

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Madah (UGM) Fahmy Radhi menanggapi kritik Ahok tersebut. Ia mengatakan bahwa bagi sebagian orang, Ahok telah membuka aib Pertamina sehingga mengusulkan untuk memecat Ahok.

"Tapi bagi saya, saya mengamati Ahok sejak ditunjuk sebagai Komisaris Utama Pertamina. Dia selalu mengupayakan adanya transparansi tata kelola termasuk di Pertamina. Misalnya, dia membuka data tentang impor, tentang BBM dan sebagainya itu dalam rangka transparansi," kata Fahmy kepada Gresnews.com, Kamis (17/9/2020).

Lanjut Fahmy, transparansi tata kelola yang transparan ini diyakini oleh Ahok bisa memagari masuknya mafia migas. Salah satu tugas Ahok sebagai komisaris mendorong direksi untuk memberantas mafia migas. Mafia migas itu dapat dicegah atau dapat dipagari kalau tata kelolanya transparan.

"Lontaran kritik yang dilakukan oleh Ahok itu kalau menurut saya itu sebagai upaya untuk membuka Pertamina secara transparan tadi sehingga tidak tertutup-tutupi lagi. Itu sebagai upaya dalam rangka melawan mafia migas tadi," jelasnya.

Menurut Fahmy, hal itu justru memang bagus karena menjalankan tugasnya secara khusus untuk memberantas mafia migas maka perlu ada keterbukaan, perlu ada tata kelola yang transparan.

"Saya kira ketidak berusaha (mampuan) Pertamina dalam membangun kilang itu sudah terjadi lebih 20 tahun tidak ada kilang baru. Dalam periode pertama Presiden Joko Widodo itu juga memerintahkan agar Pertamina membangun kilang. Tapi tidak berhasil," tuturnya.

Kemudian pada periode kedua Jokowi memerintah lagi Pertamina untuk membangun kilang agar apa? Kalau Indonesia mempunyai kilang dapat menurunkan atau bahkan bisa menghapus impor BBM.

Tetapi juga kilangnya tidak bisa dibangun. Bahkan kerja sama dengan Aramco untuk membangun kilang di Cilacap itu juga gagal dan Aramco sudah meninggalkan Pertamina.

"Jadi apa yang diungkap Ahok itu saya kira itu betul juga. Karena memang direksi itu tidak mampu membangun kilang seperti yang diperintahkan oleh Jokowi dan itu saya kira itu bentuk keterbukaan oleh Ahok. Tapi sekali lagi style-nya Ahok itu mengungkapkannya seperti itu sehingga banyak orang yang merasa tersinggung," ujarnya.

Fahmy mengatakan bahwa beberapa kalangan mendesak Presiden Joko Widodo dan Menteri BUMN Erick Thohir untuk memecat Ahok.

Alasannya, Ahok menimbulkan kegaduhan dengan mengungkap aib Pertamina di depan publik. Tanpa dibuka oleh Ahok, publik sesungguhnya sudah mengetahui kebobrokan Pertamina, yang semester I/2020 menderita kerugian sebesar Rp11,13 triliun.

Ahok juga mengusulkan agar Kementerian BUMN, yang mengangkat Ahok sebagai Komut Pertamina, sebaiknya dibubarkan saja.

Alasannya, fungsi Kementerian BUMN hanya sebatas koordinasi terhadap seluruh BUMN, sedangkan fungsi supervisi dilakukan oleh Kementerian teknis terkait. Adanya dua kementerian yang menaungi BUMN seringkali membingungkan bagi BUMN dalam pengambilan keputusan strategis.

Selama ini, kata Fahmy, peran Kementerian BUMN cenderung sebagai kepanjangan tangan kelompok kepentingan dan endorser dalam menempatkan Komisaris dan Direksi BUMN. Bahkan endorser itu lebih powerful ketimbang penilaian kinerja dalam pengangkatan Komisaris dan Direksi BUMN.

"Sebagai ganti Kementerian BUMN yang dibubarkan perlu dibentuk superholding yang membawahi berbagai holding BUMN dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden," jelasnya.

Menurutnya, kalau alasan pemecatan Ahok semata karena bikin gaduh dengan mengungkap aib Pertamina. Alasan itu terlalu naif dan tidak mendasarkan pada kaidah manajemen profesional.

Pemecatan Ahok sebagai Komut Pertamina seharusnya didasarkan atas pencapaian Key Performance Indicator (KPI), bukan karena bikin gaduh. KPI itu, di antaranya: pemberantasan mafia migas, pembangunan kilang, penurunan impor migas.

"Kalau KPI ditetapkan itu tidak dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu, Ahok memang seharusnya dipecat sebagai Komut Pertamina," tandasnya.

Sebelumnya Ahok mengaku sempat emosi ketika sedang rapat terkait progres proyek kilang minyak dengan jajaran direksi perseroan. Ahok menyoroti proses birokrasi dalam salah satu proyek utama pemerintah tersebut.

Menurut dia, jajaran direksi kerap kali lamban merespons para calon investor. "Saya mau rapat penting soal kilang. Lalu jawab saya, `Berapa investor yang mau nawarin kerja sama, kalian diemin`. Terus sudah ditawarin, kenapa ditolak? Terus kenapa kerja seperti ini," ujarnya dalam cuplikan video YouTube kanal Poin, dikutip pada Kamis (17/9/2020).

"Sempat saya emosi juga kemarin. Mereka memancing saya emosi, (kemudian) laporin Presiden apa? Ahok mengganggu keharmonisan," katanya. "Pertamina sudah aman-aman, udah nyaman-nyaman, masuk komut brengsek ini satu ini," tambah Ahok.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Ahok saat ini tengah mendorong proses digitalisasi dokumen. Dengan demikian, ia dapat mengawasi secara langsung proses surat-menyurat yang dilakukan oleh perseroan ataupun pihak luar. "Saya bisa investigasi untuk surat-menyurat. Ini investor kirim surat didiemin berbulan-bulan, bertahun-tahun enggak dijawab," ucapnya.

Vice President Corporate Communications PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman menghargai pernyataan Ahok sebagai Komut yang memang bertugas untuk pengawasan dan memberikan arahan.

"Sebagai Komisaris Utama masukan yang telah disampaikan beliau baik melalui rapat-rapat rutin setiap minggunya maupun channel komunikasi lainnya telah menjadi perhatian manajemen untuk ditindaklanjuti," kata Fajriyah lewat pesan WA yang diterima Gresnews.com, Kamis (17/9/2020).

Hal ini juga, kata Fajriyah, sejalan dengan restrukturisasi dan pembenahan yang sedang dijalankan direksi agar perusahaan menjadi lebih cepat, lebih adaptif, kompetitif.

Upaya Direksi Pertamina untuk menjalankan Perusahaan sesuai prosedur, menjadi lebih transparan dan profesional telah konsisten nyata dilakukan, melalui penerapkan ISO 37001:2016 mengenai Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) oleh Pertamina dan Groupnya, kerja sama dengan PPATK dan juga institusi penegak hukum, serta pendampingan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebagai BUMN Migas, menurutnya, Pertamina mendapat tugas dan berperan untuk mengelola migas nasional. Direksi pun telah melakukan banyak perbaikan dan hal positif melalui eksplorasi aset migas dalam negeri dan luar negeri, peningkatan produksi, pembangunan kilang, maupun inovasi di hilir untuk memastikan bahan bakar minyak (BBM) dan Liquified Petroleum Gas (LPG) sampai dan tersalurkan ke seluruh Indonesia.

"Untuk mewujudkan aspirasi pemegang saham, Direksi perlu melakukan corporate action dalam rangka pertumbuhan perusahaan dan juga memastikan ketahanan energi nasional," tuturnya.

Menurut Fajriyah, untuk menjalankan target dan program perusahaan, Pertamina membutuhkan pendanaan baik dari dana internal perusahaan maupun eksternal. Tentu saja hal ini dilakukan secara prudent dan profesional.

"Dari sisi besaran rasio, misalnya Debt to EBITDA dan Debt to Equity tetap kita jaga, tetap diupayakan dalam kontrol yang wajar sebagai perusahaan yang sehat," ungkapnya.

Aspek keuangan ini, kata dia, juga dimonitor oleh Dewan Komisaris dan Kementerian BUMN sebagai pemegang saham. Begitu pula mekanisme yang dilakukan tetap mengacu pada regulasi yang ada.

"Harapannya ke depan Pertamina dapat mewujudkan aspirasi stakeholder dengan tata kelola yang lebih baik. Karena tentu kita semua ingin Pertamina terus tumbuh dan menjadi kebanggaan nasional," tandasnya. (G-2) 

BACA JUGA: