JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus bertanggung jawab atas kerugian PT Pertamina (Persero) semester I tahun 2020 sebesar US$767,92 juta atau sekitar Rp11,33 triliun (kurs US$/Rp14.766). Kerugian Pertamina itu sebenarnya terjadi akibat kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi, peraturan dan tata kelola pemerintahan yang baik.

"Sebagai pemimpin pemerintahan, rakyat wajar menuntut pertangungjawaban Presiden Jokowi," kata Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara kepada Gresnews.com, Kamis (3/9/2020).

Ia menjelaskan dalam kondisi harga jual BBM dalam negeri yang tetap tinggi seperti sekarang, Pertamina seharusnya bisa untung Rp2,25 triliun, jika pelanggaran tidak terjadi. Namun karena berbagai pelanggaran oleh pemerintah, 265 juta rakyat kehilangan kesempatan memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari sumber daya alam migas.

Marwan memaklumi jika banyak perusahaan merugi pada masa pandemi COVID-19. Kerugian itu bisa besar atau kecil. Namun ada juga perusahaan migas yang masih untung, seperti Cinopec China, PTT Thailand, Indian Oil Company Ltd., Petronas. "Untuk kasus Pertamina, kerugian tidak otomatis dapat diterima. Pemerintah harus bertanggung jawab," katanya.

Menilik Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR (26/08/2020), Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan ada tiga faktor utama penyebab kerugian Pertamina yaitu turunnya harga minyak dunia, kurs Rp terhadap US$ dan permintaan BBM.

Harga minyak turun menyebabkan sektor hulu Pertamina merugi, sedangkan turunnya permintaan akibat pandemi COVID-19 menyebabkan sektor hilir merugi. Turunnya kurs berdampak pada tambahan beban keuangan karena fundamental pembukuan Pertamina berdasar US$.

"Kami paham ketiga faktor di atas menjadi sebab ruginya Pertamina. Namun bukan hanya ketiga faktor tersebut yang menjadi penyebab kerugian. Publik harus paham, ada penyebab kerugian lain, yang semuanya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi, aturan dan prinsip good corporate governance (GCG)," kata Marwan.

Ia menjelaskan, pertama, Pertamina harus membayar signature bonus (SB) Blok Rokan sebesar US$784 juta (sekitar Rp11,3 triliun). Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, mengelola Blok Rokan adalah hak mandatory Pertamina. Hal yang lebih runyam, meskipun baru mengoperasikan Rokan Agustus 2021, Pertamina harus membayar SB pada 2018/2019.

Untuk itu Pertamina harus menerbitkan surat utang. Seharusnya cadangan blok Rokan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara (PMN), tanpa SB, dan berlaku sejak pengelolaan dimulai Pertamina Agustus 2021.

Kedua, Pertamina harus membeli minyak mentah (crude) domestik dengan harga Indonesia Crude Price (ICP) lebih mahal sekitar US$8 per barel (Banyu Urip) dan US$11 per barel (Duri) dibanding ICP crude jenis lain.

Hal ini terlihat pada Kepmen ESDM No.79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan anomali perbedaan harga masih sama.

Rerata produksi lapangan Banyu Urip sekitar 210.000 barel per hari (bph), sedang lapangan Duri sekitar 170.000 bph. Jika seluruh produksi minyak kedua lapangan dibeli Pertamina, maka nilai “kemahalan” yang harus dibayar Pertamina (asumsi US$/Rp=14.500, 1 semester = 180 hari) adalah: untuk Banyu Urip (US$8/barel x 210.000 barel/hari x 180 hari) = US$302,4 juta, untuk Duri (US$ 11/barel x 170.000 barel/hari x 180 hari) = 336,6 juta. Sehingga nilai “keabnormalan” harga yang harus dibayar Pertamina US$ (302,4 + 336,6) juta = U$639 juta atau sekitar Rp9,25 triliun.

Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100% produksi Banyu Urip dan Duri dibeli oleh Pertamina. Jika diasumsikan biaya cost recovery ditambah nilai bagi hasil (split) rata-rata kontraktor adalah 35% total produksi maka 35% dari nilai kemahalan tersebut (Rp3,24 triliun) malah dinikmati oleh asing yakni Chevron (Duri) dan Exxon (Banyu Urip).

Ketiga, Pertamina harus menanggung beban pencitraan politik dalam rangka Pilpres 2019, sehingga harus terlebih dahulu menanggung beban biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017.

Menurut Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini pada RDPU Komisi VII DPR, akumulasi tanggungan Pertamina tersebut adalah Rp96,5 triliun kompensasi dan Rp13 triliun subsidi. Sehingga total beban kebijakan populis tersebut adalah Rp109,5 triliun.

Utang pemerintah ini memang kelak akan dibayar, tapi jadwalnya tak jelas, terutama karena besarnya defisit APBN akibat pandemi corona. Jika tak segera dilunasi, Pertamina justru terancam gagal bayar atau default.

Karena utang pemerintah Rp109,5 triliun tak dilunasi, Pertamina harus menerbitkan surat utang. Beban surat utang Pertamina sejak 2011 mencapai US$12,5 miliar.

Khusus untuk 2018-2020, akibat menanggung akumulasi utang pemerintah Rp109,5 triliun di atas, Pertamina setiap tahun harus menerbitkan bond US$750 juta (2018), US$1,5 miliar (2019) dan US$3 miliar (2020), pada tingkat bunga (kupon) yang berbeda-beda antara 3,65% hingga 6,5%.

Total tambahan surat utang Pertamina 2018 hingga 2020 adalah US$5,25 miliar.

Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing maka beban bunga (cost of money) yang ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 yang menjadikan Pertamina sapi perah adalah sekitar US$210 juta atau sekitar Rp3 triliun.

Keempat, selain ketiga faktor penyebab di atas, Pertamina juga harus menanggung beban kebijakan lain berupa public service obligation (PSO) BBM satu harga, PSO overquota LPG 3kg, pembangunan rumah sakit untuk COVID-19, akuisisi perusahaan Maurel & Prom Prancis diperkirakan bernuansa moral hazard, dll.

Sesuai UU 19/2003 tentang BUMN, beban PSO harus ditanggung APBN. Keseluruhan beban kebijakan tersebut dapat mencapai triliunan rupiah.

Hanya dari tiga kebijakan pemerintah yang diurai di atas yaitu 1) beban keuangan SB Rokan Rp11,3 triliun, 2) membeli crude domestic mahal Rp9,25 triliun dan 3) biaya bunga akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp3 tiriliun, Pertamina harus menanggung beban keuangan sekitar Rp23,55 triliun.

Artinya, jika kebijakan sesuai konstitusi, tidak melanggar aturan dan GCG, maka Pertamina masih untung sekitar Rp(23,55 – 11,3) triliun = Rp12,25 triliun.

Terkait posisi Ahok sebagai Komut yang masih dihujat publik, masalahnya sama, yaitu pemerintah mengangkat Ahok tanpa peduli aturan dan GCG.

Ahok diangkat menjadi Komut dengan melanggar sejumlah ketentuan dalam UU BUMN, Permen BUMN 02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan Pengangkatan Komisaris BUMN, dan Permen BUMN 01/2011 tentang Penerapan GCG. Karena itu, seperti juga sikap publik, IRESS bersikukuh pada sikap semula, Ahok harus segera dilengserkan dari posisi Komut Pertamina.

Jika dikaitkan dengan peraturan harga BBM yang berlaku saat ini, di mana pemerintah tak kunjung menurunkan harga BBM, sebenarnya konsumen BBM telah mensubsidi Pertamina minimal Rp20 triliun. Artinya, rakyat telah menyelamatkan Pertamina dari kerugian yang lebih besar dari Rp11,3 triliun. (G-2)

BACA JUGA: