JAKARTA - Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) meminta Pertamina menghapus fasilitas kartu kredit korporat (Corporate Credit Card/CCC) manajer, direksi, dan komisaris demi meningkatkan efektivitas dan efisiensi biaya.

Ahok pun mengungkapkan ia mendapat fasilitas kartu kredit dengan limit Rp30 miliar. Kata Ahok: "Iya, komisaris utama dengan limit Rp30 miliar."

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) lalu digelar (14/6/2021).

Keputusan RUPS dieksekusi sesuai Surat Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini No. 204/H00000/2021-S4 tanggal 15 Juni 2021.

CCC bagi direksi, komisaris dan seluruh pimpinan Pertamina Group yang dibayar melalui autodebet dan bank transfer dihentikan sejak 15 Juni 2021. Kebutuhan berkaitan pekerjaan dan kegiatan kantor akan menggunakan kartu kredit pribadi dan di-reimburse sesuai ketentuan.

Belakangan, selain `masalah` fasilitas CCC, Ahok menyebut direksi juga menerima uang representatif di luar gaji pokok. Ahok mengatakan direksi tak mengakui telah menerima uang representatif. "Direksi tidak pernah ngaku kepada Dekom (Dewan Komisaris) ada uang representatif sampai hari ini jika ditanya," kata Ahok.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mendukung setiap upaya efiesiensi yang dilakukan BUMN.

"Namun, terkait peran Ahok dalam isu CCC, kartu reperesentatif, dan laba Rp15 triliun, kita perlu menanggapi. Tujuannya, agar rakyat memperoleh informasi yang benar, serta tidak terkecoh menjadi korban pencitraan dan manipulasi informasi," ujarnya kepada Gresnews.com, Senin (28/6/2021).

Menurutnya, urusan penghentian fasilitas CCC merupakan wewenang yang bisa diselesaikan melalui mekanisme Rapat Dewan Komisaris dengan Direksi sesuai Pasal 60 dan 64 PP No. 45/2005 tentang BUMN. Tidak perlu sampai diputuskan oleh RUPS.

Marwan bertanya apakah hal itu menunjukkan adanya hubungan komisaris dan direksi yang bermasalah atau bisa juga karena kepentingan pencitraan.

Kemudian, ketika Ahok menyebut limit CCC yang diperolehnya hingga Rp30 miliar, publik bisa tergiring persepsi negatif. Seperti fasilitas manajemen berlebihan, boros, mewah, potensial menyeleweng dan minim empati pada rakyat.

Ia mengatakan itu terkesan Ahok bersih, pejabat lain kotor.

Padahal, menurut dia, limit CCC hanya Rp50 juta-Rp100 juta.

Publik bisa pula terkesan bahwa Ahok berhasil menghemat dana Pertamina puluhan miliar.

Ia menjelaskan sebenarnya CCC biasa dan lumrah digunakan korporasi guna mendukung kelancaran operasi, pelayanan dan peningkatan kinerja. Maka, wajar jika manajemen memutuskan layak tidaknya penggunaan CCC setelah mempertimbangkan berbagai aspek secara seksama.

"Dari informasi internal yang diperoleh IRESS, kebijakan bersifat Top-Down, manajemen `tidak berminat` menghadapi komut yang dikesankan sangat dominan, untuk tidak mengatakan otoriter," ungkapnya.

Menurut Marwan, Ahok telah mengancam manajemen Pertamina akan membuka kepada publik perihal penggunaan CCC berlimit puluhan miliar Terkesan, telah terjadi penyelewengan meluas, termasuk oleh manajemen atas.

Ancaman itu, sebutnya, bisa berarti tuduhan pidana.

Padahal, lanjut Marwan, isu CCC ini konon bermula dari segelintir karyawan yang menyeleweng. Mayoritas tetap taat aturan. Tapi dengan ancaman itu nama baik dan harkat eksekutif Pertamina telah tercoreng.

Sebenarnya, jika ingin menuntaskan secara mulus dan efektif, Ahok bisa menggunakan organ Komite Audit dalam lembaga Komisaris Pertamina, tanpa perlu cuap-cuap. Apalagi diiringi dengan ancaman.

"Mengapa organ tersebut tidak difungsikan? Ada sensasi dan pencitraan yang ingin diraih?" katanya.

Bagi rakyat, terserah siapa pun pelaku penyelewengan CCC, hanya segelintir oknum atau melibatkan manajemen atas maka kasus CCC yang `memuat ancaman` Ahok ini harus tuntas.

Kasus tidak boleh berhenti hanya pada ancaman. Direksi pun harusnya terusik jika terpersepsi negatif.

Banyak yang tak percaya

Sejumlah mantan pejabat BUMN pun angkat suara mengenai pengakuan Ahok mendapatkan fasilitas CCC hingga Rp30 miliar.

Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menyebut keputusan pemberhentian fasilitas seperti kartu kredit tak perlu diputuskan lewat RUPS. Cukup di dewan komisaris atau direksi.

"Kecuali kalau untuk pencitraan. Cukup arahan dekom dan diputuskan pada rapat bersama Direksi dan Komisaris," kata Said Didu dikutip dari akun Twitternya, Senin (28/6/2021).

Salah satu mantan pejabat BUMN dan bahkan mantan Menteri BUMN pun kaget mendengar informasi tersebut, yakni Dahlan Iskan.

Dahlan pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT PLN (Persero) pada 2009-2011 dan Menteri BUMN pada 2011-2014.

Ia bahkan meragukan informasi tersebut dan menyebut limit Rp30 miliar tersebut tak masuk akal.

"Pak Ahok ngomong gitu (30 m)? Gak salah kutip?" ungkapnya di salah satu media.

"Takutnya saya komentar nanti ternyata salah kutip. Gak masuk akal soalnya," imbuhnya, Jumat (18/6/2021).

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan pihaknya telah melakukan pengecekan ke pihak Pertamina.

Namun limit kartu kredit yang disediakan hanya berkisar Rp50 juta-Rp 100 juta per orang.

"Kami mendukung semua efisiensi yang dilakukan oleh setiap BUMN, apalagi kalau efisiensi tersebut berhubungan dengan capex [capital expenditure] dan opex [operational expenditure] yang memang mempengaruhi keuangan BUMN," kata Arya dalam keterangannya, Rabu (16/6/2021).

"Dan hasil pantauan kami, limitnya tidak ada yang sampai Rp30 miliar. Limit atasnya Rp50 juta-Rp100 juta. Dan pemakaian hanya untuk kepentingan perusahaan. Saya juga sudah cek ke Pertamina, menurut mereka tidak ada limit kartu kredit mencapai Rp30 miliar, baik untuk direksi dan komisaris," jelasnya.

Arya mengungkapkan, fasilitas kartu kredit diberikan oleh BUMN kepada pengurusnya untuk mengurangi penggunaan uang tunai, sehingga penggunaannya bisa dikontrol dan lebih transparan. (G-2)

BACA JUGA: