JAKARTA, GRESNEWS.COM – Indonesia tengah dirudung duka, Kamis (14/1) lalu masyarakat dikagetkan dengan aksi keji sejumlah terduga teroris yang ditenggarai memiliki jaringan dengan ISIS. Menjelang siang, ditengah keramaian hilir mudik aktivitas masyarakat di bilangan Jalan MH.Thamrin telah terjadi aksi penyerangan kelompok terduga teroris yang meledakan pos polantas di perempatan jalan protokol tengah kota itu, tidak hanya itu, aksi para pelaku terror itu juga berhasil memporakporandakan sebuah cafe yang berada di salah satu pusat pertokoan yang tak jauh dengan Istana Kepresidenan dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Aksi nekat sejumlah orang yang diduga kelompok Bahrun Naim itu juga sempat diwarnai baku tembak antara para pelaku versus aparat kepolisian bak aksi koboi ditengah kota. Akibat aksi penyerangan yang dilakukan oleh terduga teroris itu, puluhan orang mengalami luka-luka dan tujuh orang meninggal dunia.

Perang terbuka yang dilakukan kelompok Bahrun Naim itu telah menjadi sorotan banyak pihak, bukan hanya di dalam negeri, dunia internasional pun menyoroti penyerangan kelompok terduga yang terjadi jelang tengah hari itu. Peristiwa Thamrin berdarah itu bagaikan tamparan bagi pemerintah Indonesia. Pasalnya, aksi teror itu dilakukan di pusat kota yang tak jauh dari kantor pusat pemerintahan dan di sekitar kantor kedutaan besar Negara-negara sahabat lainnya. Bahkan, salah satu korban tewas dalam aksi penyerangan itu dikabarkan sebagai warga Negara Swedia.

Seperti tak mau kalah dengan aksi nekat kelompok terduga jaringan teroris, sesaat setelah penyerangan, pemerintah pun melakukan counter attack untuk kembali berupaya menstabilkan situasi keamanan, politik dan ekonomi. Presiden Joko Widodo yang ketika itu tengah melakukan kunjungan kerja di Cirebon, Jawa Barat langsung mengadakan konfrensi pers dari Cirebon. Jokowi yang ketika itu didampingi sejumlah menteri-menterinya diantaranya adalah Menteri Kesekretariatan Negara Pramono Anung, Menteri PMK Puan Maharani, dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, mengatakan dihadapan awak media agar masyarakat tetap tenang dan tidak perlu panik.

Dalam konfrensi pers itu Jokowi juga menyatakan telah memerintahkan kepada Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Letjen.TNI.(Purn) Sutiyoso untuk mengatasi persoalan keamanan di Jakarta secara langsung.

"Kita harus tunjukan kepada mereka (jaringan teroris) bahwa kita, bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat. Kami tidak takut," tegas Presiden Jokowi dihadapan awak media di Cirebon, Kamis (14/1).

Tak lama orang nomor satu di Indonesia itu menggelar konfrensi pers, beberapa petinggi lembaga negara dibidang keamanan pun langsung merespon perintah Jokowi itu dengan sangat cepat. Hal itu ditunjukan dengan datangnya Kepala BIN Sutiyoso dan Wakapolri Komjen Budi Gunawan ke lapangan untuk memantau langsung penanganan terhadap aksi penyerangan yang menggegerkan ibukota itu.

Gerak cepat aparat kepolisian dan Densus Anti Teror 88 di lapangan berhasil mengendalikan situasi di lapangan dalam waktu tidak lebih dari satu jam. Para pelaku terduga teroris pun dipastikan ikut meregang nyawa usai menjalankan aksi biadabnya. Upaya meyakinkan masyarakat dan dunia internasional pun dilakukan oleh Budi Gunawan di lokasi kejadian.

Dihadapan awak media Budi menyatakan bahwa situasi di tempat kejadian perkara (TKP) sudah terkendali. Ia menegaskan, para terduga teroris telah dipastikan meninggal dunia dalam pertempuran di tengah kota itu.

Hal serupa juga dilakukan oleh Kepala BIN Sutiyoso. Bahkan ia membantah keras tudingan sejumlah pihak yang mengatakan bahwa BIN telah kecolongan dengan aksi penyerangan yang dilakukan oleh sejumlah orang yang diduga memiliki jaringan dengan ISIS itu. Sutiyoso menegaskan, bahwa intelejen negara atau pemerintah tidak kecolongan dengan aksi tersebut. Menurutnya, intelejen Negara sudah mencium dari sejak bulan Oktober 2015 lalu bahwa akan ada aksi penyerangan yang akan dilakukan oleh jaringan teroris di sejumlah titik pada akhir tahun, yaitu sekitar malam Natal dan malam pergantian tahun.

"BIN sudah menghimbau melalui Kominda dan Kominpus bahwa kemungkinan akan ada serangan teroris pada 9 Januari 2016, ternyata aksi teroris dilakukan pada 14 Januari," kata Sutiyoso di Kantornya, Jum’at (15/1).

Ia menambahkan, jika ingin penanganan terorisme lebih cepat dan aman, perlu dilakukan perbaikan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme (UU Terorisme). Sutiyoso pun mengusulkan, salah satu poin yang harus masuk dalam perbaikan UU Terorisme itu adalah perlu ada tambahan wewenang bagi BIN untuk menangkap dan menahan terduga teroris.

Sebagaimana diketahui, dalam UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara telah mengatur tugas dan kewenangan BIN sebagai lembaga yang hanya memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran. Terkait dengan penanganan masalah teroris, kata Sutiyoso, BIN terbentur dengan Pasal 34 UU Intelejen Negara yang telah menetapkan bahwa BIN tidak berwenang untuk menangkap atau menahan para terduga teroris di Indonesia.

KEMBALI KE MASA ORBA – Menanggapi keinginan ditambahnya kewenangan BIN dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS Makhfud Sidiq dengan tegas menolak usulan Sutiyoso itu. Ia mempertanyakan alasan BIN yang meminta agar pemerintah menambah kewenangan untuk menangkap terduga teroris. Menurutnya, kewenangan untuk menangkap seseorang adalah wewenang milik lembaga projusticia seperti aparat kepolisian dan kejaksaan. Sementara BIN atau intelejen bukanlah lembaga projusticia.

"Kalau saya melihat usulan itu belum ada urgensinya. Karena kewenangan lembaga intelejen negara sudah ada dan jelas," kata Makhfud Sidiq usai menghadiri sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/1).

Ia menambahkan, kalaupun BIN beralasan wewenang menangkap seseorang itu dalam rangka upaya percepatan penanganan kelompok terduga teroris, hal itu seharusnya bisa dikordinasikan dengan aparat penegak hukum lainnya, seperti kepolisian.

Sejauh ini, lanjutnya, tugas dan wewenang intelejen atau BIN adalah melakukan deteksi dini dalam menjaga stabilitas dan keutuhan NKRI. Ketika BIN memiliki data atau informasi awal terkait dengan tindak kejahatan yang dianggap mengancam stabilitas nasional, seharusnya BIN bekerja sama dengan aparat kepolisian untuk melakukan upaya penindakan yang lebih jauh lagi.

"Jadi penahanan itu tetap ada tetapi dilakukan oleh kepolisian hasil kerjasama atau kordinasi dengan aparat intelejen negara," ujarnya.

Ia pun kembali mempertanyakan alasan Kepala BIN Sutiyoso yang sempat melontarkan wacana agar dalam revisi UU Terorisme lembaganya juga memiliki kewenangan dalam penangkapan para terduga teroris yang diperkirakan masih menjamur di Indonesia.

"Saya tidak tahu apa alasan usulan baru ini, apa kendala kordinasi atau memang ada persoalan lainnya," tegasnya.

Lebih jauh ia katakan, indonesia pernah memiliki sejarah kelam terkait dengan pemberian wewenang untuk menangkap kepada intelejen atau lembaga intelejen negara. Ketika itu, sejumlah aktivis prodemokrasi yang mengkritisi pemerintahan Soeharto banyak yang ditangkapi, diculik, bahkan dihilangkan secara paksa oleh intelejen. Sejak kejadian itu, lanjutnya, pemerintah telah membagi-bagi tugas dan wewenang terhadap sejumlah aparatur keamanan negara, yang pada akhirnya saat ini kewenangan penangkapan terhadap seseorang hanya dimiliki oleh aparat kepolisian.

"Sejarah itu juga harus diperhatikan. Jangan sampai usulan ini membawa kita sideback ke masa lalu," paparnya.

PERLU REVISI - Kepala Diputi Bidang Penindakan dan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Arif Darmawan mengatakan Undang-Undang Terorisme Nomor 15 tahun 2003 (UU Terorisme) memang perlu dilakukan revisi. Menurutnya, revisi UU Terorisme itu tersebut harus lebih memperhatikan upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap para terduga teroris.

Ia menambahkan, UU Terorisme yang saat ini menjadi acuan dalam menangani tindak kejahatan teroris masih sebatas mengatur tentang unsur-unsur tindak pidana kejahatan teroris semata. Hal itu lanjutnya, hanya berkutit pada persoalan teknis pengadilan, seperti penangkapan, penahanan, dan penuntutan.

"Tapi tidak bicara setelah orang itu divonis, terus mau diapain mereka? Atau sebelum itu terjadi mau diapain orang-orang ini?" kata Arif Hidayat usai menghadiri sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat.

Lebih jauh ia katakan, cikal bakal lahirnya UU Terorisme tahun 2003 dapat dikatakan lahir dalam sebuah situasi keterpaksaan. Ketika itu bangsa Indonesia dikagetkan dengan peristiwa Bom Bali I sekitar tahun 2001, kemudian pemerintah merespon dengan mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang terorisme. Dan kemudian diundangkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003.

Sementara, lanjutnya, saat ini situasi global sudah berubah dibanding dengan situasi 13 tahun silam. Perubahan situasi global tersebut juga mempengaruhi perubahan modus operandi yang dilakukan oleh para kelompok jihadis. Tidak hanya itu, menurutnya, orientasi kelompok teroris saat ini juga sudah mengalami perubahan. Sehingga ia menilai sangat diperlukan perubahan UU Terorisme guna melakukan perbaikan dalam hal penanganan serta pencegahan bahaya terror yang bisa datang sewaktu-waktu.

"Aksi kemarin di Thamrin itu jauh berbeda kalau dibandingkan dengan gerakan yang dilakukan 13 tahun lalu. Dulu lebih matang, terencana dan lebih rapih. Kalau sekarang itu orientasinya, bosnya nanya doang, lo siap main gak? Kalau siap mainkan !" jelas Arief menggambarkan perubahan orientasi para terduga teroris generasi sekarang.

"Jadi memang sangat perlu dirubah undang-undangnya," tambahnya.

Ketika dimintai tanggapan terkait rencana revisi UU terorisme itu agar menambah kewenangan BIN untuk menangkap dan menahan para terduga teroris. Ia pun mengomentari sinis usulan tersebut. Menurutnya, jika harus ada perubahan undang-undang, perubahan tersebut harus lebih kepada upaya pencegahan dan penanganan para terduga teroris. Dengan demikian ia menegaskan ada yang lebih penting untuk dirubah dibandingkan wewenang penangkapan dan penahanan.

"Sebenarnya masing-masing sudah punya kewenangan. Saya tidak mau mengomentari usulan itu, kita serahkan kepada pemerintah saja usulan itu," katanya menegaskan.

Ia menambahkan, selama ini kordinasi antar lembaga seperti BNPT, Kepolisian, TNI, dan BIN dalam hal sharring informasi terkait upaya pencegahan dan penanganan kelompok teroris telah berjalan baik. Sehingga, jika usulan penambahan kewenangan bagi BIN dikatakan karena macetnya kordinasi antar lembaga yang menyebabkan lambatnya upaya penangkapan atau pun penahanan dalam penanganan teroris di Indonesia tidak dapat dibenarkan.

"Urusan nangkap menangkap itu kan sudah ada tugas dan wewenangnya itu kan urusan polisi, begitu tingkatannya makin tinggi polisi minta bantuan ke TNI, itu kan seperti itu. Setelah ditangkap, kepolisian menyerahkan kepada kejaksaan untuk penuntutan. Kita serahkan saja kepada yang sudah memiliki wewenangnya, tinggal kita optimalkan lagi untuk menutup kekurangan selama ini gitu aja," tutupnya. (Rifki Arsilan)

BACA JUGA: