JAKARTA - Hingga saat ini pemerintah masih mendata warga negara Indonesia (WNI) yang pernah bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), baik mereka yang dewasa maupun anak-anak. Pendataan tersebut mencakup siapa saja yang menjadi kombatan ISIS serta yang terpapar ISIS, namun telah keluar dan dengan penuh kesadaran ingin kembali ke Indonesia. 

Keputusan pemerintah sudah bulat: tidak akan memulangkan mantan anggota ISIS. Namun, anak-anak yang telah yatim piatu terbuka peluang untuk dipulangkan atas dasar kemanusiaan. "Asalkan mereka aman, tak lagi terpapar ideologi ISIS," kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Donny Gahral Adian kepada Gresnews.com, seusai acara diskusi bertajuk WNI Eks ISIS Dipulangkan atau Dilupakan? di Jakarta, Sabtu (7/3).

Kendati demikian, Donny mengungkapkan, pemerintah tetap mempertimbangkan keputusan memulangkan anak-anak itu, supaya tidak salah melangkah. Jangan sampai ketika sudah dipulangkan, menjadi suatu hal yang membahayakan di kemudian hari. "Itu (mempertimbangkan) yang saya kira sedang dilakukan pemerintah sekarang," kata doktor filsafat Universitas Indonesia (UI) itu.

Donny mengakui, kendati masih anak-anak, tidak menutup kemungkinan mereka juga telah terpapar ideologi radikal, karena terpengaruh oleh orang tuanya. Mereka bisa menjadi bibit yang membahayakan negara di kemudian hari.

"Jadi (pertimbangan) kemanusiaan, iya. Tetapi juga kewaspadaan, iya. Keamanan itu menjadi satu hal yang penting juga untuk kita perhatikan. Jadi kita harus melihat banyak sisi," ujar penulis buku Muhammad Iqbal (2003) itu.

Lebih lanjut Donny mengatakan, untuk penanganan anak-anak eks anggota ISIS akan diserahkan kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT menjadi leading sector dari semua bidang tersebut lantaran memiliki informasi yang akurat. Hasil pendataan yang dilakukan oleh pemerintah juga sangat penting untuk mencegah agar tidak ada mantan anggota ISIS yang masuk ke Indonesia secara ilegal.

"Jadi data itu menjadi sangat penting. Untuk apa? Untuk memetakan jaringan mereka. Siapa tahu mereka punya jaringan dalam negeri, di mana mereka terus berkomunikasi dan akhirnya bisa memicu sebuah aksi atau tindakan yang membahayakan keselamatan kita," tuturnya.

Sementara itu, Aris Amir Falah, mantan narapidana terorisme dan penulis buku Hijrah dari Radikal ke Moderat mengatakan, WNI yang menjadi anggota ISIS dan berangkat ke Suriah karena alasan ideologi memang tidak boleh dipulangkan. Namun, ada di antara mereka yang hanya menjadi korban. Mereka berangkat ke Suriah karena terpengaruh. Itu yang harus diselamatkan.

"Mereka berangkat bukan karena terpapar tapi karena pengaruh-pengaruh. Itulah yang harus diperhatikan. Dipulangkan kemudian dipulihkan di Indonesia," kata Aris kepada Gresnews.com. Jadi, kata Haris, bukan hanya anak-anak yang perlu diselamatkan melainkan orang-orang yang menjadi korban itu juga harus diselamatkan juga.

Masalahnya, dia mengakui, akan menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk memilah dan memverifikasi mana orang yang terpapar dan tidak. Pemerintah disarankan membentuk tim khusus untuk itu.

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan pemerintah telah menjadikan rencana pemulangan anak yatim piatu WNI eks ISIS sebagai kebijakan resmi. "Anak-anak di bawah 10 tahun yang yatim piatu itu akan dipulangkan, itu kebijakannya sudah resmi," ujar Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (24/2/2020).

Sejauh ini identitas anak-anak yang akan dipulangkan belum bisa diumumkan.

(G-2)

BACA JUGA: