JAKARTA - Pemerintah harus berhati-hati dalam menanggapi persoalan Warga Negara Indonesia (WNI) yang pernah menjadi anggota kelompok ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah). Tindakan pencekalan dan pencabutan kewarganegaraan merupakan tindakan yang problematis karena bertentangan dengan beberapa ketentuan perundang-undangan di Indonesia.

Pemerintah harus mengkaji, mengklasifikasi, menelusuri rekam jejak masing-masing orang dan kebijakan yang diambil pun sifatnya tidak bisa digeneralisir. Dalam simpatisan tersebut terdapat perempuan dan anak-anak yang umumnya hanya korban, baik korban propaganda ISIS maupun korban relasi kuasa yang timpang di dalam keluarga.

Presiden Joko Widodo telah memutuskan tidak memulangkan kembali (repatriasi) WNI yang pernah menjadi anggota kelompok ISIS atau FTF (Foreign Terrorist Fighter). Bahkan pemerintah juga menyatakan telah mencabut status kewarganegaraan mereka dan melakukan tindakan cegah dan tangkal (cekal) sehingga tidak dapat kembali ke Indonesia.

Peneliti ICJR Ari Pramuditya menjelaskan tak masalah pemerintah tidak memulangkan kembali mereka. "Namun yang tak ada dasar hukumnya bila melarang WNI ini pulang ke Indonesia, mereka masih warga negara Indonesia," katanya kepada Gresnews.com, Rabu (12/2).

Menurutnya, tindakan sejumlah WNI eks ISIS yang melakukan perobekan paspor Indonesia tidak dapat serta merta diartikan bahwa mereka telah mencabut kewarganegaraannya. Dalam kerangka hukum Indonesia, pencabutan kewarganegaraan diatur dalam UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan dan Peraturan Presiden 2/2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia (Perpres 2/2007). Dalam UU 12/2006 dan Perpres 2/2007 disebutkan kondisi di mana seorang WNI dapat kehilangan kewarganegaraannya, yaitu masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden dan secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada atau bagian dari negara asing tersebut.

Permasalahan yang harus diperhatikan adalah terkait status dari ISIS sebagai tentara asing atau negara asing. Merujuk pada Konvensi Montevideo Tahun 1933, syarat berdirinya sebuah negara adalah: 1) populasi permanen; 2) wilayah yang tetap; 3) pemerintahan dengan kendali yang efektif; dan 4) kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Hingga saat ini tidak ada satu negara pun di dunia yang bersedia menjalin hubungan diplomatik resmi dengan ISIS. Sehingga, pilihan untuk mencabut kewarganegaraan sebagai hukuman terhadap WNI eks ISIS dikhawatirkan justru memberikan legitimasi bagi keberadaan ISIS itu sendiri sebagai sebuah entitas politik. 

Tidak hanya itu, dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 juga telah menjamin hak seseorang atas status kewarganegaraan sebagai salah satu hak asasi manusia. Dalam Pasal 15 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang mana Indonesia juga merupakan negara pihak, juga telah disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak atas kewarganegaraan. Selain itu, Pasal 24 ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik juga mengatur bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh kewarganegaraan, sehingga pencabutan kewarganegaraan bukanlah suatu pilihan yang bijak untuk dilakukan oleh pemerintah. 

Menurutnya, pemerintah juga tidak dapat melakukan pencekalan atau pelarangan terhadap WNI eks ISIS yang ingin kembali ke Indonesia, karena dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan bahwa setiap WNI tidak dapat ditolak masuk wilayah Indonesia. Pasal 27 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan bahwa warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tidak ada dasar hukum untuk melarang WNI kembali ke Indonesia. 

"Mereka dipersilakan pulang dengan catatan harus diadili," katanya. Ia menjelaskan pemerintah sebenarnya memiliki opsi terhadap WNI eks ISIS yang ingin kembali ke Indonesia, yaitu diadili secara hukum. Tindakan yang dilakukan oleh ISIS telah ditetapkan sebagai tindakan terorisme oleh Dewan Keamanan PBB. Presiden Dewan Keamanan PBB telah menyatakan bahwa Dewan Keamanan sangat mengutuk tindakan terorisme, termasuk oleh organisasi teroris yang beroperasi dengan nama ISIS di Irak, Suriah, dan Lebanon.

Dalam Pasal 6 UU 5/2018 tentang Perubahan Atas UU 15/2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme), disebutkan bahwa intinya setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati. 

Para WNI eks ISIS tersebut dapat dijerat dengan hukum Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Terorisme dan. Pasal 3 UU Terorisme menyebutkan bahwa peraturan ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia dan/atau negara lain yang juga mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut.

Opsi pasal lainnya yang dapat dikenakan terhadap WNI eks ISIS adalah perbuatan makar terhadap negara sahabat, dalam hal ini di negara Suriah, yaitu Pasal 139b KUHP. Berdasarkan asas nasional aktif pada Pasal 5 ayat (2) KUHP, ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana. Sehingga kesimpulannya meskipun perbuatan tersebut dilakukan di luar wilayah Indonesia, tindakan yang dilakukan oleh WNI eks ISIS tetap dapat diadili dengan hukum Indonesia.

(G-2)

 

BACA JUGA: