JAKARTA - Rencana pemerintah untuk memulangkan 600 warga negara Indonesia (WNI) mantan pengikut ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) ke Indonesia menjadi perbincangan hangat. Dari ketakutan akan menularnya paham dan ideologi ISIS, persoalan perlu tidaknya memulangkan mereka, hingga penanganan dan mekanisme pemulangannya menjadi diskusi publik.

Pengamat Timur Tengah dan Terorisme Muhammad Syauqillah menegaskan pentingnya penegakan hukum dalam rencana pemulangan WNI mantan pengikut ISIS tersebut agar tidak menambah masalah di masa depan. "Jadi dari 600 orang itu jelas status hukumnya. Itu yang harus dipersiapkan dari sisi menolak atau menerima. Instrumen hukumnya harus juga dilaksanakan. Selain tadi ada isu-isu yang bertentangan dengan kondisi eksternal kita. Seperti yang ada di Irak, di Suriah. Kembalikan tahanan itu ke Indonesia," kata Syauqi kepada Gresnews.com usai sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (12/2).

Menurutnya, bila berlandaskan pada hukum maka yang dilakukan pemerintah lebih jelas dan terukur. Apakah 600 orang ini harus menjalani masa tahanan lebih dulu, atau bisa saja bebas bersyarat. Yang jelas ketika mereka kembali maka data-data mereka seperti siapa saja, tinggal di mana, namanya siapa, kembali tercatat dalam dokumen negara.

Syauqi menjelaskan salah satu proses hukum, misalnya, dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme. "Jadi ada proses penegakan hukum. Kalau Mas Febri (simpatisan ISIS) itu dia pulangnya sebelum undang-undang itu disahkan. Ada kekosongan hukum yang mengatur tentang simpatisan seperti Mas Febri. Kalau 2018 ke sini maka berlaku undang-undang terorisme, dan ketika dia datang ke ISIS itu bisa dipidana," katanya.

Dia melanjutkan isu kepulangan mantan pengikut ISIS memang berkaitan dengan persoalan keamanan. Namun, sejauh ini, pemerintah melalui Densus 88 dan aparat penegak hukum mampu mereduksi gerakan mereka. "Walaupun ada serangan-serangan kecil, saya pikir dalam konteks serangan teror di Indonesia hari ini bukan organisasi. Kecil-kecil dan tidak terorganisasi dari satu jaringan ke jaringan yang lainnya," kata Syauqi.

Namun ia mengingatkan agar masyarakat tetap waspada terhadap risiko ISIS karena ada peristiwa seperti pengeboman Gereja Jolo, Filipina. Lalu ada rencana penyerangan polisi yang akhirnya tewas di Jati Luhur oleh JAD. "Jadi memang ada potensi, risiko memang ada. Tapi potensi risiko memang ada," kata Syauqi.

Ia melanjutkan kewaspadaan diperlukan lantaran sulit menilai seseorang yang telah mengikuti ideologi ISISI apakah telah meninggalkan sikap radikalnya. Tak ada alat ukur yang bisa digunakan sehingga para mantan ISIS sudah bisa dikatakan moderat. "Karena yang tadi saya sempat sampaikan, Jolo itu dibilang sudah baik. Tapi ternyata melakukan aksi bom bunuh diri. Nah parameter ini yang memang perlu dilihat kembali.

(G-2)

BACA JUGA: