JAKARTA - Rencana pemulangan warga eks-ISIS ke Indonesia sedang menjadi polemik. Opini publik cenderung khawatir, bahkan menolak, pemulangan warga Indonesia eks-ISIS terkait dengan potensi ancaman radikalisme bahkan idelogi ekstremisme kekerasan yang akan ditularkan mereka ke dalam negeri. Sedangkan pemerintah belum satu sikap. Menteri Agama cenderung menginginkan pemulangan, sementara Menkopolhukkam dan Presiden sejauh ini cenderung menahan diri dan buying time dalam isu tersebut.

SETARA Institute mendorong pemerintah bertindak tegas untuk memulangkan mereka. Terlepas dari status kewarganegaraan 600 WNI yang sempat tergabung dalam kelompok teroris tersebut. Pemerintah Indonesia harus realistis bahwa pada akhirnya, mau tidak mau, Indonesia harus mengambil tanggung jawab terhadap orang-orang asal Indonesia yang pernah menjadi anggota dan simpatisan ISIS.

"Kita pada saatnya tidak bisa menolak keberadaan dan kembalinya mereka ke Indonesia. Alasan bahwa sebagian mereka telah membuang paspor dan menyatakan bukan warga Indonesia serta pernah bertempur menjadi tentara asing pada saatnya tidak akan relevan. Isu kemanusiaan dan statelessness akan menjadi concern utama dunia internasional. Apalagi ISIS—meskipun pada masa kejayaannya memiliki struktur dan teritori seperti negara—tidak pernah diakui oleh entitas internasional mana pun sebagai negara," kata Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Senin (10/2).

Menurutnya, tindakan yang cukup mendesak untuk diambil adalah pemulangan anak-anak Indonesia, terutama yang berada di bawah usia 9 tahun. Semakin lama anak-anak itu tinggal di kamp tahanan, atmosfer yang buruk di kamp akan berdampak pada mereka, baik secara fisik maupun psikis. Semakin lama mereka di sana, justru akan semakin terpapar oleh paham ekstrem ISIS dan dampak buruk situasi ekstrem di sana.

Apalagi dari sejumlah pemberitaan internasional, para perempuan yang masih keras ideologisnya berusaha mempertahankan pengaruhnya dan menekan perempuan lainnya yang berusaha moderat untuk tetap bertahan pada paham keagamaan dan politik ekstremnya. Sejalan dengan pemulangan anak-anak tersebut, dibutuhkan identifikasi keluarga besar mereka serta perancangan peran mereka dan para ahli rehabilitasi medis dan psikologis.

SETARA Institute meminta Pemerintah Indonesia untuk merancang dan mengambil kebijakan komprehensif yang presisi sehubungan dengan keberadaan sejumlah anggota dan simpatisan ISIS asal Indonesia yang berada di kamp tahanan di Suriah di bawah otoritas Kurdi. Kekhawatiran publik di dalam negeri sangat beralasan, oleh karena itu, kehati-hatian memang diperlukan sebab menyangkut keamanan nasional.

"Ketergesa-gesaan dalam masalah ini jelas merupakan pendekatan yang tidak tepat, apalagi disinyalir beberapa di antara mereka adalah eks-kombatan yang pernah bertempur sebagai tentara ISIS dan secara ideologis berwatak keras," katanya.

Namun demikian, meskipun sejauh ini belum ada kesepakatan internasional mengenai bagaimana memperlakukan eks-anggota dan simpatisan ISIS, pemerintah harus realistis dan, cepat atau lambat, mesti mengambil sikap. Oleh karena itu, Pemerintah harus segera menyusun rencana kontingensi (contingency plan) dan strategi yang menyeluruh mengenai keberadaan eks-anggota dan simpatan ISIS asal Indonesia. (G-2)

BACA JUGA: