Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan mengadili perkara judicial review peraturan di bawah UU. Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sidangnya terbuka, MA memilih sidang yang tertutup dan tidak mendengar kesaksian para pihak.

"Perkara di MA itu semakin meningkat. Diperkirakan 19 ribu tahun ini. Bagaimana bisa sidang terbuka? Kalau itu dilakukan terbuka saya nggak tahu deh mau bagaimana," kata Hatta Ali setelah menghadiri ulang tahun Komisi Yudisial (KY) di gedung KY, Rabu (23/8/2017).

Berdasarkan data perkara MA, lembaga itu menerima 100-an perkara judicial review per tahun. Hal itu jauh di bawah MK, yang mengadili judicial review hampir 200 perkara per tahun.

"Nggaklah, itu hal yang mustahil, melihat jumlah perkaranya," Hatta Ali menegaskan.

Sebelumnya, Setara Institute meminta MA seharusnya mencontoh sidang judicial review MK yang terbuka untuk umum. Dengan sidang terbuka, para pihak serta pihak terkait bisa memaparkan argumen dan dilihat langsung masyarakat luas.

"MA punya alasannya sendiri dengan doktrin-doktrinnya sendiri sehingga sering kali makna (sidang) terbuka, peradilan terbuka, itu hanya dia maknai ketika bersidang pintunya dibuka. Itu artinya apa? Orang yang bisa lewat itu sebetulnya dia bisa mengakses. Padahal yang kita dorong adalah ada keterbukaan, ada kontestasi gagasan di mana semua orang bisa mengontrol," ungkap Direktur Setara Institute Ismail Hasani  pada 20 Agustus 2017.

"Jadi kondisi di MA itu saya bisa pastikan--sekalipun tidak ada kasus maksud saya--dalam proses judicial review itu jauh lebih buruk dibanding MK," kata Ismail. (dtc/mfb)

BACA JUGA: