JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama Polda Jawa Barat (Polda Jabar) menangkap buronan kasus pembobolan Bank Mandiri senilai Rp120 miliar, Yosef Tjahjadjaja. Ia yang menjadi buron selama 15 tahun itu diciduk saat sedang menjalani perawatan karantina karena diduga terpapar Covid-19, di salah satu Rumah Sakit (RS) Jakarta Timur.

Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir menyebut terjadinya pembobolan bank akibat lemahnya sistem pengawasan dan terjadinya penyalahgunaan wewenang.

"Jadi sesungguhnya pembobolan bank itu sangat ditentukan oleh manajemen," kata Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, kepada Gresnews.com, Rabu (14/7/2021).

Menurut Mudzakkir, yang dimaksud manajemen itu termasuk manajemen pengawasan.

"Kalau ngawasi ke lapangan, mengetes, ngecek dari objek benda yang sedang jaminan, dia nggak sampai ke lapangan, cukup sampai di jalan aja udah selesai, tanda tangan. Jadi begitu dilihat, ternyata obyek jaminan itu, lah bodong. Itu mesti ada kekeliruan atau kesalahan atau penyalahgunaan wewenang dari pihak pengawas," jelasnya.

Mudzakkir mengatakan bahwa pengawas yang dimaksud itu adalah level manajer. Termasuk juga komisaris sebagai pengawas tertinggi yang membuat desain pengawasan di internal manajemen bank.

"Komisaris itu tidak nongkrong aja untuk memperoleh uang. Jadi pada umumnya komisaris yang hari-hari ini saya ketahui ini nggak punya kemampuan manajemen untuk melakukan pengawasan kontrol dan sebagainya, itu diangkat sebagai komisaris," ujarnya.

Dalam analoginya, Mudzakkir mengatakan misalnya komisaris itu seorang ustaz atau komisaris itu seorang penyanyi atau komisaris itu seorang akademisi, rektor. Seharusnya yang sesuai dengan latar belakang perusahaan yang diawasinya.

Mudzakir menilai, seharusnya sistem pemilihan komisaris yang bertugas sebagai Dewan pengawas itu diubah. Jangan karena rasa terimakasih karena telah berkontribusi dalam pemilihan dukungan pemilihan presiden (Pilpres) lalu dipilih menjadi komisaris.

"Jadi menurut saya itu yang nggak bagus, itu yang potensi didalam sistem management corporate itu jadi enggak sehat. Mestinya diangkat, angkat kalangan profesional yang punya reputasi yang bagus," ucapnya.

Kemudian, Mudzakkir, terkait siapa yang harus bertanggung jawab atas masalah pembobolan Bank ini, yang pertama harus dari pihak internal bank itu sendiri, mulai dari manajemen bank. Jadi itu yang pertama yang harus disasar. Kedua, rekanan bisnis atau nasabah.

Menurutnya, hal itu sesuai aturan hukum dan proses hukum bahwa mereka harus mempertanggungjawaban secara hukum korporasi dan hukum perbankan.

Mereka itulah yang harus bertanggung jawab terhadap pembobolan bank yang terjadi dan kalau itu masuk ke tindak pidana perbankan maka diselesaikan berdasarkan hukum perbankan.

"Yang kedua kalau diselesaikan berdasarkan hukum perbankan, nampak jelas itu proses-proses pencairan dana dan sebagainya. Kalau kredit, pencairan kredit dan sebagainya, hak tanggungan dan sebagainya itu ada mengalir jelas sekali dan dia atribusi tanggung jawabnya pada siapa. Jadi kalau dengan pendekatan hukum perbankan itu clear," terangnya.

Namun, Mudzakkir mengatakan, kalau hal itu di selesaikan dengan pendekatan Hukum Tipikor maka dia akan menjadi masalah. Karena biasanya kalau hukum perbankan itu yang memeriksa adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan OJK lebih mengerti bagian hukum perbankan itu.

"Tapi kalau begitu masuk ranahnya adalah dari korupsi itu, mereka penyidik-penyidik itu nggak paham tentang hukum perbankan dan juga manajemen tentang jasa keuangan dalam perbankan seperti apa dan seterusnya, itu prosesnya menjadi kurang bagus," ungkapnya.

Sementara itu Research Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah menjelaskan kejahatan pembobolan bank itu dilakukan tidak secara sistematis dan hanya bersifat individu.

"Sehingga tidak akan menurunkan iklim investasi di indonesia," kata Piter kepada Gresnews.com, Rabu (14/7/2021).

Menurut Piter, investasi perbankan kedepannya tidak akan runtuh atas persoalan tersebut karena banyak investor yang masih menginginkan berinvestasi di perbankan Indonesia.

"Investasi dibidang perbankan di Indonesia masih sangat menarik," tukasnya.

Kronologi Kasus

Sebelumnya, Kejagung RI telah berhasil menangkap Yosef Tjahjadjaja, buron kasus Korupsi Pembobolan Bank Mandiri Cabang Mampang Prapatan-Jakarta yang menyebabkan kerugian Keuangan Negara mencapai Rp120 miliar.

Tim Intelijen Kejaksaan Agung RI bersama Tim Dirkrimum Polda Jawa Barat sertaTim Intelijen Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, berhasil mengamankan Yosef yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Bermula terpidana Yosef Tjahjadjaja diminta untuk mencarikan dana (arranger) untuk ditempatkan di Bank Mandiri Cabang Mampang Prapatan.

Akhirnya, Yosef berhasil menempatkan deposito Rp 200 miliar dari PT Jamsostek di bank tersebut dan meminta imbalan kepada pihak bank atas bantuannya itu.

Yosef bersama-sama dengan Agus Budi Santoso dari PT Rifan Financindo Sekuritas meminta imbalan fasilitas dana untuk mengucurkan kredit kepada Alexander J. Parengkuan dkk dari PT Dwinogo Manunggaling Roso dengan cara deposito PT Jamsostek yang telah ditempatkan di bank tersebut.

Hal itu dijadikan jaminan kredit oleh Yosef atas bantuan Kepala Cabang Bank Mandiri Cabang Mampang Prapatan, terpidana Charto Sunardi yang telah diputus bersalah dan dihukum dengan pidana penjara divonis 15 tahun.

Kucuran kredit yang dibagi menjadi 10 bilyet giro, dikucurkan kepada Alexander dkk, selaku direktur PT Dwinogo Manunggaling Roso, dimana awalnya dana tersebut akan digunakan oleh dirinya untuk membangun rumah sakit jantung, namun ternyata dana tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi Alexander dkk.

Atas bantuan pengucuran kredit tersebut, Yosef Terpidana mendapat imbalan uang sebanyak Rp 6,4 miliar dan perusahaannya PT Rifan Financindo Sekuritas mendapatkan fee sebesar 7,5 % dari jumlah kredit yang dikucurkan.

Akibat dari pencairan kredit yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku pada waktu itu menyebabkan kerugian negara dan menguntungkan diri sendiri dan orang lain.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2662 K/Pid/2006 tanggal 01 Nop 2006, jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor : 17/Pid/2006/PT.DKI tanggal 17 Mei 2006, jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 59/Pid.B/2004/PN.JKT.PST tanggal 26 Juli 2004.

Yosef dinyatakan terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi melanggar pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. dan dijatuhi hukuman pidana dengan pidana penjara selama 11 tahun.

Tertangkap

Akhirnya pelarian Yosef berakhir berkat tim gabungan Intelijen Kejaksaan Agung, Tim Dirkrimum Polda Jawa Barat dan Tim Intelijen Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat di sebuah Rumah Sakit di kawasan Pondok Bambu Jakarta Timur sekitar pukul 13.50 WIB.

Karena sebelumnya, Polda Jawa Barat menerima Laporan polisi tentang Tindak Pidana Penipuan yang diduga dilakukan oleh Yosef bersama 2 orang pelaku lainnya yang sudah berhasil ditangkap oleh Penyidik Dirkrimum Polda Jawa Barat terlebih dahulu.

Untuk mengelabui Penyidik Polda Jawa Barat dan menghilangkan jejak dari DPO Kejaksaan, Yosef diduga telah memalsukan identitas dengan Kartu Tanda Pendudukan atas nama Yosef Tanujaya.

Setelah Penyidik Polda Jawa Barat berkoordinasi dengan Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung, ternyata benar orang yang diduga pelaku tindak pidana penipuan tersebut merupakan buronan yang masuk dalam DPO Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Kemudian Yosef ditempatkan di Rumah Sakit Umum (RSU) Adhyaksa Ceger Jakarta Timur untuk menjalani masa perawatan karantina karena sebelumnya Terpidana diduga terpapar Covid – 19 dan dirawat selama 10 hari di RS tersebut sebelum ditangkap atau diamankan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Swab Antigen terakhir pada hari ini Yosef sudah dinyatakan negatif Covid – 19. (G-2)

BACA JUGA: