JAKARTA - Praktisi hukum Ulung Purnama mengingatkan sejumlah pihak agar hati-hati menggunakan istilah mafia hukum, terutama dalam kasus-kasus sengketa lahan yang telah masuk dalam proses hukum.

Menurut Ulung, yang juga pengajar hukum pada STKIP Kusuma Negara ini, istilah mafia tanah dalam sengketa tanah harus dicermati secara fair dan diletakkan dalam konteks hukum.

Sengketa tanah, seperti yang telah bergulir melalui persidangan, bahkan telah berkekuatan hukum tetap, tidak bisa langsung dianggap sebagai adanya permainan mafia tanah.

"Justru harus diletakkan sebagai bagian dari kepastian hukum dan keadilan berdasarkan hukum. Karena lewat peradilanlah setiap pihak dianggap sama kedudukannya sehingga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam membuktikan kepemilikan hak atas tanah," katanya dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Jumat (5/3).

Menanggapi banyaknya pengembang yang memiliki lahan yang luas untuk dibangun pengembangan kawasan pemukiman, sentra bisnis, kawasan terpadu, menurutnya, hal itu bukanlah barang baru.

Hal itu banyak terjadi apalagi di sekitar Jabodetabek. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Bekasi yang memiliki sentra pengembangan wilayah yang luas pemukiman, industri dan pusat-pusat bisnis.

"Justru itu baik bagi kemajuan wilayah dan masyarakat. Terlihat dari kenaikan UMK dan juga pendidikan masyarakatnya," kata Ulung yang juga Ketua Forum Advokat Bekasi tersebut.

Sejumlah sengketa pertanahan mencuat beberapa waktu belakangan ini. Salah satunya seperti yang terjadi di Kabupaten Tangerang, Banten, berkaitan dengan kepemilikan 400 hektare lahan oleh PT Bangun Laksana Persada (BLP) yang bergerak di bidang properti di Kecamatan Pakuhaji dan 70 hektare lahan oleh PT Tanjung Unggul Mandiri (TUM) yang bergerak di bidang peternakan sapi.

Pada awal Maret 2021, DPRD Kabupaten Tangerang telah melakukan konfirmasi terhadap para pihak. Perwakilan perusahaan hadir dan memberikan penjelasan mengenai perizinan, perolehan tanah, dan rencana pengembangan lahan sesuai legalitas yang sah.

Sengketa lainnya adalah di Desa Salembaran Jaya, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang. Tonny Permana, yang mengklaim sebagai pemilik tanah, mempermasalahkan dugaan penyerobotan tanah miliknya oleh salah satu pengembang hunian.

Direktur Eksekutif Lokataru (sebuah kantor hukum dan HAM) Haris Azhar mempersoalkan adanya Sertifikat Hak Milik (SHM) lahan seluas 500 hektare dan 200 hektare atas nama Vreddy dan Hendry yang diduga melanggar Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian.

Haris Azhar, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), itu pun menuding adanya permainan mafia tanah dalam sengketa itu.

Berdasarkan penelusuran dokumen terdapat putusan Peninjauan Kembali (PK) nomor 10 PK/TUN/2020 dengan para pihak Ahmad AlGhozali sebagai pemohon PK dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang sebagai Termohon PK I dan Tonny Permana sebagai Termohon PK II yang memutuskan, mengadili:

1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan batal sertifikat hak milik nomor 2503/Desa Salembaran Jaya, diterbitkan tanggal 21 Januari 1997, gambar situsi nomor 23089, tanggal 23 Agustus 1996, seluas 20.110m2 atas nama Tonny Permana;

3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut sertifikat hak milik nomor 2503/Desa Salembaran Jaya, diterbitkan tanggal 21 Januari 1997, gambar situsi nomor 23089, tanggal 23 Agustus 1996, seluas 20.110m2 atas nama Tonny Permana;

4. Menghukum Termohon Peninjauan Kembali I dan Termohon Peninjaun Kembali II membayar biaya perkara pada semua tingkat pengadilan, yang pada Peninjauan Kembali ditetapkan sejumlah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah. (G-2)

BACA JUGA: