JAKARTA, GRESNEWS.COM  Pemerintah memutuskan untuk maju ke badan arbitrase internasional untuk menuntaskan pengambilalihan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dari konsorsium Nippon Asahan Alumunium (NAA) Jepang. Namun langkah itu tidak menggugurkan hak Indonesia untuk mengelola Inalum.

"Tadi kami melapor kepada Presiden terkait tugas yang diberikan, yaitu berunding mengakhiri kerja sama Inalum dengan pihak Jepang yang diwakili oleh Nippon Asahan Aluminium (NAA) yang memiliki saham 58 persen dan Indonesia 41 persen," kata Menteri Perindustrian MS Hidayat, usai bertemu Presiden Susilo Bambang di Kantor Presiden, Jumat (1/11) siang.

Sesuai dengan Master Agreement (MA) kerja sama Indonesia dengan NAA berakhir pada 31 Oktober 2013, kemudian diikuti oleh penyerahan aset-aset PT Inalum kepada pemerintah Indonesia. Selanjutnya pihak Indonesia membayar kompensasi sesuai dengan MA.

Namun, nilai pengalihan saham seratus persen tersebut masih belum dapat dipastikan karena menunggu hasil audit. "Tadinya disepakati melalui pengalihan saham yang besarannya US$ 588 juta," kata MS Hidayat seperti dikutip dari situs presidenri.go.id.

Nilai tersebut setara Rp 6,14 triliun (kurs Rp 10.000 per US$) merupakan penawaran final dari NAA pada pemerintah Indonesia. Sedangkan pemerintah Indonesia berkeras bahwa US$ 558 juta itu merupakan penawaran sementara. Mengingat harga riil dari Inalum bisa di bawah itu.

"Jadi, kami sepakat prosedur penyelesaian pembayarannya melalui arbitrase sesuai ketentuan yang ada," kata Hidayat.

Sekedar tahu PT Inalum adalah industri peleburan aluminium dengan pabriknya yang berlokasi di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Perusahaan ini merupakan patungan (joint venture) antara Pemerintah RI dan Jepang. Pabrik yang didukung ketersediaan aset dan infrastruktur, di antaranya pembangkit listrik tenaga air (PLTA), ini mampu melakukan peleburan aluminium berkapasitas 230.000-240.000 ton per tahun.

Perusahaan ini sebelumnya dikelola NAA dengan komposisi saham Pemerintah RI menguasai 41,13 persen dan Jepang 58,87 persen. Konsorsium NAA sendiri beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang mewakili pemerintah Jepang 50 persen, dan sisanya 12 persen perusahaan swasta Jepang.

Berdasarkan perjanjian RI-Jepang, pada 7 Juli 1975, kontrak kerja sama pengelolaan Inalum berakhir pada 31 Oktober 2013. Pemerintah RI akhirnya membeli seluruh saham Inalum yang dimiliki Jepang.

Dalam proses pengambilalihan inilah terjadi tiga perbedaan, yakni soal pengakuan atas revaluasi, beda tafsir formulasi harga penjualan, dan persepsi rescheduling loan.

Sembari menyelesaikan itu, Hidayat menegaskan bahwa status Inalum sudah berubah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Tidak lama lagi ada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), direksi Inalum diisi oleh orang Indonesia," kata Hidayat.

(GN-04)

BACA JUGA: