JAKARTA - Pada masa kampanye, pasangan Joko Widodo–Jusuf Kalla memiliki komitmen terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) melalui visi dan misi untuk memuat materi HAM dalam pendidikan dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu jika ia terpilih menjadi presiden. Pada masa awal terpilih ketika Peringatan Hari HAM se-Dunia 2014 di Istana Kepresidenan Yogyakarta, Presiden menegaskan kembali pelaksanaan HAM melalui penegakan hukum, penjaminan hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta pencegahan terulangnya pelanggaran HAM di masa datang.

Namun, komitmen tersebut tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan pelaksanaannya. Kini, Joko Widodo kembali menduduki kursi kepresidenan yang memiliki tanggung jawab untuk kembali memimpin penegakan HAM oleh negara. Untuk itu, SETARA Institute memandang penting bagi pemerintah agar menilik kinerja penegakan HAM di periode sebelumnya untuk memajukan penegakan HAM pada periode ini.

Peneliti HAM dan Perdamaian SETARA Institute Selma Theofany menjelaskan adanya peningkatan skor kinerja HAM pada pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, ada sejumlah catatan buruk untuk kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.

SETARA memberikan skor untuk masing-masing indikator tersebut dalam rentang skala 1-7. Pada 2015, saat memulai kerja pertama, Jokowi mencatat kinerja HAM pada angka 2,45 dan membukukan capaian di 2019 pada angka 3,2. Jika merujuk pada total skor dari 11 indikator yang digunakan, tampak bahwa kinerja pemerintah dalam pemajuan HAM meningkat 7,6 poin.

Theo menjelaskan terdapat 11 indikator penilaian yang berbasis skala yaitu bagaimana menghitung persepsi dari kinerja kemajuan HAM saat Presiden Joko Widodo berkuasa. Penilaian tersebut berasal dari narasi yang disusun melalui data, dokumen pemerintah maupun lembaga non pemerintah dan pertemuan ahli.

"Rezim HAM ada dua jenis hak yaitu hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya, meskipun terbagi tapi tidak terpisahkan karena karakter hak tersebut tidak bisa dipisahkan," kata Theo kepada Gresnews.com seusai diskusi di Jakarta, Selasa (10/12).

Ia menjelaskan penanganan HAM era Presiden Jokowi sudah mulai ada inisiatif, akan tetapi dalam eksekusi masih belum optimal. Salah satu contoh pada sektor koridor hukum yaitu kasus Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan (KBB). Sering adanya penyerangan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Dalam periode kedua ini memang masih terlalu awal, akan tetapi ada semacam warning yaitu soal radikalisme yang berpotensi melanggar warga sipil dengan adanya 11 SK menteri yang membatasi pergerakan hak sipil. "Ada perkembangan narasi keterancaman atau penguatan radikalisme yang dijadikan justifikasi tindakan eksesif pemerintah dan oknum masyarakat," imbuhnya.

Insiden pelanggaran kebebasan beragama terjadi dengan adanya penguatan radikalisme dan ekstremisme yang diikuti dengan kekerasan. Pemerintah daerah, kepolisian, institusi pendidikan, Satpol PP, dan pengadilan menjadi aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran sepanjang 2015-2018.

Sementara untuk aktor non-negara tertinggi di antaranya kelompok warga, ormas keagamaan, MUI, FPI, dan individu. Pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dilatarbelakangi oleh politisasi SARA yang meningkatkan antagonisme antarmasyarakat, regulasi diskriminatif dan tidak berparadigma KBB. (G-2)

 

 

BACA JUGA: