JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapatkan rapor merah dalam hal reformasi sektor keamanan pada periode kedua pemerintahannya. Ada stagnasi dalam reformasi sektor keamanan. Jokowi masih belum menunjukkan kepemimpinan yang efektif dalam menuntaskan agenda reformasi sektor keamanan.

Peneliti HAM SETARA Institute Ikhsan Yosarie mengatakan sebenarnya, baik pada periode pertama maupun kedua, kepemimpinan Jokowi belum menunjukkan adanya perubahan. Jokowi seharusnya berbenah dan kembali mengevaluasi agenda pemerintahannya terkait reformasi militer.

"Realitas yang terjadi justru memperlihatkan hal sebaliknya," kata Ikhsan dalam sebuah keterangan yang diterima Gresnews.com, Senin (5/10/2020).

Selama ini ada empat fokus mandat reformasi TNI yang menjadi perhatian SETARA Institute.

Pertama, penghormatan terhadap HAM dan supremasi sipil.

Kedua, kepatuhan terhadap kebijakan dan keputusan politik negara.

Ketiga, kedisiplinan terhadap operasi militer selain perang (OMSP).

Keempat, larangan menduduki jabatan sipil.

Menurutnya janji penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang diduga melibatkan anggota TNI, semakin tidak jelas. Ia menilai. tidak ada langkah signifikan terkait janji penuntasan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu sebagaimana termaktub dalam Nawacita Jilid I Jokowi.

Ia menjelaskan realitas hari ini justru terjadi penguatan narasi bahwa kasus Semanggi I dan II, sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, bukanlah kasus kejahatan serius yang bisa diadili dengan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Ismail Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Institute, melanjutkan, penguatan narasi yang kurang kondusif bagi penuntasan pelanggaran HAM masa lalu juga muncul dari Menko Polhukam yang mengklaim tak pernah ada pelanggaran HAM selama Jokowi menjabat sebagai presiden.

Pernyataan tersebut, kata Ismail, ditunjukan untuk membuat perbedaan Jokowi dengan presiden sebelumnya, yang secara implisit dapat menjadi pembenaran untuk menghindari tanggung jawab masa lalu. Pernyataan tersebut juga seakan memposisikan jabatan antarmasa presiden sebagai sesuatu yang terpisah dan tidak terkait.

Padahal antarmasa presiden memiliki kontinuitas dengan periode berikutnya, sehingga penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu akan terus menjadi tanggung jawab setiap presiden di masa jabatannya. Pola penghindaran semacam ini berpotensi menjadi preseden buruk untuk pemerintahan berikutnya.

“Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu semakin buntu ketika pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung S.T. Burhanuddin menyebut tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat, sehingga cukup diadili di pengadilan umum,” jelasnya.

Penyelesaian kasus HAM masa lalu di era Presiden Jokowi semakin suram setelah Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116 Tahun 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan dari dan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kemhan.

Dalam Keppres tersebut dilakukan pengangkatan terhadap dua mantan anggota Tim Mawar, yang diduga sebagai aktor penculikan para aktivis pada 1997/1998, sebagai pejabat publik di Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Pengangkatan ini semakin mencerminkan tata kelola pemerintahan yang tidak peduli terhadap HAM. HAM semata-mata sebagai komoditas politik.

Melalui pengangkatan ini terlihat bahwa pemerintah tak sedikit pun memiliki niat (political will) untuk segera menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara hukum. Regresi serius penuntasan pelanggaran HAM masa lalu ditandai dengan akomodasi politik aktor-aktor yang diduga melakukan pelanggaran HAM, duduk manis dalam jabatan-jabatan strategis di bawah kepemimpinan Jokowi.

Terkait dengan penghormatan supremasi sipil, lanjut dia, kepemimpinan Jokowi juga tidak punya paradigma yang solid terkait domain kerja sipil-militer sebagai bentuk penghormatan pada supremasi sipil sebagai ciri utama demokrasi.

Menurutnya ketiadaan pengaturan terkait paradigma criminal justice system dalam Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) pelibatan TNI dalam menangani terorisme berpotensi mengancam kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia.

"Pengaturan tersebut juga tidak diikuti dengan mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum," katanya.

Rancangan Perpres ini seharusnya berkaitan dengan penguatan paradigma criminal justice system dalam penanganan tindak pidana terorisme, mengedepankan proses hukum yang transparan dan akuntabel, serta menjunjung tinggi HAM.

Selain itu, dalam persoalan lain dalam Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) pelibatan TNI dalam menangani terorisme berupa ketiadaan landasan kebijakan dan keputusan politik negara dalam pelaksanaannya.

Pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme yang diatur dalam RPerpres ini berpotensi melanggar UU No. 34/2004 tentang TNI (UU TNI). Dalam RPerpres ini, terutama Pasal 2, tidak menyebutkan sama sekali bahwa pelibatan TNI dalam mengatasi aksi Terorisme harus dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, yang bersifat temporer.

Hal ini tentu melanggar Pasal 5 dan Pasal 7 (3) UU TNI yang secara eksplisit menyebut bahwa TNI dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Dalam konteks penindakan, RPerpres ini juga tidak sesuai dengan UU TNI. Pasal 8 dalam RPerpres ini hanya menyebutkan bahwa Penggunaan kekuatan TNI hanya berdasarkan perintah Presiden.

Padahal dalam Pasal 17 (2) UU TNI menyebutkan dalam hal pengerahan kekuatan TNI Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Kalaupun dalam keadaan mendesak, Pasal 18 (2) UU TNI juga mengatur bahwa dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan, Presiden harus melaporkan kepada DPR.

Selain itu, penunjukan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, untuk menangani sektor pangan dalam program food estate atau lumbung pangan nasional di dua kabupaten di Kalimantan Tengah berpotensi menjadi pintu masuk TNI ikut terlibat langsung di program food estate yang akan menjadi cadangan logistik di Indonesia.

Penunjukan ini, menurut Ismail, mencerminkan ketiadakpatuhan terhadap 14 poin OMSP dalam UU TNI, karena sektor pangan ini jelas tidak termasuk. Frasa ‘terpadu dan terarah’ dalam definisi sistem pertahanan yang dijelaskan dalam Pasal 1 poin 2 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara justru mencerminkan bagaimana sistem pertahanan tersebut saling berkesinambungan dan sesuai dengan tupoksi masing-masing. Sehingga, dalam aspek pangan, seharusnya Kementerian Pertanian menjadi institusi yang lebih relevan.

Terakhir, yakni tentang larangan menduduki jabatan sipil. Kebijakan Menteri BUMN terkait pergantian Direksi dan Komisaris sejumlah perusahaan BUMN yang memasukkan perwira TNI (dan Polri) aktif juga mencerminkan ketidakpatuhan terhadap UU TNI yang melarang prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, sehingga secara eksplisit tidak sesuai dengan aturan dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.

Pasal 47 ayat (1) UU TNI mengamanatkan Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Meskipun pada ayat berikutnya terdapat pengaturan terkait pengecualian jabatan sipil yang bisa diduduki TNI.

"Namun jabatan di BUMN secara eksplisit tidak termasuk dalam jabatan yang dikecualikan tersebut," ujarnya. (G-2)

BACA JUGA: