JAKARTA - Koalisi untuk Keadilan atas Tragedi Semanggi I dan II mengapresiasi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Jaksa Agung ST Burhanuddin. Isi putusan menyatakan Jaksa Agung bersalah atas pernyataannya yang menyebut Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR pada 16 Januari 2020.

Gresnews.com melihat putusan tersebut dari sistem e-court PTUN Jakarta pada Sabtu (14/11/2020). Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tersebut Nomor 99/G/TUN/2020/PTUN.JKT tanggal 04 November 2020.

Penggugat adalah Maria Catarina Sumarsih, ibu dari korban Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya. Penggugat lainnya adalah Ho Kim Ngo, ibu almarhum Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia yang tewas saat Tragedi Semanggi I 1998.

"Amar putusan, eksepsi: menyatakan eksepsi-eksepsi yang disampaikan tergugat tidak diterima, pokok perkara: mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya," tulis amar putusan tersebut.

Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengatakan putusan itu harus menjadi pelajaran Jaksa Agung untuk mengamalkan asas-asas pemerintahan yang baik, bekerja sesuai fakta dan berhati-hati dalam bertindak maupun membuat pernyataan.

"Koalisi Keadilan untuk Semanggi I dan II kembali mengapresiasi sebesar-besarnya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 4 November lalu yang menilai Jaksa Agung Republik Indonesia telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena menyatakan Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat," kata Usman yang juga tergabung dalam Koalisi melalui surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Sabtu (14/11/2020).

Usman menyampaikan putusan ini (No: 99/G/2020/PTUN-JKT) merupakan jawaban atas gugatan keluarga korban, yang diwakili oleh Koalisi, melawan Jaksa Agung.

Usman menuturkan, dalam putusan, Majelis Hakim menjelaskan pernyataan Jaksa Agung dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, mengandung kebohongan, melanggar asas-asas pemerintahan yang baik. "Dan bertentangan dengan nilai hukum keputusan MK No.18/PUU/V/2008," jelasnya.

Selain itu, Maria Katarina Sumarsih berharap Jaksa Agung dapat menerima putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini. "Selaku keluarga korban, saya meminta Jaksa Agung untuk menyelidiki berkas Komnas HAM ke tingkat penyidikan sesuai dengan UU pengadilan HAM," kata Sumarsih.

Koalisi menilai bahwa korban dan keluarga korban Semanggi memiliki hak atas jaminan dan kepastian hukum sebagaimana dinyatakan UUD 1945 dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Selain itu juga, pemenuhan hak ini harus dibarengi dengan kemauan politik pemerintah, sebagaimana ditunjukkan Majelis Hakim dalam putusan di atas.

Koalisi pun mendesak Jaksa Agung untuk memperhatikan putusan MK No. 75/PUU-XIII/2015 yang berkaitan dengan penanganan pelanggaran HAM berat.

Usman menjelaskan bahwa Koalisi sependapat dengan Komnas HAM yang menyatakan tragedi Semanggi adalah pelanggaran HAM berat. Ini merupakan kejahatan yang dilarang oleh hukum pidana internasional (Statuta Roma 1998).

"Impunitas atas kejahatan ini telah dikecam di mana-mana," jelasnya.

Usman mengatakan, koalisi mengingatkan bahwa standar internasional hak asasi manusia mewajibkan setiap negara untuk mewujudkan hak atas keadilan pada korban pelanggaran HAM berat.

Komentar Umum 31 Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menyatakan Negara Pihak harus menjamin bahwa mereka yang bertanggung jawab dibawa ke pengadilan. Sebagai negara yang meratifikasi ICCPR pada 2005, Indonesia dapat dinilai melakukan pelanggaran ketika tidak membawa pelaku penembakan mahasiswa dalam tragedi Semanggi ke pengadilan.

Pengadilan atas para pelaku menjadi sangat penting untuk memberi efek jera bagi siapa saja yang memegang kekuasaan di masa depan untuk tidak mencegah tragedi serupa berulang.

"Hal itu akan mengembalikan kepercayaan publik kepada supremasi hukum di Indonesia yang selama ini rusak karena praktik impunitas tahun demi tahun seiring menuanya para keluarga korban," pungkasnya.

Sebelumnya Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Feri Wibisono mengkritisi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang menyatakan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin bersalah terkait pernyataannya tentang Tragedi Semanggi dalam Rapat Kerja dengan DPR.

"Menurut JPN (Jaksa Pengacara Negara), putusan tersebut tidak tepat," kata Feri di Jakarta, Kamis, (5/11/2020).

Hal tersebut diungkapkan Feri menanggapi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Nomor 99/G/TUN/2020/PTUN.JKT tanggal 04 November 2020.

Menurutnya, pernyataan Jaksa Agung dalam rapat kerja bersama DPR bukan merupakan suatu tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Feri juga berpendapat syarat kepentingan penggugat dalam gugatan TUN tersebut tidak tepat.

"Orang tua korban tidak memiliki kepentingan terhadap kalimat jawaban Jaksa Agung di rapat kerja DPR tersebut," ujar Feri.

Dia juga menyatakan penggugat belum memenuhi kewajiban melakukan banding administratif lebih dahulu.

"Sebelum melakukan gugatan seharusnya penggugat melakukan upaya banding administrasi terlebih dahulu kepada atasan pejabat pembuat keputusan secara tertulis," katanya.

Feri juga mengkritisi beberapa pertimbangan hakim dalam putusan tersebut diantaranya sikap PTUN Jakarta yang mengabaikan bukti berupa video rekaman dalam rapat kerja Komisi III DPR RI beserta keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh tergugat.

Selain itu, pihaknya juga menganggap PTUN Jakarta lalai karena tidak dapat menjelaskan peraturan yang telah dilanggar, sehingga mengkualifikasikan penjelasan Jaksa Agung di depan rapat dengar pendapat tersebut sebagai tindakan pemerintah yang cacat substansi.

PTUN Jakarta sebelumnya memutuskan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin bersalah terkait pernyataannya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, 16 Januari 2020 yang menyebut Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.

Hakim mewajibkan Jaksa Agung untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan Pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya sepanjang belum ada putusan/keputusan yang menyatakan sebaliknya.

Hakim juga menghukum Jaksa Agung untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp285 ribu. (G-2)

BACA JUGA: