JAKARTA - Kasus penyiksaan dalam proses penyidikan kembali terjadi. Kali ini terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara. Korban penyiksaan adalah Sarpan, kuli bangunan yang merupakan saksi mata kasus pembunuhan. Ia dipaksa untuk mengaku sebagai pelaku.

Sarpan merupakan saksi mata dalam kasus pembunuhan yang terjadi pada 2 Juli 2020 di Jl. Sidumolyo, Gg. Gelatik Pasar 9, Desa Sei Rotan, Kecamatan Percut Seituan, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Korban pembunuhan adalah Dodi Somanto, anak buah Sarpan, dengan sekujur luka di bagian dada. Sarpan, sebagai mandor Dodi, dipanggil polisi pada 3 Juli 2020 sebagai saksi.

Tapi, saat masuk ruang penyidik, Sarpan malah disuruh jongkok dengan sebatang kayu di belakang lutut serta mata dan mulutnya ditutup. Tanpa penjelasan, ia dipukuli di bagian dada dan perut hingga diinjak-injak dalam ruang tahanan. Sembari menerima siksaan, saat itu Sarpan tidak tahu mengapa dirinya disiksa.

Barulah dalam interogasi yang dilakukan setelahnya, polisi menuduh Sarpan berselingkuh dengan pemilik rumah yang sedang ia kerjakan. Perbuatan itu ketahuan Dodi sehingga tercipta motif pembunuhan versi polisi.

Menemukan kondisi suaminya yang babak belur di sel tahanan, istri Sarpan melapor kepada warga. Sekelompok warga segera mendatangi kantor polisi dan menuntut pembebasan Sarpan. Pada 6 Juli 2020, Sarpan dilepaskan dengan luka memar di sekujur tubuh. AZ, yang diduga pelaku sebenarnya, juga sudah ditangkap polisi.

Sarpan pulang dalam kondisi lebam pada wajah, dada, dan punggung yang diduga karena pemukulan. Sarpan juga mengungkapkan matanya dilakban ketika diperiksa dan disetrum saat berada di sel tahanan untuk dipaksa mengaku menjadi pelaku pembunuhan meskipun ia telah menyebutkan nama pelaku sebenarnya, AZ, yang tidak lain merupakan anak pemilik rumah tempatnya bekerja sebagai kuli bangunan.

Terhadap insiden ini, dua orang petinggi Polsek Percut Sei Tuan yakni Kanit dan Panit Reskrim diperiksa Propam Polrestabes Medan. Kepala Subdirektorat Penerangan Masyarakat Polda Sumut, AKBP MP Nainggolan, pada 8 Juli 2020, mengatakan kasus ini dalam penyelidikan propam dan bila nanti terbukti tentu akan diberikan sanksi disiplin atau sanksi etik.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari mendesak pemerintah untuk segera membahas revisi KUHAP dengan menjamin penahanan di kepolisian tidak lagi dilakukan. "Selain itu juga memperketat pengawasan hingga mengatur ulang jenis-jenis alat bukti supaya tidak lagi bertumpu pada pengakuan," katanya kepada Gresnews.com, Kamis (9/7/2020).

Kepolisian sebenarnya telah memiliki Peraturan Kapolri 8/2009 yang melarang adanya penyiksaan terhadap tahanan. Mabes Polri mencatat sepanjang Juni 2018-Mei 2019 ada 91 kasus dugaan penyiksaan tahanan oleh anggotanya. Sebanyak 75 aparat terlibat dikenakan sanksi disiplin, sisanya kena turun jabatan atau dipindahtugaskan.

Menurut Iftitahsar, kasus ini tidak selayaknya hanya berhenti pada pemberian sanksi disiplin maupun sanksi etik. Sebab, tindakan oknum penyidik tersebut jelas merupakan tindak pidana sehingga wajar jika dijatuhi sanksi pidana.

"Pemberian sanksi yang tegas dalam kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat sipil negara perlu dilakukan untuk menunjukkan adanya akuntabilitas khususnya dalam hal ini pada institusi kepolisian," katanya.

Menurutnya kasus-kasus penyiksaan khususnya yang selama ini terjadi dalam sistem peradilan pidana memang tidak pernah direspons secara memadai. Tidak heran jika sejak kasus Sengkon-Karta mencuat pada 1974 hingga saat ini yang hampir 50 tahun lamanya, praktik-praktik penyiksaan masih langgeng digunakan dalam mengejar pengakuan untuk kemudian dijadikan alat bukti di persidangan.

ICJR dalam penelitiannya pada 2019 juga menemukan dugaan penyiksaan bahkan terjadi dalam kasus-kasus yang terdakwanya diancam atau dijatuhi hukuman mati.

Dalam penelitian mengenai penerapan fair trial dalam kasus hukuman mati tersebut, ICJR mengulas salah satu kasus yang sempat gempar pada 2016 yakni kasus Yusman Telaumbanua yang terungkap mengalami penyiksaan saat penyidikan untuk dipaksa mengaku telah berusia dewasa dan sebagai pelaku utama kasus pembunuhan. Pengakuan tersebut sempat dijadikan alat bukti dalam menjatuhkan hukuman mati terhadap Yusman.

ICJR menemukan setidaknya 23 dugaan penyiksaan lainnya dalam kasus hukuman mati dengan pola yang sama, yakni oknum penyidik melakukan penyiksaan secara fisik maupun psikis untuk mengejar pengakuan.

Ironinya, dugaan penyiksaan tersebut sangat sulit dibuktikan dalam persidangan karena tidak ada mekanisme pembuktian yang jelas diatur dalam hukum acara pidana. Hal ini memperlihatkan bagaimana mengerikannya situasi saat ini dimana negara berani menjatuhkan hukuman mati ketika sistem peradilan pidananya masih belum mampu menghadirkan peradilan yang adil (fair trial).

Untuk itu, ICJR mendesak pemerintah agar segera mulai mengambil langkah untuk melakukan perbaikan substansial terhadap sistem peradilan pidana melalui revisi KUHAP agar tidak ada lagi ruang untuk praktik-praktik penyiksaan.

RKUHAP yang saat ini telah masuk dalam daftar Prolegnas DPR periode 2020-2024 perlu mengakomodir beberapa ketentuan berikut:

Pertama, memperketat pengawasan dan membentuk sistem akuntabilitas yang kuat bagi institusi aparat penegak hukum yang menjalankan proses penyidikan-penuntutan, RKUHAP harus secara ketat mengatur larangan permanen penggunaan kantor-kantor kepolisian sebagai tempat penahanan, penahanan harus dilakukan pada institusi lain, guna menjamin adanya pengawasan bertingkat.

Kedua, mengatur ulang hukum pembuktian dan jenis-jenis alat bukti supaya tidak lagi bertumpu pada pengakuan.

Ketiga, mengatur secara rinci mekanisme keharusan hakim memeriksa dugaan penyiksaan yang terjadi dalam proses penyidikan.

Keempat, memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa khususnya hak pendampingan hukum yang dapat menjamin pemberian bantuan hukum yang efektif.

Sebelumnya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis laporan situasi dan kondisi penyiksaan di Indonesia pada 2020. Laporan bersumber dari pemantauan media dan pendampingan kasus serta laporan jaringan KontraS dari berbagai daerah, selama Juni 2019 hingga Mei 2020.

KontraS menemukan 62 praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya di Indonesia selama satu tahun terakhir. Dari 62 kasus tersebut, tercatat 220 korban dengan rincian 199 orang luka-luka dan 21 orang tewas.

"Pelaku praktik penyiksaan tersebut didominasi oleh anggota kepolisian," kata peneliti KontraS Rivanlee Anandar dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Kamis (25/6/2020).

Dari 62 peristiwa, 48 kasus terjadi di lingkungan kepolisian. Kemudian 9 kasus dari TNI dan 5 kasus dari sipir yang bertugas di lembaga pemasyarakatan.

48 praktik penyiksaan di institusi Polri itu mayoritas terjadi di Polres, yaitu 28 kasus, disusul Polsek 11 kasus dan Polda 8 kasus.

Rivanlee mengatakan praktik penyiksaan sering digunakan sebagai jalan pintas untuk mendapat pengakuan dari tersangka atau korban terkait kasus yang disangkakan.

Tidak hanya itu, penyiksaan juga sering digunakan polisi untuk menunjukkan relasi kuasa. Akibatnya, timbul tindakan arogansi aparat terhadap masyarakat.

Temuan ini sejalan dengan data korban penyiksaan yang sebagian besar atau 48 di antaranya berstatus warga sipil. Kemudian, terdapat 14 tahanan atau pelaku kriminal yang juga tercatat sebagai korban.

KontraS juga menemukan 40 kasus penyiksaan dilakukan aparat untuk mendapat pengakuan dari tersangka atau korban. Lalu, ada 22 kasus penyiksaan yang motifnya penghukuman murni.

Praktik penyiksaan juga ternyata kerap kali didominasi oleh kasus salah tangkap. Ada 46 praktik penyiksaan pada kasus salah tangkap dan 16 praktik penyiksaan pada kasus murni kriminal.

Berdasar sebarannya, peristiwa penyiksaan paling banyak terjadi di Sulawesi Selatan dengan 9 kasus, DKI Jakarta 8 kasus, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) 6 kasus. "Bentuk penyiksaan pada tiga provinsi tersebut terjadi pada kasus seperti salah tangkap, pembubaran aksi, penyiksaan anak, dan penyiksaan tahanan," ujar Rivanlee.

Rivanlee menuturkan praktik penyiksaan juga banyak terjadi di sel tahanan. Ada 34 kasus penyiksaan di sel tahanan dengan rincian 27 kasus di sel tahanan kepolisian, 1 kasus di tahanan militer dan 1 kasus di lapas.

Praktik tersebut juga terjadi di ruang publik sebanyak 29 kali dalam satu tahun terakhir, yakni di hotel, rumah kosong, halaman gedung, hingga areal perumahan warga.

Temuan KontraS menyebutkan tindakan penyiksaan didominasi dengan pemukulan sebanyak 49 kasus. Kemudian menggunakan senjata api 13 kasus, benda keras 12 kasus, listrik 4 kasus dan senjata tajam 2 kasus. (G-2)

BACA JUGA: