JAKARTA - 16 tahun berlalu, pelaku utama pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib hingga kini belum juga diketahui. Amnesty International Indonesia pun menyampaikan Pendapat Hukum (Legal Opinion) kasus itu kepada Komisi Nasional (Komnas) HAM sebagai bagian dari pengaduan resmi.

"Kami harap Komnas HAM bisa segera membuat keputusan bahwa kasus Munir merupakan pelanggaran HAM berat sehingga proses penyelidikan berdasarkan undang-undang (UU) Pengadilan HAM bisa segera dilakukan," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid kepada Gresnews.com, Selasa (8/9/2020).

Menurut Usman, Amnesty mengapresiasi apa yang pernah dilakukan oleh negara dengan membentuk Tim Pencari Fakta di Kantor Kepresidenan dan Tim Pencari Fakta Gabungan antara Komisi I dan Komisi III di DPR 2004-2005.

Amnesty juga mengapresiasi apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian ketika menindaklanjuti laporan Tim Pencari Fakta dengan menetapkan beberapa orang sebagai tersangka seperti Pollycarpus Budihari Priyanto, Indra Setiawan, dan Muchdi Purwopranjono.

"Tapi hingga hari ini kita belum tahu bagaimana sebenarnya konstruksi perkara ini seutuhnya. Siapa sebenarnya yang mengambil inisiatif, mengusulkan, dan merencanakan pembunuhan terhadap seorang aktivis hak asasi manusia seperti Munir," kata Usman.

"Mengapa pembunuhan ini bisa terjadi, pada hari-hari ketika negara Indonesia sedang menyelenggarakan agenda politik nasional yang sangat penting, yaitu pemilu presiden secara langsung untuk pertama kalinya?" ujar Usman lagi.

Usman dan sejumlah penyokong Komite Aksi Solidaritas untuk Munir pun kembali menagih tanggung jawab negara, pemerintah dan DPR, untuk sungguh-sungguh menyelesaikan kasus pembunuhan Munir. Bahkan perkembangan terakhir tentang ketidakjelasan laporan Tim Pencari Fakta itu harus diusut. "Dan yang jauh lebih penting Kepolisian Republik Indonesia dapat mengambil langkah investigasi baru untuk menetapkan tersangka baru, mencari bukti baru," sambungnya.

Begitupula dengan Kejaksaan Agung. Usman menyatakan jaksa agung dapat mengambil langkah untuk peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Bahkan untuk orang yang pernah diadili sebelumnya dan divonis bersalah.

"Karena itu kembali kami Komite Aksi solidaritas untuk Munir mendesak negara untuk memenuhi tanggung jawab. Kami menuntut agar negara segera membuat pengakuan bahwa pembunuhan Munir merupakan sebuah pelanggaran HAM berat," ucap Usman.

Amnesty menuntut Presiden Joko Widodo, yang telah berjanji di hadapan publik untuk menyelesaikan kasus ini, untuk membuat aksi yang jelas dan konkrit yang bisa dimulai dengan melakukan tinjauan atas beberapa perkara pidana sehubungan dengan pembunuhan Munir, termasuk dugaan pelanggaran standar-standar HAM internasional.

Usman percaya bahwa pembunuhan Munir tidak bisa dilihat sebagai kasus kriminal biasa yang berdiri sendiri. Pembunuhan yang terus dibiarkan tanpa penyelesaian mengindikasikan adanya budaya imunitas yang semakin meluas terhadap serangan dan kekerasan terhadap para pembela HAM di negara ini.

Negara juga harus melakukan langkah-langkah yang efektif untuk memastikan bahwa pelanggaran HAM terhadap para pembela HAM diproses secara cepat, efektif, dan imparsial; dan orang-orang yang bertanggung jawab dibawa ke pengadilan.

Selain itu, Usman juga mendorong Komnas HAM untuk segera mengeluarkan penetapan Munir Said Thalib sebagai Prominent Human Right Defender dan menetapkan hari peringatan untuk para pembela HAM.

Munir adalah seorang pembela HAM yang memainkan peran penting dalam membongkar keterlibatan aparat keamanan dalam pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor-Leste.

Ia juga merumuskan rekomendasi kepada pemerintah untuk membawa para pejabat tinggi yang terlibat ke pengadilan. Pada September 1999, ia ditunjuk sebagai anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP-HAM) Timor Timur.

Sebagai aktivis HAM, Munir menerima banyak ancaman sebagai akibat dari kerja-kerja HAM yang dilakukannya. Pada Agustus 2003, sebuah bom meledak di pekarangan rumahnya di Jakarta.

Pada 2002 kantor KontraS tempat Munir bekerja, diserang oleh segerombolan orang tak dikenal, yang menghancurkan perlengkapan kantor dan secara paksa merampas dokumen yang terkait dengan penyelidikan pelanggaran HAM yang tengah dilakukan oleh KontraS.

Munir ditemukan meninggal dunia di penerbangan Garuda Indonesia dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004. Autopsi yang dilakukan oleh otoritas Belanda menunjukkan bahwa ia meninggal karena diracun arsenik.

Mantan agen Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Pr adili pada 2008 tetapi dinyatakan tidak bersalah dan para aktivis menyatakan bahwa proses peradilan berjalan tidak adil.

Selain itu, Laporan Tim Independen Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF) pada 2005, yang dibentuk oleh pemerintah, diabaikan oleh pemerintah dan tidak pernah dipublikasikan.

Pada September 2016, Presiden Joko Widodo berjanji di hadapan publik untuk menyelesaikan kasus Munir. Namun pemerintah Indonesia sampai saat ini masih belum mempublikasikan Laporan TPF tersebut.

Hal itu melanggar Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir, yang mewajibkan pemerintah untuk mempublikasikan Laporan TPF.

Dengan latar belakang itu, sungguh mengejutkan ketika Presiden Joko Widodo justru menunjuk AM Hendropriyono, mantan ketua BIN, sebagai tim transisi yang menyiapkan pemerintahannya ketika ia terpilih pertama kali pada 2014.

"Hendropriyono adalah kepala BIN pada saat pembunuhan Munir dan banyak kelompok HAM percaya bahwa ia terlibat dalam pembunuhan tersebut," katanya.

Sementara peneliti Imparsial Husein Ahmad mengatakan kasus Munir itu sudah disidangkan. "Tapi kan master mind atau otak dibelakangnya sampai hari ini kita tidak pernah tahu dan tidak pernah disidangkan," kata Hussein kepada Gresnews.com, Selasa (8/9/2020).

Hussein menambahkan kasus Munir akan kedaluwarsa dalam dua tahun lagi menurut aturan KUHAP sehingga tidak bisa lagi disidangkan melalui mekanisme peradilan.

"Oleh karena itu, kami berusaha untuk kemudian menaikkan status kematian pembunuhan almarhum Munir ini sebagai pelanggaran berat HAM, agar dia tidak lagi terbatas dalam rentang waktu sekian tahun. Tetapi dia bisa diadili sewaktu-waktu," terangnya.

Jadi, intinya kasus pembunuhan Munir ini tidak akan batal karena kadaluwarsa tahun depan atau dua tahun dari sekarang. Sehingga kasus tersebut bisa kapan saja disidangkan bila terungkap bukti baru dari hasil penyelidikan baru nantinya.

Hussein berharap dari laporan tersebut dapat membuahkan hasil yang baik. "Harapannya laporan kami ke Komnas HAM yang sudah kami sampaikan, termasuk kami menyampaikan legal opinion itu hari ini katanya paripurna. Supaya hari ini dapat kabar yang baik dalam arti kasus almarhum Munir bisa ditetapkan sebagai pelanggaran berat HAM dan bisa diadili dalam mekanisme pengadilan HAM ad hoc," harapnya. (G-2)

BACA JUGA: