JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Agung (MA) mengaku tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Termasuk Pasal 122 huruf e yang menyebutkan hakim ad hoc bukan sebagai pejabat negara.

Ketentuan itu lengkapnya berbunyi: "Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121, yaitu ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada MA serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan, kecuali hakim ad hoc."

"MA tidak pernah dilibatkan dalam undang-undang ASN. Itu kewenangan pemerintah dan DPR, kami  hanya pelaksana," kata hakim agung Suhadi usai menyampaikan keterangannya dalam sidang lanjutan pengujian UU ASN di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (24/9).

Saat ditanya sikap MA terkait permintaan sejumlah hakim ad hoc untuk diakui sebagai pejabat negara, Suhadi beralasan tidak berkompeten untuk menjawabnya. Kewenangan itu, kata dia, ada pada pimpinan MA. "Saya hanya ditugaskan pimpinan MA untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di dalam persidangan," ujarnya menegaskan.

Hal-hal yang dipertanyakan MK dalam soal ini diantaranya terkait jumlah hakim ad hoc, proses rekruitmen, pengangkatan hingga pemberhentian hakim ad hoc. Kemudian berapa jumlah pengadilan yang memiliki hakim ad hoc di seluruh Indonesia dan apa saja peradilan ad hoc.

Suhadi mengungkapkan, hakim ad hoc ada sekitar 201 orang di tingkat pertama, di tingkat pengadilan tinggi ada 60 orang dan lebih dari 100 orang di tingkat MA. "Data-data tersebut sudah kami sampaikan kepada MK secara lisan dan tulisan," jelasnya.

Saat sidang berlangsung, Suhardi juga tidak menjawab pertanyaan sejumlah pemohon seputar norma yang menyebutkan hakim ad hoc bukan pejabat negara.

Gazalba Saleh, salah satu pemohon mengatakan selama kepemimpinan Ketua MA Hatta Ali dan mantan ketua MA Harifin Tumpa, MA telah mengeluarkan dua surat terkait status hakim ad hoc, apakah pejabat negara atau tidak. Surat pertama, dimasa kepemimpina Harifin Tumpa, yakni Suran Nomor 35 Tahun 2012 yang menerangkan hakim ad hoc adalah pejabat negara.

Kemudian Surat Nomor 96 Tahun 2011,  juga menerangkan hakim ad hoc adalah pejabat negara "Bagaimana tanggapan bapak atas dua surat tersebut," tanya Gajaba kepada Suhadi.

Ia mengaku, semua hakim ad hoc mendapatkan tunjangan perumahan, keamanan, transportasi, dan kesehatan. Namun sejauh ini, jelas Gazalba, hanya tunjangan perumahan yang diterimanya. Padahal lanjutnya, dalam beberapa undang-undang disebutkan hakim ad hoc sama posisinya dan sama fungsinya mengadili, menyidangkan, memutus perkara-perkara dalam satu majelis hakim ad hoc dan hakim karir.

Sementa dalam Pasal 122 huruf e UU ASN yang mereka minta diuji MK, mengecualikan hakim ad hoc sebagai pejabat negara. "Bagaimana tanggapan bapak atas perbedaan undang-undang yang ada dengan UU ASN," tanyanya lagi.

Menanggapi hal itu, sekalai lagi Suhadi mengaku hanya ditugasi menjawab pertanyaan MK yang sebelumnya sudah dikirimkan ke MA. "Kami hanya ditugaskan menjawab pertanyaan MK. Terkait pertanyaan diluar itu seperti yang disampaikan pemohon, saya tidak dapat menjawabnya," tegas Suhadi.

Seperti diketahui, sejumlah hakim ad hoc yang tergabung dalam  Tim 11 Hakim Ad Hoc meminta perubahan status mereka menjadi pejabat negara. Permintaan hakim ad hoc ini dilakukan oleh para hakim ad hoc dengan mengajukan uji materi UU ASN ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka meminta hakim MK untuk membatalkan Pasal 122 huruf e yang menyatakan hakim ad hoc bukan pejabat negara. Salah satu alasannya, legalitas putusan mereka kelak bisa bermasalah bila hakim ad hoc tidak masuk ke dalam kategori pejabat negara.

BACA JUGA: