JAKARTA, GRESNEWS.COM - Siang itu, mantan anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Agus Condro tiba-tiba saja mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedatangan Agus ternyata untuk membeli asetnya berupa apartemen yang telah disita oleh tim penyidik KPK. Penyitaan itu dikarenakan ia tersangkut kasus cek pelawat Deputi Senior Bank Indonesia, Miranda Gultom. Agus turut menerima uang sejumlah Rp500 juta dari Miranda agar ia mulus menduduki jabatan tersebut.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji mengisyaratkan pihaknya sulit untuk mengabulkan permintaan tersebut. Namun, Indriyanto akan mengkaji terlebih dahulu dengan pimpinan lainnya. "Harus dikaji dulu. Setahu saya tidak diizinkan seperti itu," kata Indriyanto kepada gresnews.com, Kamis (3/9).

Sayangnya, Indriyanto, yang juga pakar hukum pidana ini, tidak menjelaskan alasan ditolaknya permintaan Agus. Ia juga tidak menjawab ketika ditanya mengenai aturan hukum yang ada di lembaganya tentang pembelian barang sitaan.

Komisioner KPK lainnya Adnan Pandu Praja juga menyatakan hal yang sama. Menurut Pandu, pihaknya tidak akan gegabah untuk memutuskan apakah Agus Condro ‎bisa membeli kembali apartemennya.

Namun, jika melihat prosedur yang berlaku, barang sitaan tidak bisa begitu saja dibeli oleh bekas pemiliknya yang tersangkut kasus hukum. "Harus dilihat dulu putusannya. Kalau masuk dalam putusan Hakim, prosedurmya harus dilelang," terang Pandu.

Saat ditanya apakah unit apartemen yang dimaksud masih ada atau sudah dimiliki pihak lain karena sudah dilelang, Pandu tidak bisa menjawabnya. "Saya enggak tahu detailnya," tutur Pandu.

HARUS DILELANG - Hal senada juga dikatakan ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, barang yang telah disita negara tidak bisa ditebus begitu saja oleh mantan narapidana ataupun orang-orang tertentu.

Pria yang juga menjadi salah satu tim pembela Bambang Widjajanto ini mengatakan, ada mekanisme yang harus dilakukan dalam pembelian barang sitaan. Salah satunya, kata Fickar yaitu melalui proses pelelangan.

"Barang yang masih dalam status disita itu merupakan barang bukti. Tapi jika sudah ada putusan yang inkracht (berkekuatan hukum tetap-red), maka barang tersebut menjadi milik negara yang jika ingin dimiliki kembali harus melalui lelang negara," terang Fickar.

Ia menjelaskan, pengertian dari barang rampasan sendiri adalah barang yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Selain itu, barang tersebut diambil oleh negara karena diduga terkait tindak pidana tertentu yang melibatkan pemilik barang tersebut.

"Jadi aturannya tentang pembelian aset negara melalui Kementerian Keuangan," tutur Fickar.

BELEID BARANG RAMPASAN NEGARA - Kementerian Keuangan pada 2011 lalu telah menerbitkan peraturan tentang pengelolaan barang milik negara yang berasal dari barang rampasan negara dan barang gratifikasi melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011.Dalam peraturan itu menyebutkan, salah satu pertimbangan penerbitan peraturan itu adalah pengelolaan barang rampasan negara dan barang gratifikasi merupakan barang milik negara yang berasal dari perolehan sah perlu dilakukan secara tertib administrasi, akuntabel, dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat serta tetap menjunjung tinggi pemerintahan yang baik.

Menurut aturan itu, barang rampasan negara adalah barang milik negara yang berasal dari barang bukti yang ditetapkan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian untuk barang gratifikasi adalah barang yang telah ditetapkan status gratifikasinya menjadi milik negara oleh pimpinan KPK.

Pengurusan Barang Rampasan Negara adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pengamanan dan pemeliharaan, Penilaian, Penghapusan, Pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas barang rampasan Negara. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Barang Milik Negara yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerja sama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikannya.

Penetapan aturan bertujuan untuk mewujudkan optimalisasi pengelolaan Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi yang tertib, terarah, optimal, transparan dan akuntabel untuk meningkatkan penerimaan negara dan/atau sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam peraturan tersebut antara lain juga menyebutkan bahwa dalam pengelolaan Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi, Menteri Keuangan memiliki sejumlah wewenang dan tanggung jawab.

Pertama, menerima, menatausahakan dan mengelola Barang Gratifikasi yang telah diserahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Menteri Keuangan. Kedua, menetapkan status penggunaan Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

Ketiga, memberikan keputusan atas usulan Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan Penghapusan Barang Rampasan Negara yang diajukan oleh Kejaksaan sesuai dengan batas kewenangannya. Keempat, melaksanakan kewenangan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Wewenang dan tanggung jawab di atas secara fungsional dilaksanakan oleh Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas dan fungsi di bidang kekayaan negara.Direktur Jenderal atas nama Menteri melimpahkan sebagian wewenangnya kepada Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan untuk menandatangani surat atau Keputusan Menteri dalam rangka penetapan status penggunaan, Pemanfaatan atau Pemindahtanganan, pemusnahan atau Penghapusan Barang Rampasan Negara.

Pelimpahan wewenang itu dilakukan dengan ketentuan untuk Barang Rampasan Negara dengan indikasi nilai di atas Rp500 juta sampai dengan Rp1 miliar didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah. Sementara Barang Rampasan Negara dengan indikasi nilai sampai dengan Rp500 juta didelegasikan kepada Kepala Kantor Pelayanan (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang).

Selain itu, aturan tersebut juga menyebutkan bahwa penyerahan barang gratifikasi kepada Menteri Keuangan dilakukan paling lama tujuh hari kerja sejak tanggal ditetapkan statusnya menjadi milik negara oleh pimpinan Komisi Pemberantasan disertai dengan kelengkapan data dan atau dokumen. Pada ketentuan penutup, disebutkan bahwa PMK itu berlaku sejak tanggal diundangkan (5 Januari 2011) , kecuali Pasal 25 yang mulai berlaku efektif enam bulan terhitung sejak diundangkannya PMK ini.

Pasal 25 terdiri dari tiga ayat. Pertama, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara menyimpan fisik dan dokumen legalitas kepemilikan serta dokumen pendukung lainnya apabila ada atas Barang Gratifikasi yang telah diserahkan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan.

Kedua, Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1), terhadap Barang Gratifikasi yang diserahkan kepada Menteri Keuangan yang berupa tanah dan/atau bangunan, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara melakukan pengamanan fisik dan penyimpanan dokumen legalitas kepemilikan atas Barang Gratifikasi bersangkutan.

Ketiga, Penyimpanan fisik dan dokumen legalitas kepemilikan serta dokumen pendukung lainnya apabila ada atas Barang Gratifikasi yang belum diserahkan kepada Menteri Keuangan, menjadi tanggung jawab sepenuhnya KPK. Dalam beleid ini tidak mengatur siapa saja yang boleh membeli barang sitaan negara.   

MOTIF TEBUS APARTEMEN - Agus Condro mungkin punya kenangan mendalam pada apartemen yang disita KPK atau motif ekonomi. Saat itu apartemen miliknya disita dalam kasus cek pelawat pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia berharga Rp 400 juta. Kini harga jualnya sudah berlipat dua hingga tiga kali lipat.

"Kan dulu saya nyerahin barang, apartemen. Nanti mau saya tuker dengan duit," kata Agus yang sempat menjabat sebagai Anggota Badan Legislasi (Baleg) itu.

Menurut Agus yang pernah duduk sebagai anggota Komisi II dari Fraksi PDIP ini kasusnya sendiri telah selesai lima tahun lalu. Ia juga telah menjalani pidana yang dijatuhkan Majelis Hakim Tipikor pimpinan Suhartoyo yang menghukumnya dengan penjara 15 bulan dan denda Rp50 juta. Agus mengklaim, nilai apartemennya tidak terlalu mahal. "Paling murah, Rp400 jutaan, cuma itu doang," tuturnya.

Saat kasus ini bergulir, Agus memang mengembalikan cek pelawat yang diterimanya sebesar Rp100 juta dan satu unit apartemen di Pulau Intan, Jakarta Utara. Ketika itu, ia sendiri mendapat uang dari Miranda sebesar Rp500 juta.

Selain Agus, tiga rekannya yaitu Willem Max Tutuarima divonis setahun enam bulan, Max Moein dan Rusman Lumban Toruan dijatuhi setahun delapan bulan. Keempatnya terbukti melanggar Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001).


SI PENIUP PLUIT - Langkah Agus meminta kembali aset yang disita KPK memang cukup mengherankan. Entah apa yang ada dibenaknya, namun Agus selama ini dapat disebut "pahlawan". Ia mengaku bahkan menyebut teman-temannya yang ikut korupsi. Agus menjadi sang whistle blower alias peniup peluit. Ia bersama 19 politisi DPR masuk bui karena nyanyiannya. Agus divonis 15 bulan penjara, kini bebas setelah mendapat pembebasan bersyarat dari Ditjen Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Menkum dan HAM Amir Syamsuddin saat itu menyebutkan Agus bebas lantaran dianggap sebagai whistle blower yang akhirnya mengungkap adanya dugaan suap cek perjalanan ke sejumlah anggota dewan.

Agus mengungkapkan bahwa kekuasaan DPR itu bisa dibeli. "Kekuasaan untuk memilih pejabat publik. Bahwa jabatan seperti di Gubernur BI atau Deputi Gubernur itu bisa dibeli secara ijon," kata Agus saat itu. Ijon yang dimaksud Agus yakni ada sponsor yang menempatkan orang dengan cara membayar DPR. Dan orang itu  bisa menjadi gubernur BI atau Deputi Gubernur Senior.

Menurut Agus, intervensi pengusaha dilakukan melalui sponsor-sponsor. Itu artinya mirip ketika pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) BI pada 2004. "BI itu lembaga independen yang tidak bisa disetir pemerintah. Tapi, kalau dengan para pengusaha urusannya lain. Banyak pengusaha hitam yang ingin mempengaruhi BI," kata Agus. Intervensi dari pengusaha, kata Agus, dilakukan melalui sponsor kepada pihak BI. Agus mencontohkan, sponsor dari pengusaha-pengusaha tersebut terjadi ketika pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) BI pada 2004, yang diwarnai dengan pemberian cek pelawat kepada puluhan politisi.

"Ya pejabat BI kan jadinya merasa berutang karena pada saat pemilihan disponsori," kata Agus.

Namun demikian, Agus enggan menyebut siapa pengusaha di tanah air yang menjadi beking Nunun selama ini. "Kalau itu saya tidak tahu," ujar bekas anggota DPR RI ini.

Dalam persidangan, sejumlah politisi yang menjadi terdakwa dalam kasus suap DGS BI mengungkapkan Nunun Nurbaeti yang menyerahkan cek memiliki kedekatan dengan pihak pengusaha. Cek pelawat yang menjadi alat suap dalam kasus ini dibeli dari Bank Artha Graha. Pembelian itu dilakukan pada 8 Juni 2004 oleh bank itu dari PT Bank Internasional Indonesia (BII) Tbk. Cek tersebut dibeli oleh Bank Artha Graha atas permintaan dari PT First Mujur Plantation and Industry.

Karena dianggap memiliki peranan yang signifikan, ketika kasus ini muncul untuk kali pertama di tahun 2008, KPK langsung mencekal Direktur Utama PT Bank Artha Graha Internasional Tbk Andy Kasih dan Direktur Utama PT First Mujur Plantation and Industry Hidayat Lukman dan Direktur Keuangan PT First Mujur Plantation and Industry Budi Santoso.

BACA JUGA: