JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi menyampaikan perkembangan baru dalam penanganan kasus suap tukar guling lahan sawit di Riau yang menjerat mantan Gubernur Riau Annas Maamun. KPK, hari ini, Selasa (1/12) menetapkan seorang tersangka baru dalam kasus tersebut.

Tersangka baru itu adalah Direktur Utama PT Citra Hokiana Triutama Edison Marudut Marsadauli Siahaan. Edison disangka telah memberi hadiah atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait kasus tersebut.

Atas perbuatannya, dia disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "KPK menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan EMMS sebagai tersangka," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, Senin (30/11).

Edison merupakan rekan bisnis Gulat Medali Emas Manurung yang juga merupakan Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia-Riau. Edison bersama Gulat diduga menyuap Annas Maamun sebesar Rp2 miliar agar perkebunan kelapa sawit yang dimilikinya masuk dalam alih fungsi bukan kawasan hutan.

Dari jumlah tersebut, Edison menyumbang Rp1,5 miliar. Uang tersebut merupakan permintaan langsung dari Annas dengan dalih untuk memuluskan revisi surat perubahan kawasan hutan di DPR. Semula Annas meminta Rp2,9 miliar namun Edison dan Gulat hanya menyanggupi Rp2 miliar.

"Tersangka EEMS diduga memberi hadiah atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau tahun 2014 kepada Kementerian Kehutanan," urai Yuyuk.

Dalam kasus ini, Annas Maamun sendiri telah dijatuhi vonis 6 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung. Sedangkan Gulat dihukum sedikit lebih ringan yaitu 3 tahun oleh Majelis Hakim Tipikor, Jakarta.

BIDIK ZULKIFLI HASAN - Terkait perkembangan kasus suap Annas Maamun ini, Deputi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau Boy Evan Sembiring menyambut baik langkah yang dilakukan KPK ini. Pihaknya mengapresiasi tindak lanjut yang dilakukan tim penyidik untuk menjerat pihak lain dalam kasus korupsi lahan hutan tersebut.

Boy juga meminta KPK tidak hanya berhenti mengembangkan kasus hanya pada pemberi suap, tetapi juga pada pemberi kebijakan. Sebab, mereka juga mempunyai peran penting dalam proses kasus korupsi tersebut.

Salah satu pihak yang diduga terkait dengan perkara ini adalah mantan Menteri Kehutanan yang saat ini menjabat sebagai Ketua MPR Zulkifli Hasan. Alasannya, awal mula kasus korupsi ini adalah penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) yang memberi peluang masyarakat untuk menyodorkan lahan miliknya untuk dialihfungsikan.

"Zulkifli harusnya bisa dijerat juga. Kan kebijakan awalnya dari dia, penerbitan SK nya kan dari dia juga," ujar Boy kepada gresnews.com, Selasa (1/12).

Selain membidik Zulkifli Hasan, Boy juga meminta KPK berani memulai untuk menjerat korporasi. Terlebih lagi, selama ini beberapa korporasi telah terbukti menikmati hasil tindak pidana korupsi terutama dalam kasus alih fungsi lahan di Riau.

"Dilihat korupsinya itu menguntungkan perorangan apa korporasi, kan selama ini gak cuma direkturnya aja, perusahaannya kan turut menikmati hasilnya," ujar Boy.

Terkait Zulkifli, KPK sendiri memang sudah beberapa kali memanggil yang bersangkutan baik dalam proses penyidikan, hingga persidangan. Saat dikonfirmasi apakah pihaknya bisa menjerat Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini, Yuyuk Andriati tidak menampik adanya kemungkinan itu.

"Tentu kalau ada temuan baru dari hasil pemeriksaan EMMS ini pasti akan dikembangkan," kata Yuyuk.

KPK sendiri memang belum pernah menetapkan suatu korporasi menjadi tersangka kasus korupsi. Padahal, dalam beberapa perkara, pihak perusahaan disebut turut menikmati uang korupsi.

PERAN ZULKIFLI HASAN - Dalam amar putusan Pengadilan Tipikor atas Annas Maamun, peran Zulkifli Hasan memang terlihat cukup besar. Majelis Hakim menilai, Revisi SK Menhut Nomor 673/Menhut-II/2014 tanggal 9 Agustus 2014 membuka peluang terjadinya korupsi.

Surat itu berisi tentang perubahan peruntukan kawasan hutan seluas 1.638.249 hektare dan juga perubahan fungsi kawasan hutan seluas 717.543 hektare serta penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 11.552 hektare di Provinsi Riau.

Bahkan, Hakim Tipikor saat membacakan amar putusan Gulat, menyebut Zulkifli sebagai dalang terjadinya perkara tersebut. "Menteri Kehutanan juga memberikan peluang atau harapan apakah akan mengajukan revisi surat keputusan tersebut. Jika bukan karena itu, Annas Maamun, terdakwa (Gulat) dan teman-teman terdakwa tidak akan mengusulkan revisi tersebut," kata Hakim Joko Subagyo saat membacakan vonis Gulat, Senin (23/2).

Pada proses persidangan, Zulkifli yang dihadirkan Jaksa KPK sebagai saksi untuk Gulat mengaku bahwa dirinya justru tidak mengetahui adanya petunjuk pelaksanaan tentang pengajuan izin revisi yang diumumkannya kala itu. Ia justru melemparkan hal ini kepada anak buahnya Direktur Jenderal Planologi Bambang Supijanto.

"Mengenai juklak (petunjuk pelaksaan-red) juknis (petunjuk teknis-red), dialog teknis, analisa itu kewenangan eselon terkait. Menteri tidak sampai ke situ, itu kewenangan Dirjen Planologi," ujar Zulkifli ketika itu.

Saat bersaksi untuk Annas Maamun, Zulkifli Hasan juga menyatakan, Annas Maamun telah salah menafsirkan pernyataannya soal revisi atau penambahan kawasan.

Dijelaskan Zulkifli, saat ia menjabat Menhut, masyarakat Riau kerap mendatangi ke kantornya bahkan Istana Negara untuk menyampaikan keinginan mereka untuk segera memperoleh izin tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). "Saya bahkan sampai diboikot, tidak boleh datang ke Riau. Masyarakat adat ngamuk," katanya.

Hingga kemudian pada Hari Ulang Tahun Riau pada 8 Agustus 2014, ia menyerahkan SK pada Annas. Di hadapan ribuan warga Riau, Zulkifli saat itu menyampaikan bahwa masih ada kesempatan apabila ada masyarakat yang akan mengajukan permohonan.

"Tapi bukan usulan baru, melainkan perbaikan bagi yang keberatan. SK 673 itu bersifat belum mengikat karena masih bisa berubah," katanya.

Namun pernyataan Zulkifli tersebut menjadi peluang bagi banyak pihak untuk mengajukan permohonan supaya kawasannya dimasukkan ke dalam area yang dialih fungsikan menjadi bukan hutan.

"Gubernur kemudian mengajukan perubahan. Saya pun melakukan disposisi untuk melakukan telaah, hasilnya itu tidak memenuhi persyaratan, di luar kawasan yang seharusnya sehingga kemudian itu ditolak," jelasnya.

Alasan penolakan antara lain karena permohonan yang diajukan bukan oleh masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas.

Zulkifli sempat dicecar apakah dalam penerbitan surat tersebut dibutuhkan biaya? Karena Annas sebagaimana dakwaan diduga menerima suap untuk alih fungsi hutan tersebut. "Tidak ada, tidak ada biaya sama sekali," katanya. (dtc)

BACA JUGA: