JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sebagai lembaga penegak hukum yang punya tugas khusus memimpin pemberantasan korupsi di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) punya sebilah taji yang paling ditakuti para koruptor. Taji itu adalah kewenangan melakukan penyadapan terhadap seseorang yang dicurigai akan melakukan tindak pidana korupsi.

Nyaris tak terhitung jumlah kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK yang didapat melalui proses penyadapan ini. Terakhir, taji KPK ini "memakan korban" empat orang pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dua diantaranya adalah anggota DPRD, Bambang Karyanto dan Adam Munandar.

Keduanya diduga kuat menerima suap dari Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Syamsudin Fei dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Beppeda) Fasyar sebesar Rp2,56 miliar yang disinyalir terkait pembahasan APBN Perubahan Kabupaten Musi Banyuasin.

Melihat kemampuan KPK mengendus kasus korupsi lewat penyadapan yang terhitung luar biasa ini, tak heran jika banyak yang bersuara sumbang ketika Dewan Perwakilan Rakyat dalam sidang paripurna Selasa (23/6) lalu memutuskan untuk memasukkan perubahan UU KPK sebagai salah satu prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Terlebih lagi, salah satu yang menjadi poin penting yang bakal direvisi adalah soal kewenangan penyadapan oleh KPK. Anggota DPR menilai bahwa wewenang penyadapan harus dikontrol untuk mencegah adanya unsur pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang.

KEPUTUSAN SALAH KAPRAH - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai langkah DPR merevisi UU KPK dengan alasan pengaturan terhadap wewenang penyadapan salah alamat. Menilik kembali akar permasalahan pengaturan penyadapan di Indonesia, ICJR melihat sebetulnya problem utamanya adalah tidak hadirnya suatu aturan yang komprehensif mengatur mengenai penyadapan dari hilir ke hulu.

"Merevisi UU KPK tidak akan menjawab masalah pengaturan penyadapan di Indonesia dengan beberapa alasan," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Kamis (25/6).

Pertama, merevisi UU KPK hanya akan mempersoalkan kewenangan satu lembaga saja yaitu KPK. Padahal pengaturan penyadapan saat ini juga memberikan kewenangan pada institusi lain seperti kepolisian, kejaksaan dan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk melakukan penyadapan dengan aturan yang minim.

"Mengikuti logika anggota DPR, seharusnya DPR merevisi seluruh aturan perundang-undangan yang mengatur penyadapan dengan standar kontrol yang sama, baik yang mengikat KPK, kejaksaan maupun kepolisian, pertanyaannya, kenapa hanya KPK?" tanya Supriyadi

Kedua, seharusnya DPR dan Pemerintah membuat satu aturan penyadapan dengan tujuan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan. Sebagai informasi, saat ini, terdapat tidak kurang dari 16 peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyadapan dengan standar yang berbeda-beda.

"ICJR meminta agar DPR lebih berfokus pada semua aturan ini ketimbang hanya memperhatikan UU KPK," tegas Supriyadi.

Ketiga, apabila mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi seperti yang dikatakan anggota DPR, maka UU KPK tentu saja tidak akan mampu menampung seluruh persyaratan yang dimintakan dalam putusan MK tersebut.

Dalam putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 tentang pengujian UU ITE terhadap UUD 1945, MK mengamanahkan jika dalam membentuk aturan mengenai mekanisme penyadapan, perlu dilihat syarat penyadapan yakni diantaranya, adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam undang-undang untuk memberikan izin penyadapan. Kemudian, adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, dan pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan.

Serta unsur-unsur yang harus ada dalam pengaturan penyadapan yaitu wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, tujuan penyadapan secara spesifik, kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan, dan adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan penyadapan. Kemudian tata cara penyadapan, dan pengawasan terhadap penyadapan.

Terakhir adalah penggunaan hasil penyadapan, dan hal lain yang dianggap penting yaitu mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan tersebut, serta pengaturan lain berupa sanksi pelanggaran, dan mekanisme internal untuk menjamin HAM.

NIAT DPR DICURIGAI - Atas dasar alasan tersebut ICJR merasa bahwa DPR harus melihat secara jernih persoalan dalam pengaturan penyadapan di Indonesia. Niat DPR untuk merevisi UU KPK dengan alasan untuk menjawab persoalan penyadapan tidak tepat dan patut dicurigai.

Alasannya, kata Supriyadi, persoalan utamanya adalah tidak adanya satu aturan yang komprehensif mengatur mengenai penyadapan dengan syarat-syarat yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila DPR ingin menyelesaikan persoalan penyadapan di hukum Indonesia,maka ICJR merekomendasikan untuk menginventarisasi seluruh aturan terkait dan membuat suatu undang-undang khusus penyadapan, agar pengaturan penyadapan yang selama ini berbeda-beda di masing-masing peraturan dan institusi penegak hukum bisa teratasi.

Terkait hal ini, pihak KPK sendiri tampaknya juga tak ingin taji yang dimilikinya itu dipotong oleh konspirasi antara pemerintan dan DPR. Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengaku akan menyiapkan draf revisi UU KPK jika DPR dan pemerintah tetap bersikukuh tak mau menarik revisi UU KPK dari prolegnas prioritas 2015.

"Kalau itu sudah jadi keputusan politik, maka yang harus dilakukan adalah menyiapkan draft revisi Undang-Undang KPK yang isinya tidak melemahkan KPK," kata Ruki, Rabu (24/6).

Ruki menjelaskan, KPK akan segera membuat draft usulan revisi itu. Selanjutnya, draft akan diberikan kepada DPR untuk dijadikan konsep revisi.

Namun, Plt Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji tetap berharap revisi UU 30 Tahun 2002 dibatalkan. "Bagi KPK bukan soal poin-poin yang akan dimasukkan (seperti penyadapan atau penuntutan), tapi kami tidak melihat urgensinya merevisi UU KPK," kata Indriyanto, Kamis (25/6).

Indriyanto kembali mengingatkan kepada DPR dan pemerintah, merevisi UU KPK malah akan terjadi overlapping. Seharusnya DPR merampungkan RUU KUHP dan KUHAP yang lebih urgent dan telah lama mangkrak. "Merevisi UU KPK tanpa adanya harmonisasi UU terkait lainnya (KUHP/KUHAP, tipikor, KKN, UU penegak hukum lainnya)j ustru akan menimbulkan overlapping di antara regulasi itu," jelasnya.

Jika terjadi overlapping maka akan terjadi tabrakan antar undang-undang. Bahkan berpotensi terjadi kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum. "Bagi kami memang sebaiknya ditunda pembahasannya, meski sudah menjadi prolegnas 2015," tegas Indriyanto yang juga merupakan guru besar hukum pidana itu.

USULAN PEMERINTAH - Revisi UU KPK khususnya kewenangan penyadapan ini sendiri disebut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Subagyo memang diusulkan oleh DPR masuk dalam prolegnas 2015-2019, namun tidak masuk prioritas di 2015. Menurutnya, Yasonna lah yang mendorong kemudian agar dimajukan ke 2015.

Menkum HAM Yasonna Laoly sebelumnya telah menekankan bahwa kewenangan penyadapan KPK perlu direvisi. Yasonna menginginkan, KPK hanya bisa menyadap kala kasus sudah berada di tahap penyidikan.

Hanya saja, Menkum HAM Yasonna Laoly kemudian membantah. Menurutnya revisi UU KPK merupakan kesepakatan dengan Komisi III DPR. "Sikap pemerintah sejak awal tidak mengajukan revisi UU KPK," kata Yasonna, Minggu (21/6).

"Dalam Prolegnas revisi itu diajukan oleh DPR, bukan oleh Pemerintah! Kemudian, pada waktu pembahasan Peppu No. 1 Tahun 2015 tentang KPK, DPR melalui Komisi III yang ditugaskan membahas Perppu KPK membuat catatan persetujuan untuk segera mengajukan revisi UU KPK," sambung Yasonna menegaskan.

Jika tidak, lanjut Yasonna, DPR tidak menyetujui Perppu. Apalagi, menurutnya, pada watku itu tenggat waktu persetujuan DPR sudah dekat, jika tidak, Perppu tidak berlaku.

"Konsekuensinya, pengangkatan Komisioner KPK yang tiga orang itu batal, kalau Perppu KPK tidak disetujui. Kita terima catatan tersebut. Itu sebabnya, dalam pengajuan revisi Prolegnas, revisi UU KPK dimasukkan untuk 2015, yang sebelumnya direncanakan 2016. Namun, revisi RUU KPK adalah menjadi Hak Inisiatif DPR," sebut Yasonna.

Yasonna mengatakan, DPR berhak mengajukan RUU dan nantinya akan dibahas bersama dengan pemerintah. Jadi, lanjutnya, pemerintah tidak akan mengajukan draft revisi RUU KPK.

"Kalau pada akhirnya, DPR mengajukannya Revisi RUU KPK, yang merupakan hak konstitusional DPR, maka Presiden dapat menugaskan Menteri terkait membahas namun meminta untuk menunda pembahasannya," ucap politisi PDIP ini.

"Jadi, sikap pemerintah sebenarnya jelas. Sejak awal tidak berinisiatif mengajukan revisi RUU KPK," lanjut Yasonna menegaskan.

JADI REBUTAN LEMBAGA LAIN - Ketika di satu sisi kewenangan penyadapan milik KPK ingin dipangkas, di sisi lain, kewenangan penyadapan itu justru ingin dimiliki penegak hukum lain. Dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK, diatur lembaga antikorupsi itu bisa menyadap di tahap penyelidikan. Penyadapan tak perlu izin dari pengadilan.

Hal itulah yang membuat KPK kerap menangkap pelaku korupsi melalui sebuah operasi tangkap tangan. Pembicaraan terkait rencana pemberian uang panas, dapat dideteksi dari awal. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pun mengakui mekanisme penyadapan seperti yang dimiliki KPK memudahkan penegak hukum untuk menjalankan tugasnya. Bahkan dia ingin lembaganya memiliki kewenangan serupa.

"Kita minta malah penyadapan kayak KPK kalau boleh. Kan beda kewenangannya, sama-sama penyadapan tapi beda antara KPK dan Polri. Kalau kita dikasih seperti itu, sangat bersyukur sekali," kata Kapolri di Istana Negara, Jakarta, Rabu (24/6).

Jika Polri punya wewenang penyadapan tidak hanya dalam pro justicia, Badrodin yakin institusinya bakal lebih dahsyat dalam bekerja. Yang terjadi selama ini, Polri harus punya izin dari pengadilan jika hendak menyadap. Itu pun harus lebih dulu ada kasusnya.

"Tapi kan kalau KPK tidak, ada kasus nggak ada kasus, disadap siapa saja boleh. Kalau kita diperbolehkan kayak gitu, sangat terima kasih sekali kita. Kita maunya juga seperti itu, supaya ada kemudahan," lanjutnya lagi.

"Karena memang kalau kita sadap, nanti alat buktinya hanya satu. Alat penyadapan ini kan nggak bisa dijadikan alat bukti kalau polisi. Kalau KPK kan bisa, karena nanti kalau kita nyadap, kita ilegal," sambung Badrodin.

Senada dengan Badrodin, Kejagung juga ´mengagumi´ mekanisme penyadapan yang dimiliki KPK. Kejaksaan merasa sangat terbantu jika diberi kewenangan yang sama. "Kalau diberi kewenangan seperti KPK kan mantap," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Widyo Pramono.

POTONG ROH KPK - Menkum HAM Yasonna Laoly sebelumnya telah menekankan bahwa kewenangan penyadapan KPK perlu direvisi. Yasonna menginginkan, KPK hanya bisa menyadap kala kasus sudah berada di tahap penyidikan.

Senada dengan pihak Polri dan Kejagung, plt pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji menyatakan inti dari UU 30 Tahun 2002 adalah pada bagian penyadapan. Karena hal itu yang membuat KPK istimewa.

"Roh dari UU KPK ada di Pasal 44 (tentang penyadapan), jika dibatasi hanya dalam pro justicia, sama juga dengan melakukan reduksi dalam kewenangan KPK, jika diimplementasikan itu lebih baik KPK dibubarkan saja," ujar Indriyanto.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang terancam kehilangan taringnya jika wewenang penyadapan raib dalam revisi UU lembaga tersebut. Karena itu KPK berharap nantinya draft usulan KPK yang akan dipakai oleh DPR. Bukan malah draft usulan revisi undang-undang KPK yang justru melemahkan KPK.

"Setiap konsep yang mengandung tujuan pelemahan dan pengurangan kewenangan harus kita tolak," tegas PLT Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki.

KPK juga menyayangkan sikap DPR yang menyetujui revisi UU KPK masuk Prolegnas 2015. Padahal, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III, pimpinan KPK secara tegas sudah menyebut jangan revisi UU KPK, terutama kewenangan penyadapan.

Hal tersebut tentu bisa dipahami, mengingat penyadapan merupakan senjata ampuh KPK dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Jika kewenangan penyadapan dibatasi, bisa jadi cerita ´indah´ OTT KPK akan berakhir.

"Revisi membahas penyadapan, itu konsep yang melemahkan KPK dan menghilangkan kewenangan KPK karena dalam pasal 12 itu ada termasuk pencekalan, tindakan-tindakan yang non pro justicia," kata Wakil Ketua KPK Indriyanto Senoadji. (dtc)

BACA JUGA: