JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perlindungan dan rasa aman dalam menangkap ikan di laut perbatasan belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh nelayan Indonesia. Kasus penangkapan nelayan oleh pihak keamanan negara tetangga di perbatasan kembali terjadi. Ironisnya, negara lalai memberikan bantuan hukum terhadap kasus ini. Kali ini Polisi Maritim Malaysia menangkap lima neyalan Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau di perairan Indonesia.

Pada 12 Februari 2014, kurang lebih jam 10.00 WIB sebanyak kurang lebih 10 orang Polisi Maritim Malaysia melakukan penangkapan terhadap Kapal KM Sie Mie Lie (4) bernomor R. 8 NO. 3332 dengan Tonase 6 Gross Ton. Lima orang awak kapal yang terdiri dari 1 orang tekong (Nakhoda) bernama Evi Sugianto (41 tahun) dan 4 orang Anak Buah Kapal (ABK) yaitu Mas’ud (33 tahun), Hidayat (29 tahun), Marhidin (23 tahun), dan Riki Wahyudi (20 tahun) ditangkap dengan alasan melanggar batas wilayah berlayar.

Hanya saja penangkapan itu dianggap tidak berdasar. Sebab saat penangkapan terjadi, kapal tersebut tengah berlabuh di laut Kabupaten Bengkalis (perairan wilayah RI). Saat itulah mendadak para nelayan itu didatangi Polisi Maritim Malaysia. Dengan menodongkan senjata, Polisi Maritim Malaysia menyatakan bahwa kapal yang mereka gunakan masuk di wilayah perairan Malaysia. Polisi berjumlah kurang lebih 10 orang, mengunakan Kapal Polisi Maritim Malaysia.

Menurut pengakuan para nelayan, kawasan ini memang jarang sekali dikontrol oleh Patroli Polairud dan saat mereka ditangkap tidak ada Polairud. Karena hendak ditangkap pihak asing, secara spontan, Sugianto sang nakhoda Kapal menelepon pemilik kapal yang bernama Tohari guna mengabarkan peristiwa tersebut.

Seketika saat tersambung, Sugianto menyerahkan teleponnya ke seorang petugas Polisi Maritim Malaysia. Tohari pun segera menanyakan alasan penangkapan itu. Tetapi bukannya dijawab, telepon itu malah dimatikan. Pembicaran terputus tanpa ada alasan yang jelas terkait penangkapan.

"Setelah itu tidak ada penjelasan lain karena handphone dimatikan secara mendadak dan tidak bisa dihubungi kembali," kata Tohari dalam pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Kamis (24/4).

Tohari mengatakan, penangkapan tersebut aneh dan tidak berdasar. Saat penangkapan, menurut pengakuan nakhoda, posisi kapal masih di wilayah NKRI dengan acuan GPS yang terpasang dan aktif di kapal tersebut dengan jarak sekitar 3-4 mil dari garis pantai.

Karena itulah, Tohari kemudian mendatangi kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Balai Karimun (Kepri) dan meminta kebenaran informasi tersebut. Tohari ditemui oleh seorang pengawas dinas perikanan bernama Yusufian. belakangan diketahui Yusufian ditunjuk sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Setelah mendengarkan laporan Tohari, Yusufian menelepon Konsulat Jenderal RI di Johor Baru Malaysia.

Laporan Yusufian diterima seorang staf bernama Hendro. Orang ini menurut keterangan Yusufian, mengaku sebagai utusan Polri Indonesia di Malaysia. "Beliau membenarkan saat ini Kapal KM. SIE MIE LIE sedang ditahan oleh polisi Malaysia, tepatnya di Rumah Tahanan Sungai Udang Melaka," kata Yusufian.

Hanya saja dalam kesempatan itu, justru orang bernama Hendro terkesan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Berdasarkan laporan Yusufian, diketahui Henro malah meminta uang kepada keluarga kelima nelayan itu sebesar Rp3,5 miliar untuk membayar denda tekong dan masing-masing ABK harus menyediakan dana Rp350 juta. Sementara kapal disita pemerintah Malaysia.

Tohari selaku pemilik kapal ketika dikabari soal permintaan itu, mengaku tak sanggup untuk memenuhi permintaan uang yang totalnya Rp4,9 miliar itu. Hanya saja untuk membuktikan kasus ini ke pengadilan Malaysia pun, menurut Tohari sangat sulit.

Kesulitan itu adalah untuk membuktikan di Mahkamah Malaysia posisi kapal masih berada di perairan RI. Aalaupun bukti sudah ada berupa memori GPS, kabarnya dalam kasus model begini, pihak pengadilan Malaysia tidak pernah mau membuka hasil rekaman GPS itu. Kata Tohari, memori rekaman GPS tersebut berada di tangan Hendro selaku utusan Indonesia untuk menangani kasus ini.

Hal itu pula kabarnya yang mendasari permintaan uang dari Hendro kepada pihak nelayan dan Tohari. Lantaran kasus tersebut sampai saat ini belum ada titik terang kapan bisa diselesaikan dan nelayan bisa dibebaskan, Tohari pun mengaku hanya bisa pasrah. "Saya berharap ada bantuan dari pihak pemerintah untuk membebaskan para nelayan yang di tahan oleh Police Marine Malaysia tersebut," ujarnya.

Tohari sendiri sangat yakin dalam kasus ini kapal miliknya Malaysia lah yang melanggar wilayah Indonesia dan didiamkan aparat RI lantaran tidak bisa dideteksi. Kasus ini bukan yang pertama terjadi, sebelumnya juga pernah terjadi namun nelayan tradisional tersebut dapat dibebaskan. Keluarga korban sudah melaporkan ke Dinas Kelautan dan Perikanan, Bakorkamla dan Pangkalan TNI AL (LANAL) Tanjung Balai Karimun, namun tidak mendapat tanggapan yang berarti.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan, dari laporan yang dia terima atas peristiwa itu, dia yakin Malaysia yang telah melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 karena memasuki wilayah kedaulatan Indonesia. "KIARA mendesak Presiden Republik Indonesia segera bertindak atas pelanggaran itu," katanya kepada Gresnews.com, Rabu (24/4).

Presiden, kata Halim, harus mengirimkan nota keras penangkapan nelayan Tanjung Balai Karimun yang dilakukan oleh Polisi Maritim Malaysia. Kedua, menginstruksikan kepada Menteri Luar Negeri dan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk bersinergi membebaskan kelima nelayan dan kapal yang ditahan Malaysia.

Ketiga, kata Halim, Presiden harus memerintahkan pengusutan dugaan keterlibatan oknum Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Balai Karimun dan Konsulat Jenderal RI di Malaysia terkait indikasi pemerasan terhadap warga negara yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Hubungan Luar Negeri. "Yang terakhir, usut juga pihak Lanal Karimun karena ketika Tohari melapor, laporannya hanya ditampung tanpa upaya tindak lanjut," kata Halim.

BACA JUGA: