JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah sepakat menunda pembahasan revisi Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK). Salah satu alasan penundaan agar tidak menimbulkan kegaduhan di tengah konsentrasi pemerintah memperbaiki kelesuan ekonomi. Meskipun demikian, penundaan ternyata tak mengakhiri polemik tentang perlu tidaknya revisi UU KPK.

Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP) yang dimotori pakar hukum pidana Romli Atmasasmita, kembali mengemukakan alasan-alasan yang mengharuskan UU KPK direvisi.
Romli berpendapat, UU KPK boleh direvisi tetapi harus punya dasar yang jelas.

Menurutnya, revisi RUU KPK bertujuan bukan untuk melemahkan, tetapi untuk menguatkan lembaga antirasuah itu. Maka itu, ia menghimbau seluruh pihak untuk berfikir secara subyektif mengenai apa-apa saja pasal-pasal yang direvisi.

Romli menegaskan, KPK bukanlah dewa yang tidak punya kekurangan. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga itu tentu memiliki berbagai macam kesalahan. LPIKP mengungkapkan, beberapa persoalan yang disebutnya sebagai kebobrokan KPK,  yang selama ini tidak diketahui masyarakat.

Salah satunya terkait laporan keuangan KPK yang mereka tuding banyak kejanggalan dan menyalahi aturan. Diantaranya terkait penyerapan anggaran yang minim, serta penyetoran uang rampasan negara yang menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Wakil Direktur LPIKP Kodrat Wibowo memberi pemaparan dalam laporan keuangan KPK dari 2009 hingga 2013, penyerapan anggaran lembaga ini tidak mencapai 70 persen. Dan hanya pada 2014 saja, KPK menyerap anggaran hingga 90 persen.

Berikut jumlah anggaran dan penyerapan KPK dari 2009 hingga 2014 :

1. Pada 2009, jumlah anggaran diterima KPK sebesar Rp461,7 miliar, tetapi realisasi anggaran hanya sekitar Rp229,26 atau 50 persen

2. Pada 2010, jumlah anggaran diterima Rp508,5 miliar, tetapi realisasinya hanya sekitar Rp268 miliar atau 53 persen.

3. Pada 2011, jumlah anggaran diterima KPK sekitar Rp576,5 miliar, dan realisasinya sekitar Rp297,1 miliar atau 52 persen.

4. Pada 2012, jumlah anggaran yang diterima KPK sekitar Rp606,6 miliar dan realisasinya Rp335,5 miliar atau 55 persen.

5. Pada 2013, jumlah anggaran yang diterima KPK sekitar Rp703,8 miliar dan realisasinya Rp465,8 miliar atau 66 persen.

6. Pada 2014, jumlah anggaran yang diterima KPK Rp624,1 miliar dan realisasinya Rp558,7 miliar atau 90 persen.

"Kami berpendapat, ini adalah bukti bahwa KPK secara efisiensi masih lemah kinerjanya baik dari sisi manajemen, pelaksanaan program, pengawasan dan eksekusi pasca putusan (Hakim Tipikor)," ujar Kodrat, Selasa (13/10) di Jakarta.

HARUS UTAMAKAN PENCEGAHAN - KPK selama ini memang dikenal dengan bidang penindakannya. Tercatat berbagai kasus korupsi besar terungkap oleh lembaga antirasuah ini baik pada saat penyidikan, maupun karena operasi tangkap tangan.

Sejumlah nama besar mulai dari menteri, anggota dewan, kepala daerah, hakim, hingga aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan sudah dijerat karena tersangkut kasus korupsi. Masyarakat juga mengetahui bagaimana para tersangka, terdakwa atau pun terpidana memakai modus untuk merampok uang rakyat.

Namun, penindakan semacam itu ternyata dianggap tidak efisien bagi KPK. Sebab, meskipun banyak mengungkap kasus besar, tetapi kerugian negara yang baru dikembalikan dalam kurun waktu 6 tahun hanya berjumlah Rp728 miliar.

Padahal, total realisasi anggaran pada kurun waktu yang sama jika dijumlah totalnya mencapai Rp3 triliun. Hal ini tentu saja berbeda jauh dari awal tujuan berdirinya KPK yaitu mengembalikan harta kekayaan negara yang diambil oleh para koruptor.

"Kalau dilihat sejarah, dalam UU KPK, masukkan unsur kerugian keuangan negara yang menyatakan termasuk tindak pidana korupsi. Maksudnya sejauh mungkin pemberantasan korupsi bisa mengembalikan uang negara," kata Romli.

Untuk itu menurut Romli, unsur pencegahan seharusnya bisa lebih diutamakan. Terlebih lagi, beberapa hari lalu KPK telah melakukan kajian dalam menyelamatkan potensi kerugian negara yang berasal dari sektor kehutanan sekitar Rp60 triliun.

Namun, pelaksana tugas pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa fungsi pencegahan dan penindakan harus berjalan beriringan. Sebab, perkara korupsi yang ada di Indonesia saat ini sudah banyak terjadi, sehingga harus ada tindakan tegas untuk menanggulanginya.

"Semuanya kan harus berjalan bersama, penindakan harus tetap ada, pencegahan harus ditingkatkan," ujar Indriyanto.

BELUM SETOR DENDA TERPIDANA - Selain itu menurut Kodrat juga ada perihal denda yang belum disetorkan KPK dari para terpidana kasus korupsi. Pengadilan Tipikor, memang selalu menjatuhkan denda bagi terdakwa yang terbukti melakukan korupsi. Jumlah denda itu beragam, mulai dari Rp50 juta, hingga Rp1 miliar.

Selama 8 tahun, yaitu sejak periode 2005-2013 ternyata KPK belum menyetorkan seluruh denda para terpidana kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dari sekitar Rp18 miliar, ternyata yang baru dibayarkan hanya sekitar Rp5 miliar.

Sehingga, jumlah yang belum terbayarkan yaitu Rp13 miliar. Nilai tersebut belum ditambah dengan denda keterlambatan bayar yaitu 2 persen dan denda pendapatan yang ditangguhkan sebesar 2 persen. Jadi, total dana yang belum disetorkan ke negara Rp14 miliar.

Hal ini itu dikritik LPIKP, apalagi selama ini KPK tidak pernah memaparkan keterlambatan ini kepada masyarakat. "Miris, KPK bicara transparansi, akuntabilitas. Tapi hal -hal seperti ini tidak pernah diungkapkan," ujar Kodrat.

Hal senada juga diungkapkan oleh Romli. Menurutnya apa yang dilakukan KPK dengan belum membayarkan jumlah denda kepada negara merupakan sebuah bentuk korupsi. "Ini korupsi yang bukan kerugian negara, tetapi korupsi karena kelalaian," pungkasnya.

Ia menjelaskan, jika KPK telah menyetorkan dana tersebut, tentunya bisa bermanfaat untuk keperluan lain. Tetapi karena belum menyetorkan, maka negara defisit dan terhambat dalam membiayai pembangunan.

Sayangnya Indriyanto telah meninggalkan ruangan sehingga tidak bisa dikonfirmasi mengenai hal ini.  "Sayang prof Indriyanto sudah pulang, padahal kita mau konfirmasi. Tapi tadi waktu saya ngobrol katanya masalah ini sudah beres," ujar Romli.

Salah satu perumus UU KPK ini berharap, pada masa kepemimpinan berikutnya, hal-hal seperti ini tidak lagi terjadi. Dan revisi UU KPK memang diperlukan untuk meningkatkan kinerja lembaga rasuah ini, bukan malah melemahkan KPK.

Sementara itu Plh Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk  Andriati membantah tudingan LPIKP. Menurutnya apa yang disampaikan Romli dan kawan-kawan tentang keterlambatan KPK mengembalikan uang negara dari  terpidana korupsi tidak benar.

BACA JUGA: