JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri serius membongkar kasus pembuatan dan pendistribusian vaksin palsu untuk bayi dan balita. Hasil kejahatan ini diduga mencapai miliaran rupiah. Penyidik akan mengenakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) untuk menelusuri aliran hasil kejahatannya.

"Kami kenakan ke seluruh pelaku khususnya pembuat vaksin karena mereka mendapatkan harta hasil kejahatan cukup besar, dan saat ini dalam proses pengejaran asetnya," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jendral Polisi Agung Setya Imam Effendi di Bareskrim Mabes Polri, Senin (27/6).

Seperti diketahui, dua tersangka yang juga pembuat vaksin palsu ini Rita Agustina dan suaminya Hidayat Taufiqurahman memiliki rumah mewah di Kemang Pratama Regency, Bekasi Timur. Keduanya juga mengoleksi sejumlah kendaraan yang tergolong mewah. Mereka ditangkap di rumah mewahnya di Kemang Pratama Regency, Bekasi Timur, pada Selasa (21/6) malam. Dari penangkapan itu polisi membawa barang bukti berupa 36 dus vaksin atau sekitar 800-an ampul.

Rita yang ditangkap Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) Mabes Polri, adalah lulusan sebuah akademi perawat. Dia juga pernah bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. "Dia (Rita) pernah jadi perawat di RS dan dia lulusan akademi perawat. Kalau lulusannya dari mana, nanti saya lihat dulu," ujar Agung Setya.

Dalam kasus ini, penyidik Bareskrim terus melakukan pengembangan. Terbaru, tim penyidik kembali menangkap dua orang yang merupakan pasangan suami istri di Semarang, Jawa Tengah, Senin (27/6). Keduanya ditangkap di sebuah hotel di Semarang. Peran pasutri yang ditangkap di Semarang ini sebagai distributor.

"Total tersangka dengan ditangkapnya hari ini jumlahnya 15," kata Agung.

Sepekan ini Bareksim dari jajaran Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus membongkar sindikat pembuat vaksin palsu. Hal ini bermula pada Selasa (21/6) penyidik menggrebek sebuah apotek Rakyat Ibnu Sina di Pasar Kramat Jati Blok LO I BKS 050. Di Apotek ini ditemukan vaksin palsu.

Dari apotek ini polisi menangkap M. Farid sebagai penjual vaksin palsu dengan omset perminggu Rp2,5 juta. Lalu polisi mengembangkan ke lokasi kedua. Polisi berhasil menangkap seorang kurir bernama Thamrin di Jalan Manunggal Kalisari, Jakarta Timur dengan omset Rp6 juta perminggunya.

Kemudian di lokasi ketiga di Lampiri, Jati Bening. Polisi menangkap Seno sebagai kurir dengan omset Rp20 juta per minggu. Berlanjut di lokasi keempat di Puri Hijau, Bintaro polisi mengamankan Agus Priyanto yang diketahui sebagai produsen. Dalam seminggu, Agus dapat meraup omset hingga Rp17,5 juta per minggu.

Di lokasi ke lima di Jalan Serma Hasyim, Bekasi Timur, diamankan Syahrial sebagai produsen vaksin palsu dengan omsetRp 25 juta per minggu. Sedangkan di Kemang Regency, petugas menangkap pasangan suami istri bernama Rita Agustina dan Hidayar Taufiqurahman yang diketahui juga sebagai produsen. "Kami temukan juga alat press pembuat kemasan dengan omset Rp22 juta per minggu," jelas Agung.

Atas perbuatan mereka disangkakan Pasal 196 jo Pasal 98 dan atau Pasal 197 jo Pasal 106 dan atau Pasal 198 jo Pasal 108 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan atau Pasal 62 jo Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

KEMENKES DAN BPOM TELEDOR - Dengan terbongkarnya kasus pembuatan vaksin palsu berikut pendistribusiannya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) teledor dalam pengawasan di industri farmasi.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan kondisi ini menunjukkan pengawasan oleh Kemenkes dan BPOM terhadap industri farmasi secara keseluruhan adalah lemah, bahkan teledor. Tulus bahkan menyebut kejadian ini sebagai peristiwa yang tragis karena pemalsuan vaksin bayi ini telah berlangsung sangat lama.

"Mengingat praktik pemalsuan itu sudah sangat lama, 13 tahun!" kata Tulus dalam keterangan resminya.

Kemenkes dan BPOM diminta lebih sensitif terhadap maraknya pemalsuan produk-produk farmasi di Indonesia, khususnya pada jenis vaksin. Mengapa produk vaksin yang juga merupakan produk farmasi tidak terdeteksi?.

Beredarnya vaksin palsu di institusi kesehatan dianggap oleh Tulus sebagai hal yang berbahaya. Kemenkes diminta memberikan jaminan di rumah sakit bahwa vaksin yang dipergunakan adalah asli, termasuk melakukan audit ulang untuk memastikan keaslian obat-obatan lainnya.

Ketua DPR Ade Komarudin dalam sidang paripurna DPR, Senin (27/6) juga menilai peredaran vaksin palsu yang terjadi saat ini, merupakan keteledoran dari pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kemenkes dan Badan POM seharusnya melakukan investigasi terhadap kemungkinan oknum rumah sakit atau institusi kesehatan lain yang sengaja membiarkan atau bahkan bekerja sama dengan produsen vaksin palsu tersebut.

Politisi Golkar ini meminta berbagai pihak, khususnya BPOM tidak membiarkan hal ini berlarut-larut. "Tidak bisa dibiarkan, ini menyangkut soal kesehatan masyarakat. Jika kita biarkan, ini akan berdampak buruk dan meluas di masyarakat," jelas Ade.

SULIT TERDETEKSI - Komplotan vaksin palsu telah beroperasi sejak 13 tahun lalu dan baru kini tercium kepolisian. Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jendral Polisi Agung Setya menjelaskan sulitnya mendeteksi vaksin palsu tersebut karena dampak yang ditimbulkan tidak langsung diketahui. "Vaksin palsu atau asli ketika diberikan tidak nampak secara langsung, baru nanti setelah ada kuman yang menyerang dia karena dia tidak divaksin (yang asli), baru nampak dampaknya," katanya.

Peredaran vaksin palsu awalnya terungkap dari laporan sebuah rumah sakit di Bogor yang curiga dengan vaksin yang dikirimkan sebuah distributor. Setelah dicek di laboratorium ternyata palsu. Bareskrim lalu menggerebek CV Azka Medical di Bekasi pada 16 Juni 2016, disusul rumah di Puri Bintaro, Kemang Pratama Regency.

Asal muasal kemasan vaksin palsu terus diselidiki polisi. Terungkap, vaksin palsu dikemas dalam botol-botol bekas yang dikumpulkan para pelaku dari rumah sakit. "Ya, terutama untuk botol bekas," kata Agung Setya.

Agung belum dapat memastikan apakah ada atau tidak oknum rumah sakit yang bermain dalam kasus vaksin palsu ini. "Kami lihat nanti seperti apa, apakah tukang sampahnya atau siapa. Kami lihat nanti," ujar Agung.

Menurut Agung, hasil laboratorium juga belum menyimpulkan kandungan dari vaksin palsu tersebut. Namun demikian ada beberapa cara membedakan vaksi palsu dengan vaksin asli. "Mungkin dilihat dari tubenya ya. Rubber tubenya itu (penutup karetnya itu) nampak warnanya lebih suram dari yang asli. Kemudian bentuknya juga tidak rapi," ujar Agung.

Harga vaksin palsu lebih miring Rp 200 ribu-400 ribu dibandingkan harga vaksin asli yang mencapai Rp 900 ribu. Pembuat vaksin palsu meraup keuntungan hingga ratusan juta per bulan.

Peredaran vaksin palsu sudah sampai kota-kota di 6 provinsi. Polisi juga menyelidiki apakah vaksin palsu juga merambah ke daerah di luar 6 provinsi itu. "Peredaranya di Medan (Sumut), Yogyakarta, Semarang (Jateng), Jakarta, Banten, dan Jawa Barat," ujarnya.

Menurut Agung, pihaknya sedang menyelidiki apakah vaksin oplosan itu juga beredar di daerah lain. "Belum bisa disebutkan lagi lokasi peredarannya. Ini lagi kita kembangkan," kata Agung.

Polisi telah menangkap 15 orang dalam kasus ini. Antara lain mereka ditangkap di Jakarta, Bekasi, Tangsel, dan Semarang. Mereka berperan sebagai produsen, distributor, dan pembuat/pencetak label dan logo vaksin. (dtc)

BACA JUGA: