JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus korupsi di daerah tak kalah masifnya dengan kasus-kasus korupsi di tingkat pusat. Terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT)  dua pejabat pemerintah daerah (pemda) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Mereka adalah Bambang Karyanto dari Fraksi PDI Perjuangan, Adam Munandar dari Fraksi Gerindra. Kemudian dua pejabat pemda yaitu Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Musi Banyuasin, Syamsuddin Fei serta Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Faisyar. Dalam penangkapan ini KPK mengamankan uang senilai Rp2,56 miliar.

Kasus korupsi di daerah memang bukan kali ini terjadi. KPK beberapa kali mengungkap kasus suap seperti yang terjadi pada mantan Bupati Bogor, Rahmat Yasin terkait alih fungsi lahan hutan, kemudian kasus dugaan pemerasan yang dilakukan mantan Bupati Karawang Ade Swara, serta kasus sengketa pilkada kota Palembang yang menjerat mantan wali kota serta istrinya, Romi Herton dan Masyito.

Tak pernah surutnya korupsi yang terjadi didaerah membuat gagasan KPK "membuka cabang" dan hadir di daerah kembali terlontar.  Mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua menyarankan agar lembaga tersebut mempunyai perwakilan di provinsi. Sebabnya, korupsi di daerah seakan tidak terkontrol dan sudah menjalar ke berbagai institusi dari legislatif hingga eksekutif.

Namun sayang, langkah tersebut tidak pernah disetujui anggota dewan. "Karena UU mengatakan, jika dianggap perlu KPK bisa membuka perwakilannya di tingkat provinsi. Tapi DPR tidak pernah mendukungnya, dalam bentuk tidak memberikan anggaran," kata Abdullah, Senin (22/6).

Menurut Abdullah, jika KPK hanya ada di pusat, maka tidak bisa mengontrol dugaan korupsi yang ada di daerah. Terlebih lagi jika koordinasi supervisi yang dilakukan KPK bersama Kepolisian dan Kejaksaan setingkat Polda maupun Kejati belum berjalan secara optimal.

Abdullah mengungkap ciri suatu daerah yang tingkat korupsinya cukup rawan. "Kalau PAD (Pendapatan Asli Daerah-red) tinggi, APBD tinggi, tetapi pembangunan tidak lancar, para pejabat daerah itu terindikasi korupsi," ujarnya.
GAGASAN LAMA - Gagasan ini sebenarnya bukan barang baru. Indonesian Corruption Wacth (ICW) sempat menggelontorkan gagasan pembentukan perwakilan KPK di daerah. Pertimbangannya fakta jumlah korupsi di daerah lebih besar dibanding pusat. Data Independent Report Indonesia ICW 2007 mencatat, 60,6 persen aktor korupsi banyak terjadi di tingkat rendah.

Pembentukan perwakilan KPK di daerah sempat direspon oleh Ketua KPK periode 2007-2012 Antasari Azhar sebagaimana dilansir situs KPK. Antasari saat itu mengaku telah menyiapkan rencana untuk memperlebar sayap pemberantasan kasus korupsi di daerah. Sejauh ini, konsep yang dibayangkan Antasari adalah KPK membuka kantor perwakilan di tingkat provinsi atau berdasarkan kewilayahan (zona).

Plt komisioner KPK Johan Budi Sapto Pribowo mengakui wacana kehadiran KPK di daerah bukanlah hal baru. Selain saat Antasari sebagai ketua KPK, gagasan ini juga sempat muncul ketika KPK dipimpin Abraham Samad dan Bambang Widjajanto. KPK bahkan telah menunjuk lokasi yang direncanakan sebagai tempat KPK bertugas. "Sebenarnya, wacana itu sudah ada tahun lalu, namun karena situasinya masih belum memungkinkan maka rencana itu ditunda," kata Johan.

Mantan Deputi Pencegahan ini menjelaskan, ketika itu pihaknya memang telah melakukan kajian bahwa KPK memang harus ada di beberapa daerah. Tetapi untuk saat ini kajian tersebut ditunda dan hanya difokuskan di Jakarta saja.

Sementara itu Wakil Ketua KPK sementara Indriyanto Seno Adji menganggap KPK masih belum perlu hadir di daerah. Menurut Indriyanto, KPK masih bisa mengawasi berbagai dugaan terjadinya korupsi dari pusat tanpa harus terjun secara tetap di suatu daerah tertentu.

"Bagi saya, kelembagaan ini masih cukup efektif dilakukan di pusat ini, selain itu KPK juga dpt memberikan kontribusi menjaga efisiensi keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar," kata Indriyanto saat dikonfirmasi gresnews.com, Selasa (23/6).
RENTAN PENYELEWENGAN - Sementara itu ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar meminta KPK memikirkan secara matang jika ingin melebarkan sayapnya di daerah. Fickar pun membeberkan kerugian serta keuntungan yang didapat jika lembaga antirasuah ini menjangkau hingga ke daerah.

"Pengawasan terhadap potensi korupsi menjadi ketat, sehingga sedikit banyak berpengaruh terhadap tingkat korupsi di daerah," kata Fickar memaparkan keuntungannya.

Sedangkan untuk kerugian, Fickar khawatir keberadaan KPK di daerah justru dimanfaatkan oknum-oknum tertentu untuk memeras para pejabat serta pengusaha yang terindikasi korupsi dengan menjual nama lembaga antirasuah ini.

Sebelumnya mantan Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Handoyo Sudrajat pernah mengatakan pembentukan perwakilan KPK di daerah sulit terwujud apabila kultur birokrasinya belum berubah. Menurut Handoyo yang sempat menjabat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, birokrasi di daerah masih cenderung permisif terhadap perilaku koruptif.

Sebagai contoh, adanya forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) yang didalamnya ada alokasi bantuan anggaran kepada institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. "Pimpinan KPK di daerah bisa terkontaminasi atau bahkan terkooptasi kalau kulturnya seperti ini," ujarnya.  

BACA JUGA: