JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengalami kekalahan dalam persidangan praperadilan terkait penetapan tersangka. Kali ini, KPK kalah dari tersangka kasus korupsi dana pendidikan luar sekolah (DPLS) di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), Marthen Dira Tome.

Marthen, yang adalah bupati Kabupaten Sabu Raijua, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak November 2014. Kasus tersebut tadinya ditangani Kejaksaan Tinggi NTT sebelum diambil alih oleh KPK.

Marthen saat ditetapkan sebagai tersangka memang langsung mengatakan akan mengajukan gugatan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka. Namun hal itu tidak dilakukan, hingga dua tahun kemudian, yaitu tanggal 8 April 2016 dia baru mengajukan gugatan tersebut ke PN Jakarta Selatan.

"Saya ini seorang bupati. Tentu saya punya prinsip-prinsip sebagai negarawan. Walaupun saya pernah mengatakan mempraperadilan KPK, bukan serta merta kita dengan emosional langsung melakukan praperadilan waktu itu," kata Marthen soal alasannya menunda mengajukan praperadilan.

Upaya Marthen tersebut rupanya tak sia-sia. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonannya agar hakim memutuskan penetapannya sebagai tersangka oleh KPK tidak sah. "Menyatakan memutuskan menerima permohonan pemohon untuk sebagiannya," kata Nursiam yang menjadi hakim tunggal dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Rabu (18/5).

Dalam amar putusannya, hakim juga menyatakan surat perintah penyidikan yang dikeluarkan KPK tidak sah. "Menyatakan surat perintah penyidikan (Sprindik) Nomor: Sprin.Dik/49/01/10/2014 tanggal 30 Oktober 2014, dinyatakan tidak sah," kata hakim Nursiam.

Selain itu, hakim memerintahkan KPK untuk menghentikan penyidikan terhadap Marthen Dira Tome yang sudah ditetapkan tersangka pada 30 Oktober 2014. "Memerintah kepada termohon menghentikan penyidikan," putus Nursiam.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan penetapan Marthen sebagai tersangka tidak berdasarkan bukti permulaan yang cukup sehingga tidak memiliki konsekuensi hukum yang tetap. Menurut hakim, penetapan tersangka seharusnya didasarkan dua alat bukti permulaan.

Terkait dengan pengambilalihan perkara oleh KPK, kata hakim, mengharuskan menyerahkan tersangka dan seluruh alat bukti. Namun dalam pengambilalihan itu, KPK tidak memiliki alat bukti yang cukup karena Kejati NTT sudah menutup kasus tersebut dengan alasan tidak menemukan alat bukti.

Dengan demikian, tindakan termohon (KPK) melanggar Pasal 8 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Karena Kejaksaan Tinggi NTT belum menemukan alat bukti, maka KPK saat mengeluarkan sprindik penetapan tersangka KPK harus mencari bukti permulaan yang baru. Namun KPK tidak melakukan hal tersebut. "Tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dalam logika hukum," kata Nursiam.

Selain itu, alat bukti berupa laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK Nusa Tenggara Timur yang dijadikan dasar oleh KPK tak dapat diterima hakim. Nursiam menyatakan, LHP BPK tersebut merupakan laporan audit yang dilakukan secara reguler, sehingga tak bisa dijadikan dasar menyatakan kerugian negara.

Penetapan tersangka Marthen juga tidak didahului dengan pemeriksaan terhadap calon tersangka. Bahkan Marthen menyatakan dirinya dipanggil saat dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini juga dimuat dalam pertimbangan hakim.

Kasus ini bermula ketika Marthen Dira Tome diperiksa terkait dugaan korupsi dana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT tahun 2007. Kasus itu diduga merugikan negara sebesar Rp77 miliar. Belakangan, KPK menetapkan kerugian negara dalam kasus itu mencapai sebesar Rp2,4 miliar.

Kasus Marthen sebelumnya pernah ditangani Kejaksaan Negeri dan Kejati NTT namun Marthen akhirnya lolos karena Kejati pun tak bisa menemukan bukti keterlibatan Marthen dalam kasus tersebut.

Terakhir, KPK kemudian mengambilalih kasus tersebut mengacu pada Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 6, 7, 8 dan 9.

PENYIDIKAN ULANG - Ketika mengambil alih kasus itu dari Kejati NTT, juru bicara KPK saat itu Johan Budi menegaskan, KPK sudah melakukan penyelidikan dan penyidikan ulang. Atas dasar penyelidikan itulah, kemudian KPK meningkatkan kasus tersebut ke penyidikan dan menetapkan tersangka.

"Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut maka ditetapkan 1 tersangka terkait apa yang disebut dengan dana pendidikan luar sekolah. DPLS ini merupakan dana dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT 2007 yang diambil dari dana APBN," kata Johan, yang kini menjabat Staf Khusus Presiden, saat itu.

Ketika itu, Marthen disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Saat itu, menurut Johan, dari hasil penyidikan sebenarnya ada 1 lagi tersangka yaitu John Manulangga selaku mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT. Namun diketahui bahwa John ternyata sudah meninggal dunia.

Kemudian, Johan mengatakan pada tahun 2007 dana tersebut disebut dengan dekonsentrasi APBN sebesar Rp77 miliar dan Rp675 juta. Dana itu terdiri dari program nonformal dan informal. "Ada juga program PAUD, program pengembangan budaya baca, dan program manajemen pelayanan pendidikan," kata Johan.

Belakangan, di persidangan praperadilan kasus ini di PN Jaksel, KPK juga menegaskan kembali pernyataan yang pernah diungkapkan Johan itu. Kepala Biro Hukum KPK yang juga ketua tim kuasa hukum KPK Setiadi di persidangan mengatakan, KPK menetapkan Marthen Dira Tome sebagai tersangka berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan telah sesuai dengan tata acara Hukum Pidana.

"KPK telah mengantongi dua alat bukti permulaan berupa hasil penyelidikan Kejati NTT, dan surat-surat lainnya," tegas Setiadi.

KPK menjelaskan, pemeriksaan saksi-saksi pun sudah dilakukan. KPK juga membantah tudingan Marthen bahwa penetapannya sebagai tersangka sebagai tindakan semena-mena. "Itu tidak benar karena sebelumnya pemohon sudah pernah diperiksa Kejati NTT. KPK juga menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp2,4 miliar lebih," kata Setiadi.

KRITIK KPK - Pihak Marthen sendiri bersikukuh, KPK telah melanggar prosedur penetapan tersangka. Di persidangan, Marthen mengatakan, KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka hanya berbekal penyelidikan dari Kejati NTT dan surat-surat lainnya.

Soal kerugian negara dalam jawaban KPK yang ditaksir sebesar Rp2,4 miliar, dia juga mengatakan, KPK tidak merinci kerugian itu meliputi apa saja.

Terhadap putusan hakim yang menerima permohonannya itu, Marthen menyatakan putusan hakim memperjelas proses kebobrokan penyidikan di KPK. Dia menilai keputusan hakim merupakan keputusan yang tepat. "Putusan ini sangat adil, adil untuk saya begitu pun untuk KPK," kata Marthen usai persidangan.

Namun Marthen memprotes manajemen penyidikan di KPK yang dinilai merugikannya. Pasalnya penanganan perkaranya di KPK tidak seperti yang diharapkan karena menggunakan LHP BPK reguler bukan hasil laporan audit investigasi sebagai alat bukti. "Saya pikir banyak orang yang akan masuk penjara jika ini dibiarkan terus menerus," tukasnya.

Bahkan dia meminta kepada pemerintah untuk merevisi Undang-Undang KPK. Menurutnya, ini momentum untuk merevisi UU KPK dengan memberikan hak dan memperluas kewenangannya untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada KPK. "Penyidik KPK bukan malaikat. Hari ini kita buktikan," tegas Marthen.

Ia mengumpamakan KPK seperti ´perangkap tikus´ yang punya jalan masuk tetapi tidak ada jalan keluar. Karena menurutnya, KPK terlalu memaksakan kasusnya karena terlanjur ditetapkan sebagai tersangka tetapi tidak ada celah untuk menghentikan karena KPK tidak memiliki kewenangan menghentikan penyidikan melalui SP3. (dtc)

BACA JUGA: