JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini memang mempunyai rekor sempurna dengan berhasil membuktikan tuduhannya kepada para tersangka ataupun terdakwa kasus korupsi yang ditanganinya di persidangan. Para pesakitan itu memang berhasil dibuktikan kesalahannya di persidangan dan dijatuhi hukuman oleh  dihukum Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi.

Hanya saja, belakangan KPK kerap dikritik oleh beberapa pakar hukum pidana lantaran dalam menangani beberapa kasus, disinyalir kerap menabrak aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Salah satu yang disorot adalah kasus korupsi penyelenggaraan haji tahun 2012-2013 yang menyeret mantan menteri agama Suryadharma Ali.

Sejak awal, kasus ini dinilai politis, apalagi lebih setahun setelah ditetapkan sebagai tersangka, Suryadharma seperti "digantung" KPK dan tak pernah sekalipun diperiksa. Dalam perjalanannya, KPK juga seperti sulit menemukan bukti keterlibatan Suryadharma dalam kasus ini.

Belakangan hal itu seperti terkonfirmasi sendiri dalam persidangan. Untuk diketahui, Suryadharma ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi dalam pelaksanaan ibadah haji periode 2012-2013 pada 22 Mei 2014. Selanjutnya ia kembali menjadi tersangka dalam kasus yang sama namun pada periode 2010-2011.

Dalam kedua kasus itu, ia disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Pasal-pasal tersebut mengatur perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara bersama-sama dengan melawan hukum.

Namun penyidikan kasus ini seperti macet selama setahun lebih. KPK tak juga memeriksa Suryadharma apalagi melimpahkan kasusnya ke penuntutan. Tetapi tahu-tahu pada 2 Juli 2015, pelaksana tugas pimpinan KPK Johan Budi Sapto Pribowo mengumumkan Suryadharma telah ditetapkan sebagai tersangka baru kasus Dana Operasional Menteri (DOM) Agama periode 2011-2014.

Pasal yang disematkan kepada Suryadharma ternyata juga sama dengan dua kasus sebelumnya mengenai penyelenggaraan ibadah haji. Hanya saja, tidak ada Pasal 55 KUHAP yang berarti tindakan ini dilakukan sendiri, bukan bersama-sama. Kasus DOM inilah yang kemudian leih dulu disidik dan disidangkan oleh KPK, sementara penetapan SDA sebagai tersangka kasus korupsi haji justru seperti dipendam.

Disinilah KPK dinilai seperti lembaga yang tak profesional dan terkesan mencari-cari kesalahan orang.Pakar hukum pidana Romly Atmasasmita mengatakan, apa yang dilakukan KPK selama ini kepada Suryadharma mengandung kesan mencari kesalahan.

Sebab, pada awalnya mereka mengenakan dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji namun pada persidangan malah terlebih dahulu membuktikan penyalahgunaan DOM. "Itu mencari-cari (kesalahan) namanya, seharusnya kasusnya dana haji itu didalami dulu, dibuktikan di persidangan," kata Romli kepada gresnews.com, Sabtu (4/10).

LANGGAR HUKUM ACARA PIDANA - Romli mengatakan, langkah KPK dalam kasus Suryadarma Ali itu merupakan pelanggaran terhadap hukum acara pidana. Menurut salah satu perumus undang-undang KPK ini, dalam hukum acara tertulis jelas bahwa setiap orang yang akan ditetapkan sebagai tersangka, tim penyidik harus mempunyai minimal dua alat bukti yang cukup.

"Dengan itu, penyidik harus bisa membuktikan dulu segala tuduhannya," kata Romli.

Romli mengatakan, dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK memang mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan serta penuntutan dalam kasus tindak pidana korupsi. Tetapi dalam hal penuntutan terutama membuat surat dakwaan, KPK harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terutama Pasal 143.

Dalam Ayat (2) di pasal tersebut berbunyi: "Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a.nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan".

"KPK harus tetap mengikuti KUHAP, Lex Specialis (keistimewaan) itu hanya mengenai penyadapan dan penggeledahan, selebihnya tetap berpedoman pada KUHAP," tutur Romli.

Dia mengkritik KPK yang kerap menetapkan seorang sebagai tersangka baru dilakukan penyelidikan, sehingga bisa saja terjadi seperti kasus Suryadharma Ali yang ditetapkan sebagai tersangka berkali-kali sehingga ada kesan mencari-cari kesalahan.

Kasus serupa, kata Romli, juga terjadi pada kasus Budi Gunawan yang ditetapkan KPK sebagai tersangka saat sudah disetujui DPR untuk menjadi Kapolri. Kemudian juga dalam kasus Hadi Purnomo yang ditetapkan sebagai tersangka tepat di hari ulang tahun dan masa pensiunnya.

Kurangnya bukti,belakangan membuat KPK harus menanggung kekalahan saat BG dan Hadi Purnomo mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan mereka sebagai tersangka. Karena itu Romli mengingatkan KPK agar tetap mengacu kepada KUHAP sehingga KPK tidak melakukan abuse of power.

Terkait hal ini, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah juga pernah melontarkan kritik serupa. Dia bilang kekalahan KPK dalam kasus praperadilan Hadi Purnomo adalah bukti bahwa KPK melanggar KUHAP.

"Kenyataannya, setelah lahirnya  KPK setelah lahirnya praperadilan, terbongkar dan terbuktilah bahwa KPK terlalu sering melakukan proses hukum yang melanggar proses hukum, terlalu sering melakukan tindakan hukum proses projustisia yang melanggar UU KUHAP, ini untuk kesekian kali setelah Budi Gunawan," kata Fahri beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, saat ini ada masalah besar dalam tata cara penegakan hukum di KPK. "Untuk Hadi Poernomo, perlu diketahui penetapan tersangkanya setelah yang bersangkutan menyerahkan hasil audit kinerja BPK terhadap KPK. Sampai sekarang tidak ada penyerahan resmi hasil audit kinerja KPK itu oleh BPK kepada lembaga-lembaga terkait, terutama DPR," tegas Fahri.

STRATEGI KPK - Terkait kasus Suryadharma Ali, Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan, tidak ada yang salah jika pihaknya membuktikan terlebih dahulu dugaan penyalahgunaan DOM oleh Suryadharma Ali. Setelah itu, baru melakukan pembuktian kasus korupsi yang dilakukan olehnya.

Meskipun, pada awalnya KPK menetapkan Suryadharma sebagai tersangka kasus penyelenggaraan haji dan baru disusul kasus DOM. Menurut Indriyanto, hal itu merupakan strategi yang dilakukan tim penuntut umum yang diketuai jaksa senior, Supardi.

Untuk itu, Indriyanto menolak untuk membeberkan alasan itu lebih jauh. "Waaah nggak boleh, masalah strategi tidak untuk di-publish," kata Indriyanto kepada gresnews.com.

Indriyanto dengan tegas membantah pihaknya hanya mencari-cari kesalahan Suryadharma Ali dan tidak mempunyai cukup bukti terkait korupsi penyelenggaraan ibadah haji. Terlebih lagi, pihaknya selalu teliti dan berhati-hati sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Apalagi, KPK memang tidak boleh menghentikan suatu perkara korupsi dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para tersangka seperti penegak hukum lain layaknya Kepolisian dan Kejaksaan.

"Sudah pasti keduanya cukup bukti. Setidaknya bukti-bukti primair baik terkait dakwaan wewenang mupun DOM. Sedangkan kehadiran saksi-saksi untuk DOM terlebih dulu karena hal tersebut terkait strategi pembuktian yang dilakukan oleh tim JPU (jaksa penuntut umum) kami," pungkas Indriyanto. (dtc)

BACA JUGA: