JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 2 tahun 8 bulan penjara terhadap Mulya Hasjmy. Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan itu juga dihukum membayar denda Rp100 juta subsidair dua bulan penjara.

Hasjmy dinyatakan bersalah melakukan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan (alkes) untuk penanganan wabah flu burung (avian influenza) Tahun Anggaran 2006.

"Mengadili, menyatakan terdakwa dr Mulya A. Hasjmy bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu subsidair dan dakwaan kedua subsidair. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa berupa pidana penjara selama 2 tahun 8 bulan dan denda Rp100 juta," ujar Hakim Ketua Aswijon, Kamis (26/11) malam.

Namun dibalik vonis yang diberikan majelis hakim terhadap pria kelahiran Aceh 64 tahun lalu itu, tersimpan sedikit sinyal positif bagi mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Pasalnya, dalam dakwaan Hasjmy didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Siti Fadilah.

Hanya saja dalam putusannya, majelis hakim justru tidak memasukkan nama Siti Fadilah Supari. Dalam amar putusannya, majelis hakim mempunyai pendapat berbeda dengan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan unsur penyertaan yaitu Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam dakwaan Mulya A Hasjmi, Siti Fadilah disebut turut serta melakukan tindak pidana korupsi kegiatan pengadaan peralatan medik dalam penanganan wabah flu burung tahun anggaran 2006. Akibatnya negara dirugikan hingga Rp28,406 miliar.

Sementara itu, majelis hakim berpendapat, Siti Fadillah Supari tidak mempunyai peran dalam perkara ini. Karena itulah yang bersangkutan tidak diikutsertakan dalam melakukan tindak pidana korupsi seperti yang diperbuat Mulya Hasjmy.

Berdasarkan pertimbangan majelis hakim, fakta yang terlihat jelas adalah adanya kerja sama yang erat antara terdakwa, Yonke Mariantoro, Ari gunawan, dan Singgih Wibisono. Mereka dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana secara bersama-sama dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan kegiatan pengadaan peralatan medik.

Hajsmy bersama Yonke dan Ari berperan menunjuk PT Bhineka Usada Raya untuk pengadaan alat kesehatan dalam rangka penanganan wabah flu burung sisa dana pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin TA 2006. "Sehingga unsur bersama-sama sebagaimana Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi," kata Hakim Anggota Sutio Djumagi.

Sementara peran Siti Fadilah, menurut majelis hakim tak terlihat. Dengan demikian unsur bersama-sama untuk mantan Menkes ini tak terpenuhi. Karena itu, nama Siti tak ada dalam putusan atas Hasjmy.

Menurut pendapat majelis hakim, penunjukan langsung kepada PT Bhineka Usada Raya dilakukan oleh Mulya Hasjmy tanpa harus ada persetujuan dari Siti Fadilah Supari selaku Menteri Kesehatan. Apalagi, Hasjmy juga telah ditunjuk menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek itu.

Pernyataan ini berbeda dengan pendapat jaksa bahwa ada arahan dari Siti Fadillah agar menunjuk langsung perusahaan tertentu untuk menjadi rekanan proyek ini. Karena itu jaksa KPK memasukkan nama Siti dalam dakwaan terkait unsur bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.

JAKSA YAKIN SITI FADILAH TERLIBAT - Dengan tidak dimasukkannya nama Siti Fadilah Supari dalam vonis terhadap Hasjmy, boleh jadi Siti bakal melenggang bebas dari perkara ini. Hanya saja, Jaksa KPK Ali Fikri tak mau menyerah begitu saja.

Ali memang enggan berkomentar banyak atas "dilepaskannya" nama Siti oleh majelis hakim dalam putusan Hasjmy. Namun Ali yakin Siti mempunyai peran dalam kasus korupsi tersebut.

"Memang tidak dinyatakan bersama-sama, tetapi dalam uraian faktanya kan ada peran Menkes (Siti Fadillah-red)," ujar Ali.

Dalam kesaksiannya ketika itu, Siti mengakui dirinya merestui prosedur penunjukan langsung pengadaan peralatan medik untuk penanganan wabah flu burung tahun anggaran 2006. Meskipun begitu, ia menegaskan bukan untuk menunjuk langsung perusahaan tertentu agar bisa melaksanakan proyek tersebut.

"Pada waktu itu Pak Sekjen (Syafii Ahmad) dan Pak Dirjen (Farid Husein) datang, katanya Pak Sekjen sedang membuat kajian, setelah selesai saya tanda tangani untuk menyetujui rekomendasi cara penunjukan langsung. Saya hanya setujui prosedurnya, tapi bukan menunjuk suatu PT (perusahan) dan tentu dengan syarat sesuai dengan prosedur yang berlaku," kata Siti Fadilah saat bersaksi dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (9/9).

Menurut Siti, penunjukan langsung dilakukan lantaran ia ditugaskan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menanggulangi penyebaran virus flu burung. Saat itu, pasien korban flu burung terus meningkat. Dalam rapat tersebut disepakati agar pasien flu burung tersebut segera diatasi lantaran tak setiap rumah sakit yang ada bisa menolong korban.

"Jadi harus didirikan pos, kalau tidak pasien makin banyak dan pemerintah tidak siap maka pemerintah bisa disalahkan orang sedunia. Jadi Presiden memerintahkan untuk segera mengatasi dan ada SK saya pada 2005 yang menyatakan bahwa flu burung adalah wabah dan sangat membahayakan sehingga menjadi KLB (kejadian luar biasa)," ungkap Siti Fadilah.

Saat itu, Siti bertugas untuk melengkapi 44 pos rumah sakit untuk menangani flu burung. Namun, biaya untuk pendirian 44 pos tersebut ia mengaku tidak mengetahui sumber dananya. Alasannya karena nilai proyek yang di bawah Rp50 miliar, sehingga tidak melalui menteri.

Meski begitu, jaksa KPK berpikir sebaliknya. Jaksa yakin Mulya A Hasjmy telah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Siti Fadilah Supari terkait penunjukan langsung perusahaan untuk pengadaan vaksin flu burung.

"Terdakwa kemudian menemui Menkes Siti Fadilah Supari untuk melakukan konfirmasi, oleh Siti Fadilah Supari terdakwa diarahkan agar PT BUR dijadikan rekanan dalam pekerjaan pengadaan alat kesehatan untuk penanganan flu burung tahun 2006. Terdakwa juga diarahkan Siti Fadilah Supari untuk melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan alat kesehatan flu burung tersebut," jelas jaksa dalam persidangan sebelumnya.

Argumen jaksa itu juga diperkuat oleh keterangan mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Ditjen Bina Pelayanan Medik Depkes Ratna Dewi Umar. Dalam kesaksiannya di persidangan beberapa waktu lalu, Ratna mengungkapkan adanya arahan dari Siti Fadilah Supari untuk mengikutsertakan sejumlah perusahaan dalam pengadaan peralatan kesehatan untuk penanganan wabah flu burung tahun 2006.

Dalam kesaksiannya Ratna menyebut pernah diminta menghadap Sekjen Depkes saat itu Sjafii Achmad pada 17 Agustus 2009. Dia menemui Sjafii bersama mantan Sekretaris Ditjen Bina Pelayanan Medik Depkes Mulya A. Hasjmy yang kini jadi terdakwa.

"Sampai di ruang Pak Sekjen (Sjafii), Pak Sekjen menanyakan bagaimana pengadaan barang yang menjadi kasus saya di 2006 dan 2007," kata Ratna bersaksi untuk Mulya Hasjmy di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (1/7/2015).

Ratna lantas menceritakan adanya arahan Siti Fadilah untuk melakukan penunjukkan langsung dalam pengadaan alkes untuk penanganan flu burung. "Saya menceritakan ke Sjafii sesuai arahan Bu menteri lakukan dengan penunjukan langsung dan berikan Rudi Tanoesudibjo ketika itu," sambungnya.

Hal yang sama soal adanya arahan Siti Fadilah juga disampaikan Hasjmy pada saat bertemu Sjafii. "Terdakwa (Hasjmy) juga menyampaikan itu sudah diarahkan Bu menteri untuk penunjukan langsung juga dan diberikan kepada 4 perusahaan, Prasasti Mitra, Bhineka Usada Raya, Dwiwarna Jaya Raya dan Graha Ismaya," terang Ratna.

Ratna menuturkan, dirinya pernah dilibatkan dalam penyusunan anggaran alkes flu burung yang dananya diambil dari anggaran APBNP 2006 pada Sekjen Bina Yanmedik Depkes. Dia juga pernah diminta Hasjmy membuat rencana anggaran biaya (RAB).

"Agustus 2006 saudara terdakwa (Hasjmy) mengatakan ´kakak tolong dibuatkan anggaran sesegera mungkin karena kita mau mendapat APBNP 2006´. Berapa anggaran saya bilang? Rp125 miliar beliau (Hasjmy) mengatakan demikian," tutur Ratna.

VONIS KEEMPAT HASJMY - Vonis yang dijatuhkan majelis hakim kepada Hasjmy ini membuat dia "memecahkan rekor" divonis untuk empat dakwaan berbeda dalam kasus pengadaan alat kesehatan.

Hasjmy sebelumnya telah menjalani pidana selama 2 tahun 6 bulan karena terbukti melakukan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan (alkes) untuk penanganan wabah flu burung pada Tahun Anggaran 2006.

Kemudian, Hasjmy juga telah dihukum penjara dalam perkara korupsi pengadaan alkes di RS Prof Dr Sulianti Suroso dan RS Haji Sahudin Aceh Tenggara pada Tahun Anggaran 2005.

Hasjmy juga dinyatakan bersalah dalam kasus pengadaan alat kedokteran kesehatan dan KB Linear Accelerator (Linac) di RSUP Adam Malik, Medan dan RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta Tahun Anggaran 2007. Hasjmy divonis bersalah dan dipenjara selama 4 tahun dan denda Rp250 juta.

Dan kali ini, untuk keempat kalinya, Hasjmy lagi-lagi dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dalam pengadaan peralatan medik dalam penanganan wabah flu burung pada Tahun Anggaran 2006. Dan ia dihukum penjara selama 2 tahun 8 bulan dan denda Rp100 juta subsidair Rp100 juta.

Selain itu, Hasjmy juga diminta hakim membayar uang pengganti sekitar Rp160 juta. Jumlah ini merupakan konversi dari satu unit mobil Toyota Rush yang diterimanya dalam penunjukkan langsung ini.

Atas putusan ini, jaksa menyatakan akan pikir-pikir selama 7 hari. Berbeda dengan Hasjmy yang langsung menerima putusan tersebut. "Saya menerima putusan ini dan saya tidak akan banding," pungkas Hasjmy. (dtc)

BACA JUGA: