JAKARTA, GRESNEWS.COM - Urusan barang mangkrak ternyata tak cuma sebatas masalah proyek pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Barang sitaan hasil kejahatan korupsi yang sejatinya bisa segera dilelang agar kerugian negara bisa dikembalikan ternyata juga banyak yang mangkrak.

Dari berbagai kasus, khususnya yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), banyak barang sitaan hasil korupsi yang kini malah teronggok di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Negara pun terancam dirugikan senilai miliaran rupiah.

Misalnya di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Jakarta Timur dan Jakarta Pusat. Barang sitaan seperti mobil pemadam kebakaran yang dirampas dari kasus mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dibiarkan 9 tahun teronggok hingga karatan dan rusak di sana-sini.

Yang paling mencolok adalah 15 truk molen sitaan dari kasus korupsi Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Ada juga mobil mewah sitaan dari Akil Mochtar dan Ahmad Fathanah.

Tidak hanya kasus korupsi, Rupbasan juga mengelola barang hasil kejahatan lainnya, seperti barang bukti mobil yang dikendarai Afriyani. Di mana Afriyani menewaskan 9 orang saat menabraknya di Tugu Tani, Jakarta Pusat, pada 2013 silam.

Afriyani telah dihukum 19 tahun penjara yakni 15 tahun untuk kasus kecelakaan dan 4 tahun untuk kasus penggunaan narkoba. Barang buktinya kini dibiarkan teronggok di Rupbasan dan tidak ada yang mengambilnya.

Pihak Rupbasan juga tidak berwenang melelang mobil itu karena tidak punya kuasa melelangnya. Pihak kejaksaan yang menangani kasus Afriyani tidak pernah lagi datang untuk mengurus mobil tersebut.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, problem pengelolaan aset kejahatan menjadi mengemuka ketika beberapa oknum penegak hukum ditengarai mengambil keuntungan atas benda-benda sitaan dan mengambil alih manajemen benda sitaan sesuai dengan keinginannya masing-masing. "ICJR prihatin dan menilai bahwa persoalan ini merupakan persoalan lama yang yang seperti dibiarkan," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (20/4).

Dia menilai, banyak oknum yang diuntungkan dengan kondisi seperti ini. "Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah secara serius merespons kondisi ini dengan melakukan reformasi tata kelola aset kejahatan di Indonesia," ujarnya.

Supriyadi mengatakan, ada beberapa persoalan kunci mengenai tata kelola aset kejahatan saat ini. Pertama, pengaturan yang lemah, dimana pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan tidak dijalankan satu pintu. "Setiap institusi merasa berhak mengatur sendiri-sendiri manajemen dan eksekusi hasil sitaan," ujarnya.

Sanksi yang minim dan pengawasan yang melempem makin memperparah pengelolaan aset benda sitaan. "Dalam konteks ini, benda sitaan dan aset kejahatan sangat rentan dikorupsi," tegasnya.

Kedua, walaupun secara resmi ada lembaga Rupbasan yang berwenang untuk mengelola benda sitaan, namun lembaga ini minus sumber daya, termasuk minim anggaran dan hemat unit penyimpanan benda sitaan. "Rupbasan seakan-akan dikerdilkan, baik dalam tata kelola maupun tata organisasinya, dimana jabatan Kepala Rupbasan hanya setingkat lurah," kata Supriyadi.

Jumlah Rupbasan yang ada sekitar 63 di seluruh Indonesia sudah pasti kalah jumlah dibandingkan jumlah Kejaksaan dan Polres. Ini menunjukkan gambaran persoalan utama Rupbasan.

Ketiga, akibat tidak dijalankan operasional satu pintu maka tidak akan pernah ada data resmi yang sesuai fakta mengenai berapa jumlah benda sitaan maupun aset kejahatan secara keseluruhan dan diperbarui setiap harinya. Maka akibatnya tidak akan pernah didapat proyeksi aset kejahatan yang dapat dirampas oleh Negara secara maksimal.

Keempat, lemahnya pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan mengakibatkan rusaknya nilai benda-benda tersebut. Muncul pula masalah bagaimana melelang benda-benda yang berpotensi rusak dalam penyimpanan.

"Di samping itu eksekusi perampasan negara atas benda sitaan dan aset kejahatan tersebut umumnya di nilai terlalu rendah sehingga proyeksi pendapat negara tidak maksimal," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah tidak boleh hanya berhenti pada rencana mempersiapkan Rancangan Perpres mengenai pelelangan benda sitaan. Pemerintah harus mendorong tata kelola aset kejahatan yang lebih komprehensif di masa depan.

"Persoalan lelang benda sitaan hanyalah masalah kecil di dalam tata kelola aset kejahatan di Indonesia," ujarnya.

REFORMASI RUPBASAN - Supriyadi menilai, saat ini pemerintah jangan hanya merencanakan kebijakan eksekusi atas barang-barang sitaan tapi juga harus melakukan reformasi menyeluruh terhadap Rupbasan. "Lembaga itu harus didorong ke arah Lembaga Pengolaan Aset Kejahatan yang professional," terang Supriyadi.

Saat ini, penyimpanan benda sitaan Negara menurut Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disimpan dalam Rumah penyimpanan benda sitaan negara (rupbasan) yang berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Namun pasca 30 tahun KUHAP operasionalisasi tugas dan fungsi Rupbasan tersebut sangat jauh dari harapan.

Pada kenyataannya tidak semua kabupaten/kota di Indonesia memiliki Rupbasan. Demikian halnya dengan jumlah sumber daya manusia, infrastruktur pendukung dan anggaran untuk menyimpan dan memelihara benda sitaan masih minim.

Sebagai rangkaian sub-sistem dalam sistem peradilan pidana, penyimpanan benda sitaan juga tidak luput dari permasalahan. Antara lain meliputi permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Rupbasan sebagai tempat penyimpanan benda sitaan negara, tata organisasi, dukungan biaya operasional, sumber daya manusia, dan operasional penanganan benda sitaan.

Karena kelemahan di atas maka kemampuan negara untuk merawat barang sitaan pun sangat terbatas. Akibatnya, barang-barang tersebut rusak dan nilainya jauh menurun saat hendak dilelang.

ICJR, kata dia, menyambut baik upaya pemerintah untuk menjamin agar aset-aset kejahatan yang berada dalam Rupbasan dapat digunakan semaksimal mungkin sebagai salah satu sumber keuangan Negara. Namun ICJR mendorong pemerintah tidak hanya sibuk mengurusi soal eksekusi benda sitaan semata, namun sesegera mungkin mendorong reformasi Rupbasan ke arah lembaga pengelola aset kejahatan yang sudah pernah di rencanakan.

"Menurut ICJR baik dari segi regulasi, kewenangan dan kemampuan, Rupbasan yang ada saat ini sudah tidak akan mampu mengelola benda sitaan dan aset kejahatan yang dipegangnya," katanya.

Ada beberapa problem yang menurut Supriyadi menjadi persoalan krusial yang dihadapi Rupbasan saat ini. Pertama, kewenangan Rupbasan telah banyak diambil alih oleh institusi penegak hukum lainnya dimana tidak semua barang sitaan disimpan di gudang milik Rupbasan.

Sebagian barang sitaan tetap disimpan instansi yang menyita, seperti kepolisian dan kejaksaan di seluruh tingkatan, KPK, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Kedua, keterbatasan sarana dan prasarana yang menyangkut gedung/gudang serta anggaran dalam mendukung pelaksanaan fungsi Rupbasan. Kesiapan Kementerian Hukum dan HAM untuk membangun Rupbasan di seluruh Kabupaten/Kota Sesuai amanat KUHAP sampai saat ini, masih belum terlaksana.

Secara yuridis penyimpanan benda sitaan negara adalah di Rupbasan. Sayang, keberadaan dan jumlahnya yang tidak sebanding dengan jumlah lembaga penegak hukum yang melakukan penyitaan dan yang bertanggung jawab secara yuridis terhadap benda sitaan dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan

Ketiga, sepanjang reformasi atas Rupbasan sebagai lembaga penyimpan aset kejahatan tidak diberikan kewenangan yang cukup kuat, maka persoalan pengelolaan benda sitaan maupun aset-aset kejahatan masih akan terus menerus mengalami hal yang serupa. "Semakin baik negara mengelola aset dari kejahatan akan memberikan nilai positif bagi menghentikan kejahatan dan sekaligus menambah keuangan negara," ujar Supriyadi.

Dalam Rancangan Perpres yang tengah direncanakan Kemenkum dan HAM secara umum telah ada kehendak untuk memperkuat peran negara dalam mengelola aset atau benda sitaan. Namun Rancangan Perpres tersebut sebaiknya memperhatikan beberapa regulasi terkait mengenai Rupbasan, sehingga tidak ada tumpang tindih ketentuan untuk mengeksekusi benda sitaan dengan regulasi yang telah ada.

Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam hal ini. Pertama, bentuk legislasi yang dipilih semestinya minimal berada dalam level Peraturan Pemerintah dan bukan Peraturan Presiden. Selain itu, Rupbasan perlu mempertimbangkan penempatan pengaturan secara lebih rinci dalam Rancangan KUHAP yang akan dibahas oleh Pemerintah dan DPR atau sesegera mungkin mendorong rencana RUU pengelolaan aset kejahatan yang komprehensif.

Kedua, Rupbasan perlu memastikan untuk meningkatkan pembangunan tempat-tempat pengelolaan rupbasan di seluruh kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. "Pembangunan ini dalam rangka untuk mempercepat fase transisi yang sampai sekarang masih terjadi, sehingga penyimpanan benda sitaan dan barang rampasan negara tidak lagi berada di tangan penyidik atau penuntut umum," terang Supriyadi.

Ketiga, struktur Rupbasan dengan rencana penguatan fungsi tidak bisa lagi di bawah Dirjen Pemasyarakatan karena kebutuhannnya tidak akan memadai apabila rencana penguatan fungsi Rupbasan akan serius dilakukan. ICJR mendorong dibentuknya ditjen tersendiri di dalam lingkup Kementerian Hukum dan HAM yang bertugas dan bertanggung jawab untuk mengelola Rupbasan

Keempat, penanganan dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara memerlukan banyak dukungan. Diantaranya anggaran yang memadai untuk memastikan keselamatan, keamanan, keutuhan, ketersediaan, dan dapat dioperasikan dalam rangka memberikan perlindungan, pemenuhan dan penegakan terhadap hak asasi manusia dan penyelamatan aset negara

Kelima, mekanisme hubungan perlu ditata kembali karena itu dibutuhkan pengaturan selevel Peraturan Pemerintah sebagai peraturan transisi. Hal ini penting sebelum memastikan Rancangan KUHAP memberikan pengaturan yang memadai mengenai Rupbasan.

"Diperlukan pemilahan secara tegas antara yang memberikan izin, yang melakukan penyitaan dan perampasan, dan yang melakukan pemeliharaan," pungkas Supriyadi.

BISA RUGIKAN MASYARAKAT - Akademisi Universitas Andalas Padang Lucky Raspati juga menilai, diperlukan adanya reformasi terhadap Rupbasan agar tak merugikan negara juga masyarakat. Selama ini dalam penanganan kasus kejahatan kerap terdengar kredo "Lapor kehilangan kambing, malah bisa kehilangan sapi."

Kredo itu bisa dimaknai, tanpa ada penanganan profesional atas barang sitaan kejahatan, maka korban kejahatan malah bisa dirugikan dua kali. Karena penanganan barang sitaan hasil kejahatan ada di tangan Rupbasan, maka reformasi atas Rupbasan dinilai penting.

Lucky mengatakan, Rupbasan merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara dengan tujuan agar barang bukti terkait tindak pidana dapat dirawat dan dipergunakan untuk kepentingan pembuktian. "Selanjutnya, pasca kepentingan pembuktian, melalui putusan hakim, benda sitaan tersebut dapat dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut," katanya, Selasa (19/4).

Lucky memberikan contoh yaitu korban tindak pidana pencurian emas. Setelah emas yang dicuri dijadikan barang bukti dan dipergunakan untuk kepentingan pembuktian di pengadilan selesai, maka emas itu dikembalikan ke pemiliknya.

"Dikembalikannya barang curian tersebut kepada korban merupakan bentuk tanggung jawab negara kepada korban tindak pidana, atau dengan bahasa lain, melalui putusan hakim yang kemudian dieksekusi oleh jaksa, kerugian korban dipulihkan," ujar Lucky.

Dalam contoh lain, hakim dapat menjatuhkan putusan lain seperti dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi. Atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain maka tetap disita.

"Dengan konstruksi yang demikian, maka peran Rupbasan sebagai sebuah lembaga yang dibentuk oleh negara seharusnya memainkan peran yang sangat penting," ujarnya.

Sayangnya hal ini tidak dapat diwujudkan dalam praktik penegakan hukum. Salah satu penyebabnya karena ketentuan Pasal 44 KUHAP sebagai payung hukum lembaga Rupbasan tidak ditindaklanjuti dengan peraturan lain, baik itu setingkat UU, maupun peraturan di bawahnya.

"Ini yang menjadi kelemahan fundamental KUHAP dalam kaitannya dengan lembaga Rupbasan," papar Lucky.

Dalam kerangka tersebut, ujar Lucky, maka menjadi sangat penting mengeluarkan produk hukum terkait dengan Rupbasan. "Boleh jadi dengan kejelasan status Rupbasan, di masa mendatang, pemahaman umum masyarakat yang mengatakan, kehilangan kambing menjadi kehilangan sapi bisa berubah, minimal kehilangan kambing menjadi kehilangan pemasukan sementara," kata Lucky. (dtc)

BACA JUGA: