JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Negeri Banda Aceh menghukum Gubernur Aceh Zaini Abdullah (Tergugat I) dan PT Bank Aceh (Tergugat II) untuk membayar penghargaan uang jasa akhir pengabdian sebesar Rp6 miliar lebih  kepada 6 anggota direksi dan anggota dewan komisaris PT Bank Aceh (Penggugat). Uang jasa itu harus diberikan lantaran keenam direksi dan komisaris tersebut telah diberhentikan oleh Gubernur sebelum masa jabatannya berakhir.

Mereka yang mendapat uang jasa akhir pengabdian itu adalah bekas Direktur Utama PT Bank Aceh Islamuddin sebesar Rp1,3 miliar. Bekas Direktur Umum dan SDM PT Bank Aceh Irfan Sofni Rp Rp1,3 miliar. Bekas Direktur Kepatuhan PT Bank Aceh Tawakkal Ilaihi Rp1,3 miliar. Kemudian tiga bekas Komisaris Independen PT Bank Aceh Husaini Ismail, Mirza Tabran, dan Muhammad Jamil masing-masing mendapat Rp914,65 juta.

"Menghukum para tergugat untuk membayar Penghargaan Uang Jasa Akhir Pengabdian kepada penggugat," putus Najelis PN Banda Aceh yang dipimpin Syamsul Qamar dengan anggota H. Mukhtar Amindan Eddy, seperti dikutip dari laman mahkamahagung.go.id, Rabu (15/10).
 
Besarnya uang jasa akhir pengabdian itu dihitung berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh selaku Pemegang Saham Pengendali PT bank Aceh (Tegugat I) Nomor:584/550/2011 tanggal 27 September 2011. Pada point IV Lampiran I beleid itu disebutkan: "Setiap Komisaris yang telah menyelesaikan masa jabatannya dengan baik, diberikan penghargaan Uang Jasa Akhir Pengabdian sebesar 24 kali penghasilan terakhir yang diterimanya".

Point IV Lampiran II berbunyi: "Setiap Direksi yang telah menyelesaikan masa jabatannya dengan baik diberikan penghargaan Uang Jasa Akhir Pengabdian sebesar 24 kali penghasilan akhir yang diterimanya".
 
Keenam mantan anggota direksi dan anggota dewan komisaris tersebut diangkat oleh Gubernur Aceh selaku Pemegang Saham Pengendali PT bank pada tahun 2010 dan 2011. Namun mereka diberhentikan dengan hormat pada 11 Januari 2013. Pemberhentian ini atas kehendak Gubernur, bukan karena mengundurkan diri, atau dinilai tidak lagi cakap dalam menjalankan tugas oleh lembaga yang berwenang mengatur dan mengawasi Bank.
 
Karena itu, majelis PN Banda Aceh berpendapat, tindakan para Tergugat yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Keputusan Gubernur Aceh tersebut adalah perbuatan melawan hukum. Karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para Tergugat, maka para Penggugat telah dirugikan.
 
Sementara dalam dalam eksepsinya, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menyatakan pemberhentian tersebut didasarkan atas ketentuan hukum yang berlaku, yakni keputusan yang diambil dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Bank Aceh padsa 4 Januari 2013. Oleh karenanya, menurut Zaini, tindakan para Penggugat yang menggugat Gubernur Aceh selaku Pemegang Saham Pengendali pada PT Bank Aceh adalah error in persona karena yang selayaknya harus digugat adalah Para Pemegang Saham PT Bank Aceh.
 
Menurut Gubernur Aceh, sesuai ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Perda Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 2 Tahun 1999 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh Menjadi PT Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh RUPS adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Selanjutnya pada Ayat (2) ditegaskan RUPS terdiri atas RUPS Tahunan dan RUPS lainnya.
 
"Jadi pemberhentian Para Penggugat bukan dilakukan oleh Tergugat I, akan tetapi atas dasar Keputusan RUPSLB. Dengan demikian secara hukum Gugatan Para Penggugat adalah cacat formil dan harus dinyatakan tidak dapat diterima," jelas Zaini.
 
Namun eksepsi Gubernur ini ditolak PN Banda Aceh. "Mengadili, dalam eksepsi menolak eksepsi dari para Tergugat untuk seluruhnya. Dalam Pokok Perkara, mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian," putus Hakim PN Banda Aceh yang diputus Agustus lalu.

BACA JUGA: