JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan kembali melontarkan pernyataan kontroversial. Setelah sebelumnya menyampaikan pernyataan bahwa pemerintah akan memberikan pengampunan kepada kelompok teroris Santoso yang menyerah, kini ia melontarkan pernyataan terkait pemidanaan tersangka korupsi.

Luhut mengatakan, pemerintah tengah mempertimbangkan agar para terpidana kasus korupsi tidak dipenjara. Sebagai gantinya, mereka cukup dimiskinkan dan jika penyelenggara negara, akan dipecat dari jabatannya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang fokus menangani kasus-kasus korupsi menentang keras rencana ini. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief mengatakan, para koruptor tetap harus dipenjara dan perampasan aset juga bisa dilakukan.

"Tidak setuju dengan wacana tersebut. Orangnya dipenjara, asetnya dirampas jika asetnya dari hasil korupsi," kata Syarief di kantornya, Selasa (26/7).

Syarief berpendapat, wacana yang dilontarkan Luhut berpotensi mengurangi efek jera bagi para koruptor. "Di samping itu efek jeranya akan berkurang jika hanya pengembalian kerugian negara, juga akan mengaburkan batas pidana dan perdata," tuturnya.

Selain itu, Indonesia juga akan menjadi sorotan dunia jika benar-benar menetapkan aturan ini. Sebab, selain bertentangan dengan undang-undang, aturan tersebut bertentangan dengan Konvensi Anti Korupsi Dunia dimana Indonesia turut menandatanganinya.

Syarief menegaskan, upaya memiskinkan koruptor selama ini juga bisa dilakukan dengan Undang-Undang Pencucian Uang. Oleh karena itu, wacana ini dianggap aneh karena Indonesia sudah punya peraturan untuk memiskinkan pelaku kasus korupsi.

"Lagian, upaya memiskinkan koruptor dapat dijangkau dengan UU TPPU jika ada unsur TPPU-nya," terang Syarief.

Hanya saja pernyataan Syarief itu tampaknya bukan pernyataan resmi yang mewakili institusinya. Sebab, Wakil Ketua KPK lainnya Saut Situmorang justru berpandangan berbeda. Saut mengaku justru setuju dengan rencana Luhut tersebut.

Saut beralasan, efisiensi dalam penegakan hukum, dalam hal ini kasus korupsi, memang perlu dilakukan. Wacana tidak dipidananya pelaku korupsi merupakan suatu bentuk efisiensi keuangan negara dan efektivitas penegakan hukum.

"Pemberantasan korupsi perlu efisien. Namun, harus tetap diberi sanksi pemecatan," katanya.  Ia mengaku sepakat, jika ada pejabat korupsi lalu tidak dipenjara, tetapi dipecat dan atau mengembalikan uang, itu juga membangun efisiensi. "Menyidangkan perkara korupsi jauh lebih mahal daripada jumlah uang yang dikorupsi, misalnya," ujar Saut.

Saut mengatakan, pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan perlu ada evaluasi. Karena selama ini penindakan kasus korupsi dianggap sudah maksimal tetapi kasus-kasus korupsi masih saja marak.

"Kalau kita jujur atas warning-nya Undang-Undang KPK tentang korupsi yang sistemis dan meluas, ada sistem yang harus kita bangun. KPK itu pelaksana undang-undang. Tetapi juga tidak dalam posisi menolak atau menerima," tutur Saut.


AMANKAN PEMBANGUNAN EKONOMI - Salah satu tim pengkaji gagasan ini, Indriyanto Seno Adji, mengatakan kajian ini merupakan tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo yang sudah dua kali memanggil lembaga penegak hukum. Penegak hukum diimbau seirama dalam penegakan hukum dan tidak menghambat pembangunan ekonomi.

"Itu terkait grey area perbuatan yang dikategorikan ´kriminalsiasi kebijakan´ yang terkait dengan  dugaan kerugian negara, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor yang dikaitkan dengan UU Administrasi Negara tahun 2014," kata Indriyanto, Selasa (26/7).

Indriyanto menjelaskan, jika nanti ditemukan dugaan adanya kerugian negara yang dilakukan pelaku korupsi tetapi telah dikembalikan maka kasusnya tentu akan dipertimbangkan kembali. Hal ini, menurut Indriyanto, tak lain untuk efisiensi keuangan negara.

"Karena memang tujuan akhir dari penindakan korupsi adalah maksimalisasi pengembalian keuangan negara," paparnya.

Meskipun demikian, Indriyanto mengakui perlu adanya batasan tertentu jika perbuatan tersebut memang telah masuk dalam indikasi korupsi dan bukan hanya pelanggaran administratif semata. Kriteria tersebut tentunya tidak bisa digeneralisasikan dan mempunyai delik yang berbeda.

Wacana akan aturan ini, kata mantan pelaksana tugas pimpinan KPK itu, sebenarnya sudah ada sejak lama. "Memilih efek jera berupa penahanan pelaku tanpa ada hasil maksimal pengembalian keuangan negara atau memperoleh maksimalisasi hasil pengembalian keuangan negara saja," pungkasnya.

Sebelumnya Menkopolhukam Luhut Pandjaitan sempat menyampaikan bahwa pemerintah berencana tidak mempidanakan pelaku korupsi namun memiskinkannya. Pernyataan itu disampaikannya saat memberi kuliah umum di hadapan akademika Universitas Sumatera Utara, Senin (25/7). Alasannya karena hukuman penjara selama ini belum memberi efek jera.

"Selain itu, ruang penjara yang tersedia saat ini juga sudah tidak mampu lagi menampung,  karena jumlah narapidana terus bertambah," kata Luhut.

BACA JUGA: