JAKARTA, GRESNEWS.COM - Target pajak 2015 sebesar Rp1.294 triliun gagal terpenuhi. Kondisi ini diakui Wakil Presiden Jusuf Kalla yang meyakini waktu yang tersedia tidak cukup untuk mengejar pemenuhan kekurangan penerimaan pajak sebesar Rp400 triliun hingga akhir bulan ini.

Dengan kondisi ini hanya ada dua solusi yang harus diambil, yaitu mengurangi biaya pengeluaran atau menambah hutang untuk menutup kekurangan. Namun menurut wapres yang berbicara pada Selasa (1/12) lalu, solusi itu menurutnya belum diputuskan.   

Hanya ia mengingatkan bahwa yang bisa dikurangi sebagian besarnya adalah anggaran pembangunan. Sebab kebutuhan seperti gaji, tidak mungkin dikurangi. Namun pengurangan anggaran pembangunan akan berdampak pada masalah pertumbuhan. Untuk itu pemerintah mengambil langkah pengetatan anggaran, caranya dengan hanya mengeluarkan anggaran untuk kegiatan prioritas.

Pengamat ekonomi politik Kusfiardi menilai tidak tercapainya target pajak telah membuktikan bahwa pemerintah tidak bisa bekerja, sehingga ketidakmampuan itu akan dibebankan kepada masyarakat melalui utang. Menurutnya sebenarnya target pajak tersebut dapat tercapai apabila pemerintah serius menjalankan regulasi perpajakan dan serius dalam melakukan pungutan pajak.

Dia mencontohkan, adanya perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam Pengusaha Kena Pajak (PKP), kemudian perusahaan yang non PKP. Menurutnya jika pemerintah mengelola dengan baik, pemerintah bisa mengetahui besaran nilai potensi pajak yang akan diterima negara. Apalagi dengan banyak perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.

Dia justru menduga rata-rata perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia masih sering menunggak pembayaran pajak. Sebab, selama ini Dirjen Pajak juga tidak mempublikasikan kepada masyarakat mengenai bayar atau tidaknya perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.

"Jadi dalam konteks penerimaan pajak ini sesungguhnya patut diduga pemerintah ini bersekongkol untuk menyelamatkan kepentingan asing, untuk meraup keuntungan di Indonesia," kata Kusfiardi kepada gresnews.com, Jakarta, Sabtu (5/12).

Menurutnya pemerintah selama ini bias mengenai kepentingan investor dan dunia usaha. Sebab, setiap pembacaan nota Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN) pemerintah selalu menyatakan akan selalu berusaha melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak, tetapi dengan tetap mempertimbangkan dan tidak mengganggu kepentingan dunia usaha dan investor. Dia menilai tidak terpenuhi penerimaan pajak karena pemerintah memberikan privelege kepada investor dan dunia usaha terutama asing.

Jika pemerintah beralasan tidak terpenuhinya target pajak karena alasan ekonomi global lesu. Seharusnya alasan tersebut diverifikasi karena sektor konsumsi masyarakat juga lebih baik jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain.

Selain sektor konsumsi, perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia seperti Exxon, Chevron dan Shell. Perusahaan-perusahaan migas tersebut hingga sekarang masih melakukan trading, meski harga masih tergolong rendah tetapi di dalamnya terdapat variabel keuntungan yang dapat diterima oleh negara.

"Jadi menurut saya pemerintah harus lebih tegas. Kita lihat kinerja perpajakan kita tidak menggembirakan karena dalam konteks menjalankan kebijakan perpajakan kecenderungannya memanjakan kelompok investor," kata Kusfiardi.

BERBAGAI HAMBATAN PAJAK - Sementara itu Humas Direktorat Jenderal Pajak Satria Utama mengungkapkan kekurangan realisasi penerimaan pajak hingga saat ini masih berkisar sekitar Rp120 triliun, kemungkinan hingga akhir tahun akan mencapai Rp150 triliun hingga Rp160 triliun.

Dia menjelaskan kekurangan penerimaan pajak itu disebabkan kondisi ekonomi yang sampai saat ini masih belum mendukung. Sebab, sektor penerimaan pajak didukung dari penerimaan sektor komoditas diantaranya pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.

Dirjen pajak pada saat itu memasang target di sektor komoditas dapat tumbuh sebesar 38 pesen. Namun perkiraan tersebut tidak meleset akibat pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai harapan.

Selain itu, penerimaan pajak tidak mencapai target juga dikarenakan beberapa regulasi yang awalnya dibentuk untuk meningkatkan pertumbuhan penerimaan pajak tetapi hingga saat ini belum terealisasi dengan baik. Pertama, mengenai kewajiban perbankan untuk melaporkan pemotongan atas bunga deposito yang disimpan di dalam perbankan.

Menurutnya, aturan tersebut untuk mengawasi perbankan apakah telah melakukan pemotongan atau belum. "Aturan itu sempat berjalan beberapa hari tetapi dicabut, padahal kita proyeksikan  penerimaan dapat tercapai sesuai dengan target," kata Satria kepada gresnews.com.

Kemudian, aturan pengenaan PPN jalan tol yang tidak bisa dijalankan di tahun 2015. Lalu, mengenai pengenaan UU Bea Materai yang diharapkan dapat terealisasi di tahun 2015, tetapi ternyata tidak berhasil direalisasi. Padahal menurutnya, jika tiga regulasi tersebut dapat dijalankan, Dirjen Pajak menghitung hal itu mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak sebesar Rp150 triliun.

Selain itu, kebijakan dinaikannya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), juga secara langsung telah mempengaruhi jumlah pajak yang seharusnya dipotong oleh Dirjen Pajak. Sehingga dengan dikeluarkannya aturan tersebut berakibat negatif terhadap penerimaan pajak, apalagi didukung dengan kondisi ekonomi yang sedang terpuruk saat ini.

Dia mengaku dalam hal ini memang ada beberapa ketentuan yang memperlihatkan Dirjen Pajak atau pemerintah tidak konsisten. Tetapi, menurutnya kebijakan tersebut dibuat karena mengedepankan pertumbuhan ekonomi di tengah situasi ekonomi global yang memburuk. Sehingga aturan-aturan perpajakan pun berubah.

"Karena alasan-alasan itulah mengapa kita kesulitan mencapai target penerimaan negara," kata Satria.

Kendati demikian, Satria mengaku, di tengah sulitnya mencapai target penerimaan negara itu, Dirjen Pajak masih memiliki harapan untuk mencapai target penerimaan negara.

Ia mengatakan pemerintah akan menerapkan kebijakan reintensif policy, dimana kebijakan tersebut sudah dijalankan di tahun 2008 silam. Kemudian, kebijakan tersebut juga pernah dijalankan oleh Australia.

Menurutnya kebijakan tersebut, akan diterapkan kepada wajib pajak pada akhir tahun. Jika mengacu penerapan kebijakan tersebut di tahun 2008, pemasukan SPT mengikuti sunset policy mengalami peningkatan 300 kali lipat jika dibandingkan bulan-bulan biasanya.

Kemudian selain program reintensif policy, pemerintah akan fokus terhadap pengamanan penerimaan yang bersifat penegakan hukum. Dimana, salah satu contohnya terdapat satuan petugas pengamanan pengguna faktur pajak fiktif.

"Kami berharap program-program reintensif dapat berjalan dengan baik," kata Satria.

Sebagaimana diketahui, sampai dengan akhir November setoran pajak baru mencapai Rp865 triliun atau sekitar 66 persen dari target pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) sebesar Rp1.294 triliun. Artinya penerimaan negara masih mengalami kekurangan sebesar Rp430 triliun. Sementara penyerapan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sehingga solusinya menjaga keseimbangan agar arus kas tetap terjaga dengan aman.

BACA JUGA: