JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sudah dua dekade terakhir Indonesia tak juga memiliki kilang pengolahan baru yang berfungsi sebagai fasilitas produksi minyak. Para mafia migas yang berburu rente menjadi salah satu penyebab tersendatnya rencana pembangunan kilang.

Hingga kini PT Pertamina (Persero) sebagai pemain utama dalam bisnis kilang minyak di Indonesia. Perusahaan plat merah ini mengoperasikan enam unit kilang dengan total kapasitas 1.046.700 barel per hari (BPH).

Enam kilang tersebut meliputi Kilang Dumai Riau dengan kapasitas 170 ribu BPH; kilang Plaju di Sumatera Selatan berkapasitas 133.700 BPH; Kilang Cilacap, Jawa Tengah sebesar 348 ribu BPH; Kilang Balikpapan di Kalimantan Timur dengan 260 ribu BPH; Kilang Balongan, Jawa Barat berkapasitas 125 ribu BPH, serta Kilang Kasim di Papua dengan kapasitas produksi mencapai 10 ribu BPH.

Selain bensin, solar, dan gas alam, keenam kilang tersebut juga menghasilkan produk-produk petrokimia seperti Purified Terapthalic Acid (PTA) dan Paraxylene. Namun, karena uzurnya fasilitas kilang Pertamina hanya mampu mengolah minyak sebesar 630.400 BPH sampai 669.800 BPH. Tentu saja produksi tersebut masih jauh dari kebutuhan BBM yang saat ini telah menyentuh angka 1,6 juta BPH. Defisit pasokan BBM inilah yang menjadi incaran para mafia migas dengan mengutip selisih harga per barelnya.

"Para mafia migas ini selalu menghalangi langkah pemerintah untuk perbesar kemampuan pengolahan minyak dan pembangunan kilang minyak di dalam negeri ," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said di Gedung Dirjen Kelistrikan Kementerian ESDM, Jumat (27/11/15).

Sudirman menjelaskan adanya para mafia yang turut berperan dalam bisnis impor minyak membuat keputusan pemerintah untuk membangun kilang minyak terus tertunda dan tidak ada kepastian. "Kalau itu sebenarnya keputusan yang mudah, jika mau membereskan suplai di perbanyak kemampuan pengolahan. Namun karena adanya cengkeraman mafia migas untuk bergantung impor, maka keputusan itu menjadi tertunda," ungkapnya.

Ia menyebutkan, salah satu contoh, kilang minyak Trans Pacific Petrochimical Indonesia ( TPPI) yang berada di Tuban, Jawa Timur. Selama delapan tahun tidak ada kejelasan operasi kendati kilang minyak itu selalu dibahas tetapi tidak pernah ada keputusan untuk dioperasikan.

Sudirman mengklaim kilang minyak tersebut saat ini sudah beroperasi yang terealisasi di pemerintahan Presiden Joko Widodo . Beroperasinya kilang tersebut , karena adanya ketegasan dari Presiden Jokowi dan kekompakkan tim dalam sektor energi. Selain itu dalam keputusan untuk pengoperasian kilang tersebut hanya butuh empat sampai lima kali rapat di sidang kabinet saja. "Diputuskan Oktober akhirnya sudah bisa beroperasi di bawah kendali Pertamina," ucapnya.

MULAI BANGUN KILANG - Salah satu upaya memperbesar pasokan BBM dalam negeri dengan membangun kilang baru. Sudirman mengatakan Pertamina telah mendorong pengembangan Refinery Unit IV di Cilacap yang membuat negara lebih hemat devisa yang mencapai US$ 15,84 juta perhari atau sebesar Rp 214 miliar perhari. Nilai penghematan lantaran Pertamina tidak harus mengimpor BBM.

Penghematan itu didapat bila tiga proyek Pertamina telah rampung. Ketiganya adalah proyek Residual Fluid Catalytic Cracking ( RFCC), proyek Langit Biru Cilacap ( PLBC) dan Refinery Develompment Master Plan ( RDMP).

Namun , Sudirman mengklaim jika untuk program RFCC Unit IV Cilacap bisa menghemat devisa negara sebesar USD3,5 juta perhari. Lantaran kilang itu akan mengolah semua residu menjadi produk utama. Sehingga proyek tersebut dapat menurunkan impor premium sebesar 15 persen , untuk solar 30 persen dan elpiji 10 persen.

Direktur Utama Pertamina Dwi Sutjipto menjelaskan saat ini proyek RFCC telah memiliki 21 unit equipment dan telah sukses beroperasi. Diperkirakan dalan operasi secara penuh, maka RFCC akan memproduksi high octane migas component ( HOMC) sekitar 37.000 barel per hari. Sebagian besar dari HOMC itu diolah menjadi premium di kilang Cilacap dan menghasilkan 91 ribu barel per hari. Kapasitas tersebut meningkat dari sebelum RFCC beroperasi yakni 61 ribu barel per hari.

"Tambahan penerimaan dari RFCC sekaligus penghematan impor sebesar USD3,6 juta per hari," tutur Dwi.

RFCC sudah dibangun sejak empat tahun lalu dan kemudian telah berjalan namun baru beroperasi 100 persen mulai kemarin.Kontraktor dalam proyek tersebut yakni, PT Adhi Karya ( Persero) dab E& C Consortium total investasi sekitar Rp 11 triliun.

Seperti diketahui, untuk proyek Langit Biru Cilacap (PLBC) Pertamina sudah mengadeng JGC Corporation sebagai kontraktor Engineering Procurement, and Construction ( EPC). Proyek tersebut ditargetkan selesai dalam jangka waktu 34 bulan sejak penandatangan kontrak. Ditargetkan mampu mendorong kapasitas produksi RON 92 Refinery Unit IV sebesar 91 ribu barel perhari.

Dari proyek PLBC ini telah me ghabiskan investasi sebesar US$ 392 juta.Namun Pertamina bisa menghemat impor sebesar US$1,5 juta per hari. Kemudian untuk proyek RDMP, Pertamina dan Saudi Aramco resmi bekerjasama untuk mengembangkan Refinery Unit IV. Proyek kerjasama dengan nilai investasi sebesar US$5,5 miliar tersebut diyakini bisa meningkatkan nilai keekonomian Refinery Unit IV Cilacap.

Dari proyek RDMP diperkirakan memberikan tambahan produksi pertamax sebanyak 40 ribu barel per hari, avtur 40 ribu barel per hari, solar sebanyak 60 ribu barel per hari, aromatik sebesar 750 ton per hari, dan poly propylene sebesar 472 ton per hari.

Dengan memiliki keekonomian yang meningkat melalui tiga parameter kunci, yaitu peningkatan kapasitas total crude distillate unit (CDU) dari sekitar 345.000 barel per hari menjadi 370.000 barel per hari, kompleksitas kilang meningkat dari 3 menjadi 9 dan peningkatan hasil produksi dengan nilai tinggi dari semula sekitar 73 persen menjadi 96 persen, dapat menghemat devisa USD10,52 juta per‎ hari.

TERJERAT MAFIA - Ferdinand Hutahaean Direktur Energy Wacth Indonesia ( EWI) menilai selama ini banyak yang menjadikan Pertamina sebagai sapi perah. Mafia migas ini bukan hanya dari pengusaha semata tapi berkolaborasi dengan para politikus pemegang kekuasaan.

" Kami melihat banyak orang politik yang menjadikan Pertamina sebagai ladang mencari keuntungan untuk pribadi atau kelompok," kata Ferdinand saat dikonfirmasi gresnews.com, Minggu (22/11/15) lalu.

Bahkan, Pertamina kerap dijadikan alat pencitraan oleh para politisi. Misalnya saat hendak menaikkan harga BBM, maka banyak politisi yang seolah menolak kenaikan harga BBM tersebut.

"Dari dulu kita menolak keras dan meminta kepada semua, jangan jadikan Pertamina sebagai alat politik atau untuk memenuhi hasrat politik oknum tertentu. Karena itu tidak baik dan sangat tidak sehat bagi masa depan Pertamina yang ujung-ujungnya tersandera dan tidak bisa menjadi perusahaan kelas dunia," ungkapnya.

Menurut pengamat migas ini, pemerintah seharusnya membiarkan Pertamina beroperasi tanpa intervensi. " Pemerintah juga harus memasukkan Pertamina kedalam non listed public agar Pertamina bisa lebih transparan dan boleh sahamnya diperjual belikan di pasar saham," jelas Ferdinand.

Dia menambahkan, Pertamina sejak dulu adalah BUMN raksasa, gemuk dan paling kaya serta paling banyak miliki uang tunai. Sehingga BUMN yang satu ini, sering dijadikan ATM untuk kepentingan pejabat atau pemerintah. "Jadi memang Pertamina ini sehat menggiurkan bagi pemburu rente," imbuhnya. (Agus Irawan)

BACA JUGA: