JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keberadaan PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) sebagai anak usaha PT Pertamina diibaratkan sebagai kolam oli yang berisi belut berbisa. Maka dari itu Pemerintah layak membubarkan Petral yang dianggap sarangnya mafia migas.

Staf Khusus Kementerian ESDM Said Didu menjelaskan pembubaran Petral sebenarnya sudah dirancang sejak tahun 2006, lalu dibentuklah saat itu Integrated Suply Chain (ISC) di Pertamina. Pembentukan ISC berdasarkan kesepakatan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Pertamina. Saat itu ISC dipimpin oleh Sudirman Said (Menteri ESDM kini). Namun keberlangsungan ISC hanya sampai tahun 2009, Sudirman Said pun harus menelan pil pahit dengan diberhentikan.

"Jadi saya menyatakan SS itu salah satu orang yang tergigit belut berbisa dari kolam oli," kata Said di Kementerian ESDM,  Jumat (24/4).

Kemudian, ketika Jokowi terpilih sebagai Presiden dan mengangkat Sudirman Said sebagai Menteri ESDM. Dia menilai akan ada sinyal dari pemerintahan Jokowi untuk memberantas mafia migas. Kendati demikian, Said meminta ide pembubaran Petral jangan seperti tahun 2009 dimana hanya bergaung besar tetapi tidak terealisasi.

Menurutnya seluruh pihak harus memberikan apresiasi kepada rencana pemerintah membubarkan Petral. Sebab, pembubaran Petral akan memberikan manfaat kepada Pertamina untuk menjadi lebih efisien sehingga membuat Bahan Bakar Minyak menjadi lebih murah. Saat ini dia menilai antara Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan Pertamina memiliki kekompakan yang cukup kuat untuk merealisasikan pembubaran Petral.

"Pembubaran Petral kan diharapkan menjadikan Pertamina efisien, sehingga BBM menjadi lebih murah," kata Said.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan Petral selama ini bermasalah karena tidak pernah transparan dalam transaksi minyak mentah dan minyak jadi. Mamit memperkirakan kerugian negara akibat transaksi ekspor impor antara Pertamina dengan Petral sebesar US$750 ribu per harinya. Angka kerugian US$750 ribu jika dalam setiap transaksi adanya penggelembungan harga (mark up) sebesar US$1.

"Jadi dengan mark up US$1 saja segitu (US$750 ribu). Saya tidak kebayang berapa kerugian negara," kata Mamit.

Mamit juga mengungkapkan ada dua hal yang menyebabkan munculnya mafia migas. Pertama, tentang pembelian impor minyak mentah maupun impor minyak jadi. Menurutnya hal itu menjadi satu peluang bisnis yang memiliki jumlah angka yang besar. Kedua, ketika pemerintah menjual haknya atas sumber daya alam (SDA) kepada pihak luar. Hal itu terjadi karena anak bangsa tidak mampu mengolah SDA. Dalam proses menjual tersebut mafia migas muncul dalam hal permainan harga.

Dia mengatakan mekanisme pelaksanaan mafia sangatlah rapi. Misalnya dalam skala kecil dalam proses transaksi mengirimkan minyak, dalam pengiriman tersebut terdapat kerjasama antara mafia migas dengan aparat keamanan, nakhoda kapal dan anak buah kapal.

Mamit menuding meski tidak berperan secara langsung, kalangan pejabat negara juga ada yang bermain. Namun penegak hukum sangat sulit membuktikan pejabat negara yang ikut ambil peran dengan mafia migas.

"Jadi agak susah juga menilai pemerintah ikut terlibat. Rakyat pasti tahu pejabat pemerintah yang ikut terlibat dengan mafia migas," kata Mamit.

BACA JUGA: