JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bisnis keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan PT Pertamina (Persero) dipermasalahkan. Kerjasama proyek pembangunan receiving terminal Gas Alam Cair (LNG) di Bojonegara wilayah Banten-Jawa Barat antara Pertamina dan PT Bumi Sarana Migas (BSM) berpotensi merugikan Pertamina. Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu, Arief Poyuono, meminta kerjasama yang diteken kedua belah pihak pada 1 April 2015 itu dibatalkan.

BSM adalah perusahaan yang berada dalam naungan Kalla Group, yang saat ini dipimpin oleh Fatimah Kalla (adik Jusuf Kalla). Fatimah menjabat sebagai Direktur Utama BSM, sementara anak Jusuf Kalla yakni Solichin Kalla menjabat sebagai Direktur. Selain itu, Solichin saat ini juga menjabat sebagai Komisaris di PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK). Penandatanganan kerjasama dengan Pertamina untuk proyek senilai US$500 juta (Rp6,6 triliun dengan kurs saat ini) itu dilakukan oleh Solichin dan Direktur Energi Baru dan Terbarukan Pertamina Yenni Andayani disaksikan oleh Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto.

Sebagai catatan, proyek terminal LNG Banten-Jawa Barat itu dikerjakan oleh Konsorsium BSM yang terdiri dari BSM, Tokyo Gas, Mitsui, dan Pertamina. Sementara itu, BSM adalah perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh PT Bumi Sarana Utama (BSU/Kalla Group). BSU berdiri sejak 1990 dan merupakan dealer aspal curah Pertamina untuk daerah pemasaran Sulawesi dan Kalimantan. Nantinya, operator terminal LNG Banten-Jawa Barat adalah PT Nusantara Gas Service. Komisaris Utama perusahaan operator itu adalah Solichin Kalla.

Arief mengatakan, sejak awal proyek tersebut banyak melanggar peraturan hukum dan perundang-undangan. Salah satunya adalah tidak dilakukannya proses tender. Oleh karena itu Arief merasa heran dengan keputusan Pertamina yang mau menerima kerjasama begitu saja dengan hanya didasarkan pada proposal BSM. Padahal proposal tersebut berisiko lebih banyak di pihak Pertamina dibandingkan dengan BSM. "Seperti kewajiban membangun jaringan pipa gas sepanjang 150 kilometer dari Bojonegara ke konsumen yang harus ditanggung Pertamina," kata Arief kepada gresnews.com, Kamis (28/4).

Selain itu, dia menambahkan, jika ada keterlambatan pasokan gas LNG kepada konsumen juga akan menjadi tanggungan Pertamina. Persoalan lain, kata Arief, menyangkut komposisi kepemilikan saham dalam konsorsium. Pertamina hanya menguasai 15%. "Lalu apa yang dibebankan kepada BSM, beserta partner kerjasama lainnya seperti Mitsui dan Tokyo Gas?" katanya.

Menurut Arief, dengan melihat fakta-fakta tersebut di atas sangatlah jelas bisnis tersebut tidak sehat. Diduga kuat, Direksi Pertamina berada dalam tekanan untuk bekerja sama dengan BSM. "Ini namanya bisnis hanky panky gaya Orde Baru yang bertujuan merampok duit rakyat," tandasnya.

Dia mengatakan, seharusnya bisnis-bisnis seperti ini dilakukan melalui tender secara terbuka dan transparan, bukan cuma berdasarkan proposal abal-abal yang disodorkan BSM.

"Inilah bentuk bisnis mafia migas gaya baru. Lagi pula kalau Pertamina punya maksud yang baik, kenapa tidak Pertagas saja selaku anak perusahaan Pertamina yang membangun sendiri," ujarnya.

Arief mengatakan jika modal kerja yang menjadi masalahnya, Pertamina tidak akan mengalami kesulitan modal. "Soal pinjaman gampang, pasti perbankan internasional maupun lokal mau membiayai. Ini bisnis untung, karena pemain gas nasional itu cuma Pertamina dan PGN," paparnya.

Dia lalu mendesak Komisi VII DPR membentuk Pansus Proyek Terminal Bojonegara sebab diduga proyek tersebut akan merugikan negara dalam jangka waktu panjang. "Presiden Jokowi juga harus memerintahkan Direksi Pertamina untuk membatalkan kontrak kerjasama tersebut," ujar Arief.

Kata Arief, FSP BUMN Bersatu juga akan melaporkan Pertamina ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan dugaan persekongkolan jahat, serta melaporkan ke KPK atas dugaan proyek tersebut diduga sarat korupsi dan gratifikasi.

Secara terpisah, pengamat energi dari Migas Watch, Widodo Edi Setyanto, juga menuding proyek kerjasama tersebut disinyalir kental akan unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ia juga mendesak kerjasama itu dibatalkan.

"Ini harus batal, kental sekali unsur KKN-nya. Apalagi BSM kan Kalla Group. Kerjasamanya kan kelihatan tidak win-win solution, dan justru merugikan Pertamina," ungkap Widodo,

Menurut Widodo, dalam kerjasama itu Pertamina diposisikan sebagai 100% offtaker LNG Regasified Gas yang dipasok oleh BSM. Selanjutnya gas tersebut akan disalurkan Pertamina ke PLN.

Padahal proyek Land Based Regasification Plant Bojonegara dalam penjualan gas ini, nantinya akan bersaing dengan FSRU Nusantara Regas dan proyek PGN FSRU Lampung dimana keduanya sudah siap menerima LNG, dan sama-sama akan menyalurkan Regasified Gas ke pembangkit PLN.

Hal itu memperlihatkan bahwa seorang pejabat negara justru lebih mementingkan memperbesar "kerajaan" bisnis keluarga, daripada menyejahterahkan rakyat dan memberantas praktik mafia migas.

"Bojonegara itu milik Pertamina, untuk apa menggandeng BSM? Kan Pertamina punya Pertagas. BSM di sini sebagai apa? Sedangkan, land base terminal-nya kan milik Pertamina. Jadi, modal apa BSM itu? Hanya modal dengkul dan kekuasaan saja," ujar Widodo kepada wartawan, akhir 2015.


HANYA KERJASAMA STUDI - Menanggapi tudingan itu Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan tidak ada kesengajaan Pertamina untuk merugikan perusahaan dalam kerjasama dengan BSM tersebut.

Ia berdalih, Nota Kesepahaman (MoU) yang pernah dilakukan Pertamina dengan BSM hanya sebatas kesepakatan studi bersama untuk mengembangkan proyek Terminal LNG tersebut, sehingga pihak Pertamina tidak mempunyai keterikatan dan risiko kerugian apapun.

"Kita belum ada keterikatan perjanjian apapun, melainkan hanya MoU untuk melakukan joint study bersama, jadi belum ada pembahasan apa-apa," kata Wianda di Jakarta, Kamis (28/4).

Wianda juga mengaku, Pertamina masih memiliki waktu untuk menjajaki dan meninjau semua hasil dari perencanaan yang ada tersebut.

"Jadi kita akan membandingkan dengan policy yang sudah ada, kalau memang mereka akan memberikan service kepada Pertamina, jadi harganya harus kompetitif, kita harus lihat market-nya seperti apa," jelasnya.

Pada saat penandatanganan kerjasama 1 April 2015, Dirut Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan kerja sama yang dilakukan ini sebagai upaya Pertamina dalam pengembangan infrastruktur sebagai bagian dari lima fokus strategi utama Pertamina dalam rangka menjaga ketahanan energi nasional.

"Untuk pemanfaatan energi bahan bakar gas, maka infrastruktur menjadi persyaratan utama. Karena jika infrastruktur sudah terpasang maka akan tercipta demand. Dengan proyek ini akan diikuti dengan pembangunan power plant sebagai kekuatan kita untuk membangun industri energi gas di wilayah Jawa Bagian Barat," ungkap Dwi Soetjipto.

Dwi Soetjipto berharap BSM bisa tepat waktu dalam menyelesaikan proyek pembangunan terminal tersebut dalam jangka waktu tiga tahun sesuai dengan kesepakatan bersama yang ditargetkan selesai pada 2019 mendatang.

Sementara itu, Direktur BSM Solichin Jusuf Kalla mengungkapkan, pihaknya akan memegang komitmen secara profesional sesuai kesepakatan. "Mudah-mudahan kita bisa penuhi proyek ini dalam jangka waktu tiga tahun yaitu pada tahun 2019 akan selesai. Sehingga bisa bersama-sama membangun industri gas di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Bagian Barat. Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan oleh Pertamina kepada Bumi Sarana Migas," lanjut Solichin.

BSM disebutkan telah melakukan pre-feasibility study atas pembangunan land base LNG Receiving Terminal Bojonegara yang berkapasitas 500 MMSCFD atau sama dengan 4 juta ton LNG. Pre-feasibility study tersebut telah di-review dan disepakati oleh Pertamina. Selanjutnya, Pertamina akan menggunakan seluruh kapasitas tersebut selama 20 tahun untuk regasifikasi LNG.

BACA JUGA: