JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wajah Indonesia kini telah menjadi importir terbesar kedua di dunia seiring dengan semakin merosotnya produksi minyak dalam negeri. PT Pertamina (Persero) telah menghabiskan  US$ 150 juta atau Rp 1,95 triliun untuk impor BBM setiap harinya.

Menilik data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) konsumsi BBM dalam negeri telah diatas 1,5 juta barel per hari sementara produksinya di bawah 800.000 barel per hari.

Selisih produksi-konsumsi semakin melebar terjadi setelah Indonesia menjadi net importer (negara importir) minyak sejak 2004. Padahal pada tahun 1975-1995 produksi minyak Indonesia masih di atas 1 juta barel.

Bahkan 1980-an dan 1991-an produksi minyak Indonesia hampir 2 juta barel. Sementara konsumsi BBM dalam negeri pada 1975-1985 di bawah 500.000 barel per hari.

Namun seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia, konsumsi BBM dalam negeri terus meningkat hingga pada 2004 produksi minyak tidak mencukupi untuk menutupi konsumsi dalam negeri. Mulai periode 2004 konsumsi BBM dalam negeri sudah berada di level 1 juta barel per hari, sementara produksinya terus menurun.

"Pemerintah perlu upaya nyata dan serius untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Harus ada konservasi, efisiensi hingga diversifikasi bahan bakar," kata Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi.
BANGUN KILANG - Salah satu solusi untuk mengurangi ketergantungan impor BBM adalah dengan menambah produksi kilang di dalam negeri. Untuk itulah Pertamina gencar menggandeng investor untuk membangun kilang.

Salah satunya, Pertamina akan merealisasikan kontrak kerja sama dengan Saudi Aramco untuk pengembangan dan peremajaan kilang minyak Cilacap, Jawa Tengah. Rencananya, penandatanganan kerja sama tersebut akan dilakukan pekan ini juga.

"Tanggal 26 (November 2015). Langsung (dikerjakan) tapi engineering dulu tentu kan," kata Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto ditemui di sela acara Pertamina Energy Forum di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (24/11).

Menurut Dwi Aramco akan membantu Pertamina untuk melakukan modernisasi kilang (Refinery Development Masterplan/RDMP) di Cilacap dan membentuk joint venture alias anak usaha patungan. Dalam perusahaan patungan yang akan dibentuk Pertamina akan memegang kepemilikan mayoritas, sekitar 55 persen. Sisanya dipegang Saudi Aramco.

Adapun kerja sama tersebut rencananya memiliki kontrak investasi senilai US$ 5 miliar atau Rp 68,5 triliun (kurs Rp 13.700). Kendati Pertamina mendapatkan porsi mayoritas namun tak perlu mengeluarkan dana untuk investasi ini, modalnya bisa dikonversi dari nilai aset Kilang Cilacap yang sudah ada. "Aset yang lama menjadi bagian dari penyertaan Pertamina," imbuh Dwi.

Meski jatah sahamnya lebih kecil Saudi Aramco berkomitmen untuk memasok 70 persen kebutuhan minyak mentah yang akan diolah di Kilang Cilacap. Pasokan minyak mentah ini sangat dibutuhkan, mengingat setelah revitalisasi kapasitas Kilang Cilacap akan meningkat dari 348.000 barel per hari (bph) menjadi 460.000 bph. Sementara produksi minyak mentah dalam negeri cenderung menurun.  
 
Direktur Pengolahan Pertamina Rachmad Hardadi mengatakan dengan revitalisasi, produksi kilang tersebut akan lebih efisien. Kilang Cilacap akan bisa mengolah minyak berkualitas rendah dan murah, seperti jenis minyak sour yang kandungan sulfurnya tinggi.

"Jenis minyak Indonesia harganya termahal kedua di dunia. Nanti akan dicampur dengan minyak sour," ujarnya. Meski menggunakan sebagian minyak berkualitas rendah, produksi kilang ini akan difokuskan untuk menghasilkan bensin dengan angka oktan (RON) 92 ke atas.

Sebelumnya, Saudi Aramco menyampaikan minat untuk menggelontorkan uang US$ 24 miliar atau sekitar Rp 336 triliun untuk pembangunan kilang minyak baru berkapasitas 300.000 barel per hari, dan modernisasi sekaligus meningkatkan kapasitas 3 kilang minyak Pertamina hingga 400 ribu barel per hari.

Tiga kilang yang akan dimodernisasi adalah kilang Pertamina di Dumai, Balongan, dan Cilacap. Sedangkan kilang minyak baru direncanakan dibangun di Tuban.
GANDENG JEPANG - Tak hanya Arab Saudi, Pertamina sedang menjajaki kerja sama dengan perusahaan Jepang, yakni JX Nippon Oil and Energy Corporation, untuk pengembangan dan peremajaan kilang di Balikpapan, Kalimantan Timur.

"Mudah-mudahan segera ketemu kesepakatannya seperti dengan Saudi Aramco. Kita inginnya November ini sudah bisa (ditandatangani), tapi pihak JX Nippon butuh waktu kira-kira 3 hingga 4 bulan lagi," terang Direktur Pengolahan Pertamina, Rachmad Hardadi.

Tindak lanjut kerja sama ini nantinya akan dilakukan dengan mendirikan perusahaan patungan alias joint venture dimana Pertamina akan memiliki porsi kepemilikan sebesar 70% dengan nilai investasi sekitar US$ 5 miliar atau Rp 68,5 triliun.

Dengan peremajaan ini, kilang di Balikpapan akan mengalami peningkatan kapasitas produksi menjadi 360 ribu barel per hari (BOPD) dari kapasitas saat ini 260 ribu barel minyak per hari (BOPD).

Peningkatan kapasitas ini diharapkan dapat menunjang target peningkatan kapasitas seluruh kilang Pertamina yang dijadwalkan sebesar 2,3 juta BOPD di tahun 2026, atau meningkat 1,3 kali lipat dibanding kapasitas sekarang sebesar 1,04 juta BOPD.

TERLALU MAHAL - Direktur Eksekutif Energy Wacth Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean mengatakan Pertamina memang tak akan mampu membiayai pembangunan kilang secara mandiri bila menilik kondisi keuangannya saat ini. Investasi pembuatan kilang sangat besar sehingga perlu menggandeng pihak asing atau investor untuk membiayai pembangunan kilang baru maupun untuk upgrading kilang minyak yang sudah tergolong tua.

"Salah satunya adalah menjalin kerjasama dengan Aramco. Memang dalam hal ini kita menyarankan kepada pertamina untuk mengevaluasi ulang nilai investasi yang direncanakan oleh pertamina dan aramco," kata Ferdinand kepada gresnews.com saat dikonfirmasi, Selasa (24/11).

Menurutnya , investasi yang dihitung senilai US$ 5 miliar terlalu tinggi untuk saat ini. Sebaiknya Pertamina menghitung ulang biaya investasi yang ditawarkan Saudi Aramco, karena terlalu tinggi.

Ferdinand  menambahkan sejatinya tidak masalah kerjasama dengan investor yang penting dihitung secara benar dan tidak ada mark up dalam penentuan nilai investasi. Biaya pembangunan kilang lazimnya dengan kapasitas 200 hingga 300 ribu barrel per day membutuhkan lebih dari Rp US$ 10 milliar.

Sejatinya rencana membangun kilang baru sudah bergulir sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono namun tak pernah terealisasi. Selama ini investor asing enggan membangun bisnis kilang di Indonesia karena alasan kurang menguntungkan.

Bisnis kilang memiliki margin yang sangat rendah jika dibandingkan dengan bisnis di sektor hulu migas seperti pengeboran minyak. Ditambah labi hasil produksi BBM dari kilang tersebut sebagian besar untuk konsumsi domestik tidak untuk ekspor. Tentu saja margin yang didapat sangat kecil bila hanya menjual didalam negeri.

Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam membangun kilang baru adalah pengadaan tanah. Masalah tanah ini kerap menjadi penghambat pembangunan kilang minyak baru. (Agus Irawan/dtc)

BACA JUGA: