-
Polisi Gunakan Laporan PPATK Ungkap Kaitan Saracen dan Asma Dewi
Rabu, 13/09/2017 18:31 WIBPenyidik Bareskrim Polri telah menerima laporan hasil analisa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait 14 rekening milik kelompok Saracen dan satu rekening milik Asma Dewi. Penyidik akan mencari tahu kaitan Saracen dan Asma Dewi dari laporan tersebut.
"PPATK sudah menyerahkan laporan hasil analisa pada Bareskrim tadi pukul 14.00 WIB siang. Sekarang oleh penyidik akan dilakukan sebuah analisa dengan membandingkan fakta-fakta lainnya diri yang didapat dari jejak digital," kata Kabag Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul di kantornya, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (13/9).
Saat ini, penyidik sedang meneliti transaksi yang tercatat di laporan hasil analisa PPATK. Dari hasil laporan analisa nantinya dapat diketahui dari pihak mana saja aliran dana yang masuk ke Saracen. Penyidik juga akan mencari latar belakang sumber dana itu.
"Mereka (penyidik) sedang bekerja, nanti hasilnya nanti dilihat apakah memang seperti dugaan selama ini memunculkan ada orang yang menyerahkan dalam jumlah tertentu, nanti bisa dibaca di situ, dilihat dari transaksi, cuma orang-orang itu kan mesti dicari latar belakang. Ya nanti kan dilihat, seperti yang Asma Dewi (transaksi) dia ngalir misalnya ke NS," ujarnya.
Penyidik juga akan memeriksa jejak-jejak digital, berkas-berkas dan komunikasi para tersangka. Misalnya menelusuri jejak komunikasi secara langsung maupun tidak langsung dengan berbagai teknik penyidikan.
Sebelumnya diberitakan, laporan PPATK diharapkan dapat memperkuat informasi yang diterima Polri soal adanya aliran dana Rp 75 juta dari Asma Dewi ke Saracen. (dtc/mfb)Polisi Dalami Kaitan Rizal Kobar dan Saracen
Selasa, 29/08/2017 19:00 WIBPolisi sedang mendalami adanya dugaan keterlibatan narapidana ujaran kebencian Rizal Kobar, dengan kelompok Saracen. Hasil pemeriksaan sementara, Rizal diketahui sebagai salah satu dewan pakar sindikat Saracen.
Rizal ditahan di Rutan Cipinang sejak tanggal 31 Januari sampai 19 Februari 2017 dan diperpanjang masa penahanan oleh Ketua PN Jakarta Selatan, Prim Haryadi sejak 20 Februari sampai 21 Maret 2017.
Rizal didakwa menggerakan akun Twitter Iwan Bacot (@Bacotiwan) yang berisikan ujaran kebencian menggunakan alamat email pribadinya. Dia ditangkap polisi bersamaan dengan penangkapan tersangka makar Sri Bintang Pamungkas cs pada 2 Desember 2016.
"Rizal Kobar salah satu dari dewan pakar struktur organisasi Saracen," ujar Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Kombes Irwan Anwar, Selasa (29/8).
Sedangkan, Karo Penmas Mabes Polri Kombes Rikwanto mengatakan, saat ini penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri sedang mendalami sejauh mana peran Rizal Kobar. Polisi juga mencari tahu apa saja yang dilakukan Rizal dalam kelompok penyebar isu SARA, ujaran kebencian dan hoax itu.
"Sedang didalami perannya (Rizal Kobar). Pertama kan kami tangkap Sri, kemudian Jasriadi, kemudian MFT. Nah baru ternyata mereka ada koneksi dengan Rizal Kobar. Koneksinya seperti apa, sedang didalami," terang Rikwanto di gedung Divisi Humas, Mabes Polri.
Rizal Kobar telah divonis 6 bulan 15 hari penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal Juni lalu. Dia dijatuhi hukuman bersama seseorang bernama Jamran dalam kasus ujaran kebencian. Diwawancarai kala itu, keduanya mengaku tidak menyesal melakukan perbuatannya.
"Saya tidak pernah merasa menyesal bahwa konsekuensi postingan saya lalu ditangkap sama sekali tidak ada nilai-nilai menyesal," kata Rizal, ditemui usai menjalani sidang putusan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta, Senin (5/6). (dtc/mfb)Pemerintah Diminta Pertegas Posisi Ujaran Kebencian Masyarakat
Selasa, 29/08/2017 12:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah diminta untuk segera mempertegas posisi ujaran kebencian atau hate speech yang kerap beredar di masyarakat Indonesia. Tujuannya, agar pelaksanaan demokrasi tidak terhadang oleh hate speech yang disebarkan secara tidak bertanggung jawab.
"Dalam menyikapi kasus sarachen ini, pemerintah harus jelas merumuskan apa itu hate speech agar tidak berbenturan dengan hak konsitusional masyarakat untuk mengemukakan pendapat," kata Peneliti Bidang Hukum Pidana dari Mata Garuda Institute (MGI) Ola Anisa Ayutama dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Selasa (29/8).
Ola mengemukakan hal itu menyikapi hate speech yang disampaikan dalam kasus Saracen. Menurutnya, kebebasan masyarakat dalam berpendapat merupakan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam Pasal 28 E Ayat (3). "Dan untuk merumuskan apa itu hate speech, dapat dilihat pada bagaimana dokumen hukum internasional mengatur mengenai hal tersebut," ujar Ola.
Misalnya, lanjut dia, melihat pada Convention on The Elimination of All forms of Racial Discrimantion yang merumuskan hate speech sebagai penyebaran dan penghasutan ide berbasis diskriminasi ras dan kebencian ras yang berujung pada kekerasan terhadap ras. Hal ini kemudian memang telah diakomodasi dalam UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun demikian, dalam Undang-Undang (UU) ini kurang menyebutkan diskriminasi dengan dasar agama sehingga perlu diatur pula.
"Poin penting yang membedakan ujaran kebencian dengan tindak pidana yang lain adalah pada akibatnya, yaitu apakah berujung pada kekerasan atau tidak," jelas Ola.
Namun hal penting yang perlu diingat, kata Ola, sah-sah saja pemerintah melakukan pembatasan atas hak tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 atas dasar perlindungan kepentingan umum. "Tetapi harus diatur dalam UU, bukan hanya tataran surat edaran. Oleh karenanya, mengatasi masalah sarachen ini perlu terlebih dahulu merumuskan apa itu hate speech sehingga tindakan selanjutnya tidak sewenang-wenang dalam membatasi hak berpendapat," terang Ola.
Ola mengatakan, kasus Saracen adalah gambaran bagaimana hate speech telah terorganisasi. Karena itu, hate speech harus diatur sebagai tindak pidana karena dapat menjadi faktor kriminogen atau faktor penyebab kejahatan, berupa hate crime atau kejahatan yang timbul karena motivasi kebencian.
Contoh hate crime, ucap dia, pernah terjadi di Inggris terkait pengrusakan masjid karena kebencian pada umat Islam. Hal senada juga pernah terjadi di Indonesia tentang pengrusakan Masjid Ahmadiyah karena kebencian pada golongan Ahmadiyah.
Ola menilai, hate crime di Indonesia belum memiliki arah perumusan yang jelas. Bahkan, kata dia lagi, Kapolri pernah mengeluarkan surat edaran Kapolri nomor SE/6/X/2015 tentang ujaran kebencian, namun mencampuradukkan hate speech dengan pencemaran nama baik, penghinaan, dan delik-delik lainnya.
Padahal, antara ujaran kebencian, pencemaran nama baik maupun penghinaan tidak bisa dicampuradukkan dalam satu dimensi. Jika ini dicampuradukkan, maka potensi yang terjadi adalah adanya pembungkaman kebebasan berekspresi atas dasar misalnya pencemaran nama baik atau penghinaan. Hanya karena dikatakan sebagai ujaran kebencian.
"Pencemaran nama baik dan penghinaan adalah kejahatan yang sifatnya individual dan sebagai delik aduan. Beda dengan ujaran kebencian yang harusnya bersifat publik tanpa aduan. Selain itu, akibat pencemaran nama baik, penghinaan dan ujaran kebencian juga berbeda," tandas Ola. (mag)
Jokowi Perintahkan Pelanggan Saracen Diusut Tuntas
Minggu, 27/08/2017 21:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan aparat kepolisian untuk mengusut klien pemesan dan pendana sindikat hoax dan kebencian Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) di media sosial, Saracen. Menurutnya kegiatan yang dilakukan kelompok Saracen dengan menyebarkan berita hoax di media massa sebagai perbuatan yang mengerikan.
"Saya sudah perintahkan kepada Kapolri, diusut tuntas bukan hanya Saracen-nya saja, tapi siapa yang pesan siapa yang bayar, harus diusut tuntas," ujar Jokowi di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Minggu (27/8).
Jokowi menegaskan, media sosial memang bisa merusak bila digunakan sebagai sarana fitnah, seperti yang dilakukan Saracen.
"Individu saja sangat merusak kalau informasinya tidak benar, bohong, apalagi fitnah. Apalagi ini terorganisasi. Ini mengerikan sekali. Kalau dibiarkan akan mengerikan," tegas Jokowi.
Sebelumnya Kabag Mitra Divisi Humas Polri, Kombes Awi Setiyono, mengungkapkan dalam bisnisnya sindikat Saracen menyediakan sejumlah paket dalam bisnisnya kepada pemesannya. Biasanya total uang yang harus dibayar kepada pelaku berkisar di angka Rp 72 juta.
Dari Rp72 juta itu, uang yang dipakai untuk pembuatan situs sebesar Rp15 juta. Para buzzer yang beroperasi di media sosial lewat sebaran-sebaran konten SARA biasa dihargai Rp 45 juta untuk 15 orang dalam satu kali proyek.
"Untuk membuat buzzer sekitar 15 orang dikenakan biaya sebulan Rp 45 juta," jelas Awi di Mabes Polri, Jumat (25/8). (dtc/rm)Kominfo Siapkan Aturan Cegah Konten Negatif
Minggu, 27/08/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saat ini tengah mempersiapkan aturan untuk mencegah produksi dan penyebaran konten negatif di internet. Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani mengatakan, aturan ini penting mengingat kondisi media sosial di Indonesia saat ini terbilang cukup memprihatinkan.
Terlebih setelah polisi berhasil mengungkap praktik provokasi isu SARA oleh sindikat Saracen. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun sedang mematangkan aturan untuk penyedia layanan Over the Top (OTT) seperti Google, Facebook, Twitter, WhatsApp, Line, dan lainnya.
"Kemarin kayak di luar negeri ada badan khusus menangani hoax dari medsos. Nah, kalau di Indonesia lagi buat aturan Over the Top. Itu adalah aturan tentang platform di internet seperti FB, Twitter, segala macam. Nah itu aturannya di dalam situ kita atur juga bahwa mereka wajib aktif membersihkan (hoax)," ujar di kantornya, Jl Medan Merdeka Barat, Jakpus, Sabtu (26/8).
Kominfo juga sudah memanggil para petinggi penyedia OTT. Aturan ini sekarang tengah digodok dan ditargetkan rampung akhir tahun 2017. "OTT sampai tahapan draf. Kemarin kita baru konsultasi pertama dengan komunitas dulu, ini yang kita garap secara cepat. Diharapkan tahun ini bisa selesai," kata Semuel.
Kominfo mewajibkan penyedia OTT harus mengikuti regulasi yang berlaku nantinya. Sebab, saat ini konten negatif yang berisi ujaran kebencian, SARA, hingga radikalisme sudah cukup merebak.
"Harus ngikut, yang punya negara kan siapa? Mereka berdiri di sini tapi kita akan buat aturan yang memperhatikan kaidah bisnis international, tapi jangan sampai kedaulatan kita dikorbankan," imbuh Semuel. (dtc/mag)
Polisi Jangan Ragu untuk Tangkap Pendana Saracen
Sabtu, 26/08/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, TB Hasanuddin mengapresiasi kerja kepolisian dalam mengungkap dan menangkap pengurus Saracen, group sosial media yang kerap melakukan provokasi melalui isu SARA. Namun demikian, politisi PDI Perjuangan itu juga meminta institusi lainnya untuk bersinerji dengan kepolisian agar kejahatan siber tersebut bisa diselesaikan secara tuntas.
"Polisi, Kominfo, BIN harus bekerjasama untuk mengusut tuntas dan mengungkap siapa saja yang memesan kepada Saracen," ujar Hasanuddin dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (26/8).
Purnawirawan Jendral TNI bintang dua tersebut mengatakan, aksi kejahatan siber yang dilakukan Group Saracen tidak berdiri sendiri. Tentunya, imbuh Hasanuddin, ada pihak tertentu yang turut membiayai group itu dengan tujuan memecah persatuan dan membuat rasa tidak aman di kalangan masyarakat, terutama pengguna sosial media.
"Tidak mungkin Saracen melakukan penyebaran ujaran kebencian tanpa biaya. Pasti ada pemodal atau yang membiayai di balik semua itu," kata Hasanuddin.
Untuk itu, Hasanuddin mengingatkan Polri untuk tidak ragu dalam menindak tegas otak intelektual dan pendana di belakang Group Saracen tersebut. Terlebih lagi, sanksi hukum bagi penyebar konten ujaran kebencian sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Dalam UU ITE sudah secara jelas disebutkan bahwa pelaku penyebar konten ujaran kebencian bisa dipenjara hingga 6 tahun penjara. Jadi Polri jangan ragu untuk menindak tegas pelaku," pungkas Hasanuddin.
Sebagaimana diketahui, Polri berhasil menciduk tiga pengurus Saracen, group sosial media yang kerap memprovokasi isu SARA. Tiga tersangka yang ditangkap yakni MFT, 43, yang berperan membidangi media dan informasi situs Saracennews.com, SRN, 32, yang berperan sebagai koordinator grup wilayah, dan JAS, 32, yang berperan sebagai ketua.
Kelompok Saracen ini sebenarnya telah eksis sejak November 2015. Mereka menggunakan beberapa sarana untuk menyebarkan ujaran kebencian berkonten SARA. Media tersebut antara lain di Grup Facebook Saracen News, Saracen Cyber Team, situs Saracennews.com, dan berbagai grup lain yang menarik minat warganet untuk bergabung.
Hingga saat ini diketahui jumlah akun yang tergabung dalam jaringan Grup Saracen lebih dari 800.000 akun. Saracen mengunggah konten ujaran kebencian dan berbau SARA berdasarkan pesanan. Tujuan mereka menyebarkan konten tersebut semata alasan ekonomi.
Media-media yang mereka miliki, baik akun Facebook maupun situs, akan memposting berita atau konten yang tidak sesuai dengan kebenarannya, tergantung pesanan. Para pelaku menyiapkan proposal untuk disebar kepada pihak pemesan. Setiap proposal ditawarkan dengan harga puluhan juta rupiah. Hingga kini, masih didalami siapa saja yang memesan konten atau berita untuk diunggah di grup maupun situs Saracen.
Sebelumnya, anggota Komisi I DPR Charles Honoris meminta kepolisian membongkar jaringan penyebar isu SARA lainnya yang serupa dengan grup Saracen. Dia mengatakan masih ada puluhan ribu situs hoax yang digunakan untuk penyerangan terkait pemilu.
"Saya mendapatkan informasi bahwa ada jutaan akun dan puluhan ribu situs hoax yang sudah disiapkan untuk menghadapi perhelatan politik di tahun 2018 dan 2019," ujar Charles dalam keterangan tertulis, Jumat (25/8).
Charles menuturkan hal tersebut dapat mengancam persatuan bangsa karena bisa memecah belah suara rakyat. "Tentunya hal ini dapat mencederai iklim demokrasi yang sehat menjelang pilkada dan pemilu, dan lebih lagi mengancam persatuan bangsa," kata Charles.
Politikus PDIP itu meminta Polri bisa mengungkap dan menangkap jaringan-jaringan lainnya. Sebab, menurut Charles, penyebaran hoax dan ujaran kebencian adalah pelanggaran pidana yang mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Oleh karena itu, saya berharap Polri terus melanjutkan pengungkapan dan penangkapan jaringan-jaringan lain yang menyebarkan ujaran kebencian dan hoax di media sosial," ucapnya.
Menurut Charles, ujaran kebencian dapat memicu konflik horizontal. Juga memperbanyak masyarakat melakukan radikalisme, bahkan aksi terorisme. "Oleh karena itu, ujaran kebencian harus kita lawan bersama. Ditunggu pengungkapan dan penangkapan selanjutnya," tutur Charles. (dtc/mag)
Kejaksaan Beri Atensi Khusus Kasus Saracen
Jum'at, 25/08/2017 16:57 WIBPolri menangkap sindikat Saracen pelaku penyebaran konten bermotif SARA di media sosial. Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan jajarannya memberikan atensi serius dalam kasus tersebut.
"Ini jenis dari bisnisnya pun nggak benar ya. Apalagi akibatnya sangat serius, kejaksaan akan memberikan atensi khusus,"ujar Prasetyo, Jumat (25/8).
Ia mengatakan bisnis kelompok Saracen sangat sensitif karena memanfaatkan situasi politik yang rentan terhadap SARA lalu menawarkan jasa penyebaran ujaran kebencian lewat media sosial. Akibat perbuatan itu, menurut Prasetyo sangat bahaya bagi kerukunan masyarakat.
"Kasus ini sindikat penyebar berita hoax dibelakangi orang yang pesan, mereka tidak peduli akibat yang timbul, yang namanya SARA itu kan sensitif, bisa juga nanti kalau dibiarkan timbul konflik horizontal, ujung-ujungnya memecah belah. Makanya kejaksaan akan memberikan atensi khusus,"ujarnya.
Prasetyo mengaku kejaksaan belum menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyelidikan (SPDP) kasus tersebut karena baru beberapa hari yang lalu ditangkap kepolisian. Namun, kejaksaan akan memantau perkembangan penanganan kasus yang saat ini masih disidik Bareskrim Polri.
"Makanya kejaksaan akan memberikan atensi khusus, kita akan serius, kita pantau bagaimana penanganannya. Kita akan lakukan penanganan yang serius, tak boleh dibiarkan," imbuhnya.
Sebelumnya, polisi menangkap ketiga pelaku berinisial JAS, MFT, dan SRN. Mereka dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 22 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan/atau Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman 4 tahun penjara.
Kepolisian menyebut kelompok Saracen ini sering menawarkan jasa untuk menyebarkan ujaran kebencian bernuasa SARA di media sosial. Setiap proposal mempunyai nilai hingga puluhan juta rupiah. (dtc/mfb)DPR Nilai Sindikat Saracen Ancaman Serius Dunia Siber
Jum'at, 25/08/2017 14:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS. COM - Komisi I DPR menilai terungkapnya jaringan Saracen yang ditengarai menyebarkan konten SARA menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), merupakan ancaman siber yang serius. Untuk itu kalangan DPR meminta harus diberantas dan diusut aktor intelektual dibelakangnya.
Menurut Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan antar golongan.
"Tindakan kelompok Saracen berpotensi mengancam keutuhan NKRI dan tatanan kehidupan masyarakat yang mengusung Bhinneka Tunggal Ika," ujarnya, Jumat (25/8).
Kelompok Saracen ditengarai tidak hanya menyerang satu agama saja tetapi menyerang berbagai pihak termasuk pemerintah dengan teknik adu domba yang sistematis. Sehingga keberadaan kelompok seperti Saracen dinilai tak kalah berbahayanya dengan terorisme.
Apalagi jika merujuk pada data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), untuk pengaduan konten negatif terkait SARA dan kebencian, pornografi dan hoax disebutkan menempati urutan tertinggi pengaduan konten negatif.
Kemenkominfo selama periode 1 Januari hingga akhir Juli 2017 telah menerima pengaduan konten negatif. Kategori SARA atau Kebencian, pornografi, dan Hoax menempati tiga urutan tertinggi pengaduan konten negatif. Konten SARA mencapai puncak tertinggi pada Januari 2017 dengan 5.142 aduan. Sedang pengaduan tentang media sosial yang mermuatan pornografi mencapai 9.000 lebih dan konten hoax sekitar 6.632.
Kharis memahami, fakya yang terjadi merupakan fenomena gunung es, artinya angka-angka tersebut adalah yang muncul di permukaan. Yang tak terlihat justru lebih mengerikan lagi. "Saya yakin masih banyak kelompok-kelompok seperti Saracen yang belum tersentuh, apalagi menjelang Pilkada 2018 dan Pemiu 2019," ungkapnya seperti dikutip dpr.go.id.
Dikatakanya bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Di satu memberikan manfaat positif yang dapat membantu dan memajukan kehidupan manusia, di sisi lain, memberikan dampak negatif yang justru akan merusaknya.
Politisi F-PKS itu menilai kegiatan kelompok Saracen menyebarkan konten SARA dan hoax adalah tindakan penggunaan TIK untuk hal yang negatif, dan berdampak negatif berupa potensi munculnya konflik SARA. Apalagi Indonesia merupakan negara berbagai suku, agama, ras dan antar golongan.
Untuk itu Komisi I DPR RI meminta Pemerintah tegas menindak penyebar konten negatif sekaligus meningkatan literasi media terkait bahaya penayangan konten negatif. Menjadi tugas pemerintah untuk melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyebaran konten negatif dan berita palsu. Peningkatan literasi media juga perlu dilakukan okeh KPI, KIP dan Dewan Pers
Masyarakat juga diminta agar lebih waspada terhadap konten yang tersaji di media masa maupun media sosial. Berita yang tersaji harus difilter dengan sebaik mungkin dengan melakukan cek dan kroscek dari berbagai sumber dan fakta yang ada. (rm)Cara Kerja Sindikat Saracen Penyebar Isu SARA
Kamis, 24/08/2017 20:04 WIBPolri menangkap pelaku penyebaran konten bermotif SARA di media sosial yang menamakan dirinya sindikat Saracen. Pelaku saling berbagi peran untuk melancarkan aksinya menjual jasa penyebar SARA itu.
Kabag Mitra Humas Polri Kombes Awi Setiyono mengatakan modus yang dilakukan oleh pelaku dalam membuat propaganda di media sosial itu dengan meme bermuatan SARA. Meme itu dibuat banyak untuk disebar ke grup-grup baru yang dibuat oleh pelaku.
"Dari penelusuran penyidik, dia membuat meme itu ditampung di dalam satu grup. Nanti membuat meme lagi dibuat grup lagi," kata Awi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (24/8).
Untuk membuat akun baru, pelaku sengaja membeli kartu SIM yang banyak. Hal itu dilakukannya untuk memudahkan verifikasi saat mendaftar. "Mereka juga kita temukan SIM card yang banyak, 50 lebih," terang Awi.
Pelaku yang telah ditangkap, yakni Jasriadi, Sri Rahayu, dan Muhammad Faisal Tonong, bekerja secara intensif dan bergantian. Meski mereka dipisahkan oleh tempat, pelaku tetap berhubungan secara rutin lewat media sosial. "Dia bergantian, bahkan yang ketua sendiri ada sekitar kita temukan hate speech-nya 6, ada juga akun-akun lainnya 11. Yang pernah bersangkutan buat," tuturnya.
Mereka berbagi peran layaknya sebuah organisasi. Jasriadi dipercaya sebagai ketua, Sri sebagai koordinator wilayah, dan Tono sebagai bidang media.
Tak hanya itu, polisi juga menemukan indikasi pemalsuan identitas, seperti paspor dan KTP. Pemalsuan ini dilakukan agar pelaku bisa me-recovery akun-akun yang telah diblokir.
"Mulai KTP, paspor patut diduga. Karena itu juga bisa menjadi modus, kan. Karena memang dia ahli IT. Segala kemungkinan ada," tutur Awi.
Namun hingga saat ini polisi belum menemukan pihak yang berada di balik kasus penyebaran konten bermuatan SARA ini. Para pelaku disebut tertutup dan sulit diambil keterangan.
Para pelaku sadar membuat akun-akun palsu itu membutuhkan biaya. Mereka kemudian membuat proposal yang diajukan kepada beberapa pihak. Motif ekonomi menjadi alasan mereka bermain dalam operasi ini. Puluhan juta rupiah bisa diraupnya jika misi mereka sukses.
Awi menerangkan, selama pemeriksaan, penyidik menemukan proposal milik pelaku. Dalam proposal tersebut, ada detail harga yang diajukan kepada pihak pemesan.
"Kemudian terkait tadi masalah pemesanan, itu begini, untuk proses penyidikan ini, penyidik menemukan ada satu proposal," terang Awi.
Jasa untuk pembuatan website dihargai Rp 15 juta. Untuk para buzzer dipatok harga sekitar Rp 45 juta untuk 15 orang selama sebulan.
Untuk sang ketua, harga dipatok sendiri, yaitu Rp 10 juta. Jika dijumlahkan, ada sekitar Rp 72 juta. Ada cost untuk wartawan juga. "Ini kan baru data-data yang ditemukan dari yang bersangkutan," tuturnya.
Namun Awi tidak mempercayai begitu saja apa yang dituliskan oleh pelaku termasuk dana untuk wartawan. Pihaknya masih terus mendalami terkait temuan tersebut.
"Itu kan proposalnya dia yang kita temukan. Tapi belum tentu kan. Itu yang perlu proses pendalaman. Kita tidak percaya begitu saja. Kalau dia tulis begitu, apa kita langsung percaya, iya? Teman-teman wartawan dirugikan juga to. Itu temuan-temuan," ujarnya. (dtc/mfb)FOTO: Warga Bukit Duri Tolak Ahmadiyah
Senin, 15/06/2015 01:00 WIBWarga beranggapan adanya kegiatan ibadah oleh aliran tersebut di sebuah rumah pada lingkungan mereka sangat meresahkan.
Bunuh Ade Sara, Hafitd dan Assyifa Dituntut Penjara Seumur Hidup
Rabu, 05/11/2014 04:00 WIBToton menilai, tidak ada satu pun hal yang meringankan bagi Hafitd. Sebaliknya, ada banyak hal yang memberatkan. Diantaranya, Hafitd telah menyebabkan kematian Ade Sara.
PN Jakarta Pusat Tolak Eksepsi Hafitd dan Assyifa
Selasa, 16/09/2014 19:00 WIBPengacara Assyifa, M Syafri Noer juga mempersoalkan pasal pembunuhan berencana yang dituduhkan JPU, yakni Pasal 340 KUHP.
Pengacara Tuding Penyusunan BAP Kasus Pembunuhan Ade Sara Cacat Hukum
Selasa, 02/09/2014 16:00 WIBSidang perkara pembunuhan Ade Sara Angelina Suroto, dengan terdakwa, Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani kembali digelar Selasa (2/9).
Putusan MK Tolak Permohonan Farhat: Jangan Sebarkan Kebencian dan Permusuhan SARA!
Rabu, 28/08/2013 18:46 WIBHal itu tercantum dalam pertimbangan putusan MK, Rabu (28/8/2013), terhadap uji materi Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang diajukan oleh advokat Farhat Abbas.
Untuk Ketiga Kalinya Farhat Abbas Dilaporkan ke Polisi
Sabtu, 12/01/2013 12:00 WIBmelakukan hal itu. Jika perkataan itu dianggap sebagai style bahasa gaul, bukan seperti itu caranya. Kata China sendiri dianggap sebagai bentuk sindiran, apalagi kata China sebenarnya sudah diperhalus dengan Tionghoa."